7 Broken Wings

Mengapa harus ada derai airmata yang menghiasi wajah ayu yang telah dimakan sang waktu

Airmata yang berusaha berkicau atau sekedar ingin bercerita tentang masa silam

Kenyataan seolah senang bergurau pada hati untuk mempermainkannya

Lalu pada siapa hati akan percaya?

***

Jalan pulang terasa lebih cepat daripada ketika kami mendatangi villa. Kami berdua hanya diam selama perjalanan. Winner terlihat lebih cepat mengemudikan mobilnya.

"Winner, apa yang terjadi di villa?" Aku memberanikan diri untuk bertanya pada Winner yang sedang serius mengemudi.

Winner terbatuk dan memandangi ku kikuk. Winner terlihat tidak terlalu nyaman dengan pertanyaan yang ku ajukan. Tapi mau bagaimana lagi, bagi ku pertanyaan ini sangat penting.

"Lebih baik kalau kamu mengingat sendiri." Kata Winner salah tingkah.

"Tapi aku gak ingat apapun, Winner."

Aku merasa gemas dengan jawaban Winner yang sebenarnya semakin membuat ku penasaran dan bingung.

"Winner kamu jangan buat aku makin bingung. Aku butuh jawaban kamu."

"Buat apa? Kamu tidak akan dapat jawaban apapun dari aku. Sekarang aku lagi nyetir. Jangan tanyakan ini lagi."

"Tapi aku gak tahu apa-"

"Terserah kamu mau berpikir kayak apa, aku gak peduli."

"Winner!"

"Nah sekarang udah sampai di rumah kamu. Aku lupa.",Winner mengeluarkan amplop dari tasnya dan menyerahkannya pada ku dengan tersenyum. "Terima Kasih buat pelayanan mu selama di villa."

"Maksud kamu?!" Aku merasa tertohok. Mata ku langsung menatapnya dengan amarah yang meletup di ubun-ubun. Winner harus menjelaskan semuanya padaku. "Jangan bilang kalau-" aku tidak sanggup melanjutkan kata-kata. Winner memandang ku sesaat.

"Aku tidak akan mengatakan apapun tentang itu. Terserah apa yang kamu pikirkan."

Aku tidak mengerti mengapa Winner bisa tenang. Apa karena pria memang begitu? Aku sangat kesal dan marah. Aku tidak mungkin sudah melakukan hal itu dengan Winner.

"Aku gak percaya."

"Terserah kamu, Ruby. Kenyataan terkadang menyakitkan dan itu yang harus kamu terima."

Aku tidak percaya kalau Winner akan berkata seperti itu. Apa itu berarti kami sudah- tidak. Aku berusaha untuk tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Tidak akan terjadi apa-apa. Aku menarik nafas panjang agar Winner melihat aku kuat. Aku tidak ingin menangisi sesuatu yang tidak akan kembali. Aku mengambil uang yang diberikan Winner sebelum keluar dari mobilnya. Aku merasa menyesal karena menerima pekerjaan dari Winner. Aku harap tidak akan bertemu dengannya lagi.

Rumah ku masih kosong sepertinya mama belum pulang.

" Ruby, jangan lupa datang ke sekolah buat tanda tangan dan legalisir ijazah."

Aku tidak menjawab dan memilih untuk keluar dari mobil. Ku lihat orang tua Aldo keluar terburu-buru dengan mobilnya. Tidak ada mobil Aldo terparkir di sana. Mereka terlihat berbeda. Jantung ku berdetak saat mamanya berpapasan dengan ku. Sebuah tamparan keras ku terima dari tangannya. Kepala ku pusing. Aku tidak tahu apa yang terjadi.

"Semua gara-gara kamu." Kata mama Aldo begitu emosi. Ia hampir meneteskan airmatanya di depan ku. Ada apa lagi ini?" Aldo gak akan seperti ini kalau dia gak mengejar kamu! Kamu sama aja kayak mama kamu!"

"Ma, udah ma. Kita pergi sekarang."

Papa Aldo menarik istrinya untuk menjauh dariku. Mereka meninggalkan ku. Aku berbalik untuk melihat mereka ingin bertanya lebih lanjut, aku tidak peduli apabila mereka akan menampar ku lagi. Apa yang terjadi dengan Aldo? Aku mencemaskannya.

"Tante." Aku berbalik dan melihat mama ku berdiri di hadapan orang tua Aldo dengan pakaian yang sangat terbuka. Seperti bukan mama ku.

"Mama dan anak sama saja! Tolong awasi anaknya jangan sampai saya mengadukan kalau di sini sudah jadi tempat prostitusi."

Apa?!

"Tante kalau ngomong tolong di jaga, ya!" Kata ku keras. Aku juga tidak tahu darimana aku memiliki keberanian untuk melawan orang tua Aldo. Dia bisa berkata buruk tentang ku tapi jangan ganggu mama ku.

"Kamu masa gak tahu kalau mama kamu itu kerjaannya tiap malam di diskotik. Liat baju mama kamu sekarang?! Saya gak mau liat kamu goda Aldo. Aldo itu anak baik-baik. Kalau kamu masih ketemu anak saya jangan salahkan saya kalau yang kamu terima bukan hanya sekedar tamparan di pipi kamu." Mama Aldo menjawab ku dengan garang.

"Maksud tante apa?!"

"Mama kamu pelacur!"

"Mama sudah! Aldo sekarang sedang kritis di rumah sakit. Ayo pergi sekarang! Malu Papa diliatin orang!"

Kali ini mereka benar-benar pergi meninggalkan ku yang melihat mama dengan sisinya yang tak pernah ku lihat sebelumnya, jujur aku terkejut. Selama beberapa saat ku coba menenangkan diri sedang mama berusaha mendekati ku. Entah kenapa semakin mama mendekat aku malah bergerak mundur menjauhinya.

"Stop Ma!" Aku menangis.

"Ruby, Mama-" mama juga menangis. Tangisannya membuat ku merasa teriris. "Mama melakukan semuanya supaya Ruby bisa sekolah, Ruby bisa kuliah. Mama mau lihat anak mama berhasil."

Aku tahu. Aku mengerti tidak mudah buat mama untuk membesarkan ku seorang diri meskipun begitu, aku tidak bisa menerima kalau mama seperti yang dikatakan orang tua Aldo. Mama yang selalu ku jadikan idola dan harapan ku mengapa sekarang menjadi pendosa bagi banyak orang? Aku tidak mau kuliah kalau harus melihat mama bekerja seperti itu.

"Mama, Ruby gak mau kuliah kalau mama harus kerja kayak gini. Ruby juga akan bekerja. Ruby gak mau mama bekerja kayak gini lagi!"

Mama langsung menampar pipi ku. Aku sakit tapi aku tahu mama ku jauh lebih sakit.

"Ruby, mama sudah mengorbankan segalanya buat kamu sekarang kamu jangan bodoh!"

"Mama, Ruby gak bisa biarin mama kayak gini. Ruby akan bekerja."

Hati ku sakit tapi bukan karena dua tamparan yang aku terima hari ini melainkan merasa terluka ketika orang lain merendahkan mama karena harus bekerja seperti itu untuk menghidupi ku. Berada di posisi mama bukanlah hal yang gampang, aku mengerti tapi anak mana yang rela mamanya bekerja seperti itu?

"Mama akan lakukan apa saja supaya kamu bisa kuliah. Mama gak akan menyerah!"

Mama segera masuk rumah dengan terburu-buru. Aku hanya terdiam memandang sekeliling dan menyadari Winner masih ada di sini dan memperhatikan ku. Aku memejamkan mata. Mengapa Winner harus melihat semua kejadian ini. Aku merasa malu padanya. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan saat Winner mendekat.

"Ruby..." Suaranya terdengar lembut. "Kamu baik-baik aja?" Sorot matanya hangat.

"Kamu lihat semuanya?" Tanya ku kemudian menutup mata. Aku tidak berani memandangnya. Aku menahan tangis dan menggigit bibir bawah ku sendiri karena rasa sakit yang ku rasakan.

Sesaat kami hanya terdiam. Aku lemas dan Winner menuntun ku duduk di mobilnya. Tangannya menggenggam tangan ku. Terasa hangat dan menenangkan. Aku tidak pernah tahu kalau Winner bisa membantu untuk menghibur ku di saat seperti ini.

"Ruby, Aldo mengalami kecelakaan pas perjalanan pulang dari villa dan sekarang Aldo ada di rumah sakit."

Sekarang aku mengerti mengapa orang tua Aldo begitu marah pada ku. Ini salah ku! Salah ku! Tangis ku pecah seketika.

"Semua gara-gara aku."

Winner menepuk pundak ku. Ya aku tidak percaya kalau aku menangis di hadapannya. Aku tidak dapat memikirkan apapun dan yang ada dalam otak ku hanya ingin bertemu Aldo secepatnya.

"Winner tolong antarkan aku ketemu Aldo. Aku harus ketemu Aldo, Winner." Aku memandang Winner lekat dan memegang lengannya erat.

"Ruby, kamu baru aja ditam-" Winner terdiam.

"Aldo kayak gini karena aku! Aku gak bisa berpura-pura gak terjadi apa-apa."

"Ok. Kita akan ke sana nemuin Aldo tapi besok sesudah legalisir. Orang tuanya pasti akan marah-marah kalau sekarang kamu menemui Aldo. Sekarang mending kamu masuk rumah. Istirahat. Besok aku jemput kamu."

"Uhm..."

Aku harus mengakui kalau yang dikatakan Winner masuk akal. Aku tidak ingin membuat keributan di rumah sakit. Aku mencemaskan Aldo. Aku berharap tidak terjadi hal yang buruk padanya. Apapun akan aku lakukan agar aku bisa bertemu dengannya.

Aku kembali ke rumah dengan langkah berat. Aku tidak tahu bagaimana harus bertemu mama sekarang. Ku buka pintu perlahan namun tetap saja suara derak pintu tidak bisa dihindarkan. Mama sudah mengganti pakaiannya dengan daster yang biasa dikenakannya selama di rumah. Mama duduk di bangku ruang tamu tampak sedang menunggu kedatangan ku. Aku tidak ingin berbicara dengan mama saat ini. Otak ku terlalu penuh dan aku merasa sangat lelah.

"Ruby, kamu kemana aja. Siapa yang ngaterin kamu tadi."

"Ruby kerja. Ruby mau tidur. Ruby, capek." Aku berlalu dan segera masuk kamar. Aku segera menurunkan barang ku dan mengganti baju. Aku hanya ingin tidur.

Biar lelap menyapa ku dalam hening

Menyapu semua hal kotor dan buruk

Biar hening menenggelamkan ku walau hanya sekejap

avataravatar
Next chapter