8 Perjanjian (1)

Tiap dentuman mu ku hitung perlahan berharap aku masih akan mendengarnya hari demi hari

Matamu tertutup entah untuk berapa lama

Andai aku dapat menggantinya dengan hidup ku

Andai saja takdir mempertemukan kita sekali lagi

Andai

Aku berdoa dalam hati agar kata 'andai' menjelma nyata

***

Langit tidak menunjukkan keceriaannya pagi ini. Seperti suasana hati ku. Aku tidak bisa tertidur lelap. Masih teringat jelas saat aku melihat mama keluar dari rumah dan belum kembali hingga saat ini. Melihat mama pergi malam tadi membuat hati ku menangis namun aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku mencoba untuk menghubungi mama namun tidak ada jawaban. Satu sisi aku mencemaskan mama namun untuk bertemu Aldo juga adalah hal penting bagi ku.

Pintu ruang tamu berderak tanda seseorang sedang memasuki rumah. Aku senang saat melihat mama kembali. Wajahnya tampak lelah dan kurang istirahat. Aku tidak tahu bagaimana seharusnya menyapa mama karena kami belum berbicara sejak semalam.

"Ruby, kamu mau kemana?" Tanya mama. Aku tahu ia hanya ingin memulai pembicaraan dengan ku.

"Ke sekolah legalisir ijazah habis itu Ruby mau lihat Aldo." Aku memandang mama yang masih mengenakan pakaian minimnya. Mama terlihat lebih bebas setelah aku tahu pekerjaannya.

"Uhm.." Mama tidak mengatakan apapun hanya mengangguk seolah tidak terjadi apapun.

"Mama bisa berhenti dari kerjaan mama? Ruby gak mau mama seperti ini." Airmata ku menetes begitu saja. Aku hanya merasa dada ku ingin meledak. "Ruby mohon, Ma."

Mama berusaha mendekat namun sekali lagi aku malah mundur untuk menjauhinya. Aku juga tidak mengerti mengapa seperti itu. Aku menolak kenyataan kalau mama ku perempuan yang menjajakan tubuhnya demi anaknya. Tangis ku pecah.

"Mama, Ruby mohon."

"Ruby kamu tahu hidup ini gak segampang yang kamu lihat, sayang. Mama hanya ingin Ruby kuliah. Sekarang, Ruby bisa kuliah di manapun yang Ruby mau." Airmata mama mengalir lebih deras dari airmata ku. Membuat ku merasa bersalah dan tertekan di saat yang bersamaan. "Ruby, dengerin mama. Kamu harus kuliah untuk mengubah nasib kita. Sudah cukup papa mu mengecewakan mama. Mama mohon jangan kecewakan mama lagi. Mama gak keberatan kalau harus mengorbankan diri mama untuk Ruby."

"Ruby yang gak mau mama kerja kayak gitu!" Entah mengapa aku menjadi lebih emosi pagi ini.

Suara klakson mobil Winner membuat ku lari ke luar meninggalkan mama seorang diri di rumah dengan airmata di pipi. Aku langsung masuk ke mobil Winner tanpa mempedulikan tangisan mama. Aku juga tidak peduli saat pandangan Winner mengarah kepada ku. Mungkin saat ini aku terlihat sangat kacau.

"Ruby, kamu baik-baik aja?" Tanya Winner.

"Uhm..." Jawab ku singkat.

Aku tidak melihat Winner tapi lebih memilih untuk menutup mata ku. Aku merasa letih dan juga tidak ingin mengurus apa yang terjadi di antara aku dan Winner. Biarlah...apapun itu tidak akan berpengaruh lagi. Aku tidak mungkin memperjuangkan perasaan ku pada Aldo. Aku tidak memiliki kepercayaan diri untuk menghadapi keluarga Aldo lagipula kami masih delapan belas tahun. Banyak hal yang akan terjadi dan mungkin saja jika suatu saat Aldo akan bertemu orang yang lebih pantas bersamanya. Orang yang disukai dan diterima oleh keluarganya.

Sesampainya di sekolah hanya ada kami berdua. Anak-anak yang lain entah pergi ke mana.

"Kok cuma kita berdua yang ngurus legalisir? Yang lain pada kemana?" Tanya ku

"Dua hari lalu jadi pas aku sakit itu sebenarnya orang pada ngurus legalisir ijazah. Mungkin sekarang tinggal kita aja yang belum kelar."

"Aldo gimana?" Tanya ku cemas. Aku tidak dapat berhenti untuk mencemaskan Aldo.

"Aldo pastinya dapat pengecualian apalagi Aldo sekarang di rumah sakit. Sebelum ke rumah sakit, aku mau makan dulu."

Urusan legalisir tidak memakan waktu lama. Mungkin karena hanya kamu saja yang tertinggal sehingga semua urusan terasa cepat. Kami akhirnya pulang dengan membawa ijazah. Akhirnya aku lulus juga.

"Kita makan di tempat Ivan aja ya." Aku pikir itu lebih kepada perintah. Sebenarnya aku agak risih karena harus makan di tempat kerja ku bersama sepupu bos ku. Rasanya pasti aneh tapi mau menolak, aku juga ga punya kekuatan untuk berdebat dengan Winner.

Bos ku melihat ke arah ku dan Winner dengan cara yang aneh. Aku tidak bisa membaca pikiran bos ku itu apalagi dia sendiri yang melayani kami. Pak Ivan tidak menanyakan apa yang kami mau. Dia langsung membawakan dua piring nasi goreng dan teh hangat untuk kami. Cafe masih terlihat sepi hanya ada beberapa meja terisi. Rata-rata orang yang datang adalah keluarga yang sedang berlibur dan mereka membutuhkan makanan.

Aku harus mengakui cafe ini memiliki suasana yang nyaman juga pelayanan yang ramah jadi tidak heran cafe ini terkenal di antara para pelancong yang datang ditambah lagi menu yang disajikan memiliki rasa yang enak.

Pak Ivan duduk di antara aku dan Winner dengan senyumannya yang manis. Dia adalah cowok yang ganteng, tidak heran banyak cewek yang datang bukan hanya menikmati menu makanan tapi juga menikmati ketampanan pemilik cafe yang sebagian besar waktunya di sini. Dia juga pria yang sederhana dan atasan yang baik. Mungkin aku mengaguminya. Pak Ivan adalah orang yang menarik dan juga baik. Dia juga selalu menghargai pekerjanya.

"Okay, sekarang kamu udah pacaran sama Ruby?" Pak Ivan sepertinya penasaran.

"Enggak, Pak. Saya gak pacaran sama Winner." Jawab ku cepat. Aku tidak mungkin memiliki hubungan khusus dengan Winner apalagi setelah ia mengacaukan hubungan ku dengan Aldo. Winner sengaja membuat Aldo salah paham dengan mencium- aku tidak mau mengingat ciuman pertama ku yang sudah direbutnya. Bagaimana mungkin setelah semuanya kami pacaran? Mungkin setelah ini semuanya akan berakhir. Aku berharap tidak akan pernah bertemu dengannya lagi.

Winner memandang ke arah Pak Ivan. "Tu udah ada jawabannya. Kita gak pacaran. Kita ke sini karena mau sama-sama liat teman di rumah sakit." Jawab Winner dingin.

"Iya deh. Cuma teman." Pak Ivan menggoda kami dengan tatapannya yang seolah tidak percaya dengan yang ku katakan. "Winner, jangan lupa balikin anak orang."

Pak Ivan kelihatan suka menggoda Winner namun sepertinya Winner tidak merasa terganggu atau lebih tepat bisa dikatakan jika ekspresinya dingin. Winner tidak peduli ketika beberapa orang cewek cantik menatap ke arahnya. Winner tidak bergeming. Ia malah memandang ke arah ku tajam seolah ingin menelan ku bulat-bulat.

Ada apa lagi dengan Winner? Mengapa anak ini suka sekali membuatku bingung dengan sikapnya yang selalu berubah-ubah. Detik ini Winner bisa menjadi malaikat namun beberapa detik selanjutnya ia bisa menjadi setan yang mengerikan. Duh Gusti mengapa aku harus bertemu dengan orang seperti ini?!

avataravatar
Next chapter