webnovel

The Day

Terhitung sudah hampir empat belas kali gadis berambut hitam itu menguap. Matanya sampai berair saking ingin sekali terlelap walau hanya sesaat. Sesekali ia melihat jam tangan hitamnya demi memburu waktu. Tapi sepertinya Bu Maria masih belum menunjukkan tanda-tanda akan mengakhiri rapat pada pertemuan ini.

Sesekali gadis itu mencoretkan tintanya ke kertas yang berisi program ulang tahun sekolah. Membuat gambar berupa rangkaian not-not balok.

Mungkin tubuhnya memang di ruang ini, tapi pikirannya sama sekali tak bisa menangkap apa yang terjadi di ruangan yang di dominasi warna hijau ini.

Sedangkan seorang gadis lain yang duduk tepat di samping kanannya, terlihat sibuk dengan lempengan kaca datar warna silvernya. Sesekali gadis itu menampilkan ekspresi yang unik, kadang serius lalu bisa tiba-tiba berubah menjadi senyuman yang lebar, terlalu lebar bahkan, hingga mungkin mirip seringaian.

"Nam, Nam, coba liat ini deh." Katanya sambil menyodorkan ponsel pintar itu ke arah Nami. "Lo udah pernah liat cowok ini belum? Dia itu murid baru yang kabarnya pindahan dari Palembang itu. Ih keren ya."

"Hmm.." Nami hanya bergumam untuk menanggapi celotehan sahabatnya yang rada gesrek itu, Tisya. Ia hanya mengangkat alisnya sambil menghembuskan nafas kasar. Sungguh saat ini Nami lebih tertarik dengan ucapan penutupan dari arahan yang disampaikan Bu Maria daripada dengan foto seorang cowok di ponsel Tisya.

Tisya yang tidak mendapatkan respon seperti yang diharapkan pun berdecak sebal. "Namita Aruna!, kebiasaan gak asik deh lo! Sekali-kali antusias nanggapin cerita gue napa?! Emang elo gak penasaran apa sama cowok bad boy yang dalam waktu seminggu aja udah jadi most wanted nya cewek satu sekolah?" Sepertinya saat ini kepala Tisya sudah tumbuh dua tanduk layaknya beauty devil di cerita wattpad kesukaannya.

Nami menghembuskan nafas kasar. Ia sangat bosan saat ini. Mendengarkan ocehan Bu Maria yang tak kunjung berhenti, juga harus mendengar ocehan dari sahabat beo-nya ini. "Oke oke, jadi siapa itu cowok most wanted yang lo maksud itu?" Sungguh tidak ada yang bisa Nami lakukan untuk mengusir kebosanannya, selain mencoba menanggapi ocehan Tisya. Ingat, hanya mencoba. Entah untuk selanjutnya.

Tisya menyeringai atas kemenangannya. Dia mengambil nafas panjang sebelum memulai orasinya yang mungkin akan sama panjang dengan orasi yang disampaikan oleh Bu Maria. "Namanya Catra. Dia itu baru pindah dari Palembang seminggu yang lalu. Dia sekarang di kelas sebelas ips 3. Dan..."

"Jadi dia adik kelas?"

"Yups. Dan.."

"Oke. Fix. Gue gak tertarik!"

"Namita!"

"Tisya harap tenang!" Suara Bu Maria terdengar menggelegar membelah suara kasak-kusuk yang ditimbulkan Tisya.

Dengan segera Tisya meringsutkan tubuhnya. Matanya melirik dan menatap nyalang pada Nami yang terlihat sangat tenang seperti tak ada kejadian apa-apa. Nami tertawa keras dalam hati melihat mulut Tisya yang terus berkomat-kamit. Ia yakin sekali jika dirinya kini sedang disumpahserapahi oleh Tisya.

Ketenangan mulai melingkup kembali di ruang yang hanya berukuran 4×4 m² tersebut. Hanya terdengar suara detik jam yang berputar dan juga suara Bu Maria yang masih merajai atmosfer di dalamnya. Sesekali terdengar bunyi tuts-tuts dari keyboard pc Bu Maria dan juga suara gesekan kertas yang dibuka.

Namita kembali diselimuti kebosanan. Juga, kegundahan. Dalam hati dia berdoa semoga rapat ini cepat selesai dan melepaskannya dari jerat kerisauan. Sebenarnya bukan hanya karna rapat yang berjalan sangat molor yang bikin Nami kesal. Tapi juga karena dia harus segera pergi ke suatu tempat. Dan dia berusaha agar tidak telat yang akan membuat harinya semakin kacau.

Memikirkan bagaimana susahnya menunggu bis di hari yang semakin sore ini juga membuatnya pening. Ditambah dengan keadaan di luar yang sudah mendung semendung wajahnya, membuat rasa kesalnya beranak pinak.

Sisi jahatnya mulai menyalahkan siapa yang telah memilih Bu Maria sebagai penanggung jawab acara ulang tahun sekolah. Padahal masih banyak guru lain yang lebih kompeten dalam menangani suatu acara seperti ini. Dan tentu saja tidak se-otoriter Bu Maria. Andai saja begitu, pasti Nami berani meminta izin untuk meninggalkan rapat terlebih dahulu. Hanya dengan menampilkan senyum manis pun, sudah pasti Nami akan mendapatkan izin.

Lagipula, sebenarnya keberadaan Nami di sini pun juga tidak berpengaruh apa-apa. Ia bisa berada di sini hanya karena nantinya ia akan tampil untuk memainkan biola. Sebagai pengiring untuk setiap lagu yang akan dinyanyikan. Dan dia sudah paham tentang apa yang akan dimainkannya. Jadi untuk apa lagi dia harus mengikuti rapat kurang berfaedah ini?

Huh! Memikirkan semua kronologi masalah ini hanya membuat kepala Nami semakin pening.

Sementara itu, bukan Tisya namanya kalau dia bisa anteng layaknya lady di kerajaan Inggris. Lihat saja kakinya yang kini bergerak bergantian sesuai irama. Kanan kiri kanan kiri. Sesekali mata kecilnya mencuri pandang ke arah Bu Maria, memastikan bahwa dirinya tidak berada dalam bidikan maut seorang Bu Maria.

***

Akhirnya rapat yang dipimpin oleh Bu Maria selesai sudah. Kini Namita sedang berjalan menyusuri koridor yang menghubungkan deretan gedung-gedung vital sekolah dengan lobi.

Suara teplak teplak dari sepatu fantofel-nya berbunyi nyaring, mendominasi keadaan sekitar yang sepi karena tak ada orang lain selain dirinya. Maklum ini sudah melebihi jam pulang sekolah, jadi hampir semua siswa sudah pulang. Sedangkan teman Nami yang mengikuti rapat tadi, semuanya menuju parkiran di belakang sekolah karena membawa kendaraan pribadi, termasuk Tisya. Dan abakadabra.. jadilah Nami berjalan sendirian menuju lobi yang akan menghubungkannya ke halaman sekolah.

Nami mulai merasakan angin yang berhembus dingin pertanda akan hujan. Hujan. Salah satu hal yang sangat dibenci Nami. Selain karna merepotkan, hujan selalu berhasil mengorek luka yang selama ini selalu sekuat tenaga Nami pendam dalam-dalam.

Nami lalu meletakkan ranselnya di depan. Sambil berjalan ia mengambil blazer yang selalu ia bawa di dalam tasnya. Salah satu antisipasi jika akan hujan seperti ini.

Nami kesulitan saat mengambil blazer itu. Sepertinya ada bagian yang tersangkut di antara buku-buku. Nami semakin menundukkan kepalanya agar bisa melihat lebih jauh ke dalam tas. Tapi tiba-tiba di tengah perjalanannya. . .

Brakk . . . .

Seseorang menabrak tubuh Nami. Membuat dirinya menjadi limbung dan terjatuh. Bahkan isi tasnya pun ikut berhamburan keluar.

Nami begitu kaget dan panik. Ia tak sempat melihat siapa pun dia yang menabraknya. Ia langsung mengambil barang-barangnya yang tercecer dan memasukkannya kembali ke dalam tas.

Nami baru sadar jika barang-barang yang keluar dari tasnya cukup banyak. Hingga hal ini memakan waktu cukup lama. Entah barang apa saja itu, Nami tak terlalu memerhatikannya. Tapi, ingatkan saja Nami jika ia harus menyortir kembali barang-barang yang harus dibawanya.

Seseorang yang menabrak Nami tidak diam saja. Ia membantu Nami membereskan barang-barangnya. Mungkin sebagai bentuk permintaan maaf karena tidak sengaja menabrak Nami.

Setelah selesai membereskan isi tasnya, Nami segera berdiri diikuti orang itu. Dan Nami baru tersadar jika orang itu adalah seorang, cowok—yang terlihat sedikit, berandal.

Kok kayak baru aja liat ya? Tapi dimana?

"Hai, maaf, tadi gue gak sengaja nabrak lo," kata cowok itu, "Kak Nami." Lanjutnya setelah melirik badge name dan kelas di seragam Nami.

Nami agak terkejut mengetahui jika cowok itu tahu namanya, dan juga panggilan "Kak" yang mengindikasikan bahwa ia juga tahu bahwa Nami kelas XII. Tapi setahu Nami, ia tidak pernah melihat cowok ini. Meskipun Nami terkesan cuek, bukan berarti dia buta dengan keadaan sekitar kan? Ah sudahlah, Nami tak mau ambil pusing.

"Oke, gue juga minta maaf. Kalo gitu gue permisi." Jawab Nami dengan senyuman super irit dan langsung melenggang pergi.

Cowok itu membalas senyuman Nami justru dengan sangat lebar dan, hangat. Bahkan ia terus menatap Nami hingga punggung Nami tak terlihat lagi saat berbelok dari koridor.

Cowok itu menatap sesuatu dalam genggamannya. Kemudian senyuman khas dirinya kembali tercetak di wajah rupawannya.

***

Nami berlari kecil saat melintasi halaman sekolahnya yang cukup luas. Dalam hati ia menggeram, karena hari ini ada-ada saja hal yang membuat dirinya semakin telat datang ke suatu tempat. Mulai dari rapat dengan Bu Maria, ditabrak seorang cowok, dan juga halaman sekolah yang terlalu luas ini yang membuatnya tak kunjung sampai di halte bus yang berada di depan gerbang sekolah.

Kekesalannya semakin memuncak saat ia mendengar suara bis yang melintas di depan gerbang sekolahnya. Astaga! Seharusnya itu adalah bis terakhir yang melintas hari ini. Dan tanpa bisa dicegah Nami melewatkannya begitu saja.

Dengan kekesalan yang telah mencapai batas maksimum, Nami menghentakkan kakinya dengan keras begitu sampai di depan gerbang sekolah. Ia juga menghela nafas kasar sambil menatap bis yang kini sudah terlihat kecil di kejauhan. Sisa-sisa asap dari bis itu masih tertinggal dan kini menyambangi indra penciuman Nami, menambah rasa sesak pada nafasnya dan juga hatinya.

Nami melanjutkan langkahnya ke halte bus dengan gontai. Sekarang apa yang harus dilakukannya? Menunggu angkot? Nami rasa itu sedikit tidak mungkin karena ini sudah terlalu sore bagi angkot untuk melintas. Naik ojek? Papa Nami pasti akan dengan tegas mengatakan tidak karena dianggap terlalu berbahaya berboncengan dengan orang asing, siapa tahu dia adalah penjahat kan? Naik taksi? Hei, bisa-bisa Nami tidak jajan di kantin selama seminggu penuh. Dan pilihan terakhir adalah menunggu jemputan dari papa atau mama Nami. Sayangnya, itu pun juga tidak mungkin karena mereka baru pulang dari kantor setelah hampir Maghrib. Kali ini Nami benar-benar menyesal telah menolak penawaran papanya untuk diantar oleh supir pribadi.

Nami menghempaskan bokongnya di kursi tunggu. Kakinya digerakkan dengan tidak tenang. Salah satu kebiasaannya ketika panik. Dalam hati pun ia tak berhenti merapalkan doa semoga ada suatu mukjizat yang bisa membantunya sampai di tempat tujuan.

Hampir lima menit Nami duduk dalam kegelisahan. Hingga tiba-tiba ada sebuah angkot yang berhenti di depannya. "Mau kemana Neng?" Tanya si supir dari dalam angkot.

Nami hampir tak percaya masih ada angkot yang melintas. Untuk sejenak ia bersyukur atas doanya yang terkabul. "Ke jalan 45 Pak." Jawabnya sambil melongokan kepala agar dapat melihat si supir.

"Oh, kalo gitu hayuk Neng naik."

Nami langsung meloncat menuju ke arah angkot, tetapi saat hendak masuk sekelebat pikiran buruk menghantui Nami karena ternyata di dalam angkot kosong. Tidak ada siapapun kecuali si supir. Ia berhenti sejenak dan memerhatikan si supir dengan saksama. Nami ingin memastikan bahwa si supir bukanlah orang jahat.

Merasa diperhatikan si supir pun menoleh. "Tenang aja Neng, Bapak bukan orang jahat." Tuturnya sambil tersenyum hangat meyakinkan Nami bahwa dia memang orang yang baik.

Nami lega setelah mendengar ucapan si supir. Tanpa pikir panjang ia pun masuk ke dalam angkot.

Hampir memakan waktu delapan menit untuk sampai di tempat tujuan. "Nanti berhenti di gedung Melody Palace ya Pak."

Angkot berhenti tepat di depan gedung yang dimaksudkan Nami. Nami segera mengambil dompetnya di tas. "Berapa Pak?"

"Nggak usah Neng. Eneng tadi udah dibayarin sama temennya Eneng."

"Maaf Pak?"

"Iya, jadi tadi sebenernya Bapak disuruh temen Eneng buat nganterin Eneng. Bapak juga udah dibayar sekalian."

Deg. . . .

"Temen saya siapa Pak?"

"Bapak gak tahu Neng, yang jelas cowok ganteng."

Nami seketika menahan nafasnya. Ia seperti deja vu dengan keadaan ini. Tapi ia tak tahu siapa teman yang dimaksud si supir. Ia menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan berbagai spekulasi yang ada. Ia kemudian keluar dari angkot setelah mengucapkan terima kasih. Ia meyakinkan dalam hati bahwa mungkin saja teman yang dimaksud merupakan seseorang yang memang baik, tidak lebih.

***

Nami mempercepat langkahnya menuju ruang orkestra, tempat dimana ia berlatih biola untuk grup orkes. Namun begitu sampai di dalamnya, hanya suasana santai yang ia temukan, tanpa pembelajaran. Bahkan beberapa di antara mereka saling bercakap-cakap. Ada pula yang memainkan biola dengan nada acak.

"Hai Nam, kamu baru dateng?" Tanya Ranti, salah satu kelompok orkes Nami.

"Iya, tadi ada rapat dulu di sekolah. Kak Rangi kemana?"

"Kak Rangi nggak dateng. Lagi ada urusan. Katanya sih buat jemput temennya di bandara. Jadinya kita disuruh buat belajar sendiri deh."

Hati Nami mencelos begitu mendengar jawaban Ranti. Bagaimana tidak, hari ini Nami harus berusaha meredam amarah dan juga kepanikan atas beberapa hal hanya agar tidak telat ikut les orkes. Dan alasan utama Nami tidak ingin telat adalah, Kak Rangi. Seorang mentor di kelompok orkes Nami yang tak segan-segan untuk melemparkan tatapan elangnya pada murid-murid yang tidak disiplin. Tapi sekarang, dia justru dengan tanpa berdosanya tidak masuk karna ada urusan.

Nami begitu dongkol dengan Kak Rangi. Tapi setidaknya ia bisa bernafas lega dengan ketidakhadiran Kak Rangi. Ia jadi terbebas dari tatapan maut yang mungkin akan membuatnya terserang sesak nafas, karena sebenarnya ia sudah terlambat hampir satu jam.

***

Alunan lagu yang indah terdengar dari gesekan biola yang dimainkan Nami. Tetapi bukan dari ruang orkes tadi, melainkan dari ruang gudang. Ya gudang. Sebenarnya gudang ini bukan seperti gudang kebanyakan. Gudang ini digunakan untuk menyimpan alat musik yang sudah tidak dipakai. Penataannya pun sangat rapi ditambah dengan sebuah jendela yang menghadap langsung ke arah taman yang berbatasan langsung dengan jalan raya, membuatnya tidak terlihat seperti gudang. Tetapi tetap tidak ada yang memasuki ruangan ini, karena ini hanyalah gudang. Kecuali Nami, ia selalu menyempatkan diri mampir ke ruangan ini saat selesai latihan orkes. Atau seperti hari ini saat tidak ada pembelajaran, maka ia akan membenamkan dirinya di ruangan ini daripada harus ikut mengoceh bersama teman-teman sepermainannya. Nami juga rajin membersihkan ruangan ini sehingga selalu nyaman untuk ditempatinya. Dalam hati Nami membenarkan, ruangan ini memang sangat berarti untuknya.

Di ruang ini jugalah saksi bisu kisah cintanya yang belum tuntas. Kisahnya bersama seseorang yang sampai kini membuatnya terus membekukan hati untuk yang lain, karena Nami percaya bahwa kisahnya dengan seseorang memang belum tuntas. Dan ia juga yakin akan menuntaskannya, suatu hari nanti. Entah sampai kapan.

Nami menyelesaikan lagunya dengan sangat indah. Lagu itu adalah lagu yang sama seperti hari-hari yang lalu. Lagu yang sama seperti kisah cintanya yang belum tuntas.

Nami meletakkan biolanya di atas meja saat seseorang dengan sengaja terbatuk. Ia dengan cepat menoleh dan menemukan sesosok orang yang sedang melipat tangannya di depan dada sambil bersender pada kusen pintu. Kak Rangi.

Seketika jantung Nami berdetak cepat, entah karena kaget atas kemunculan Kak Rangi yang tidak disadarinya atau karena tatapan tajam yang dilayangkan Kak Rangi, atau mungkin, karena hal lain. Sial, ternyata dia tidak sadar jika ia diperhatikan sejak dari tadi.

"Saya tidak tahu kamu masih ada di sini. Hampir saja saya menguncimu di gedung ini jika saja tidak mendengar alunan biolamu." Kata Kak Rangi dengan nada yang amat sangat datar.

"Ma maaf Kak." Jawab Nami dengan gugup. Jika saja di sekolah Nami berhasil mendapat gelar sebagai orang tercuek, maka lain halnya jika ia sudah berhadapan dengan Kak Rangi, ia akan mati kutu.

"Kalo kamu masih ingin disini silahkan. Cuma jangan lupa untuk mengunci ruangan dan pintu depan." Kata Kak Rangi lagi dengan nada yang masih sangat datar sedatar triplek.

"Ng nggak Kak. Saya juga udah mau pulang." Jawab Nami sambil mengambil ranselnya. Ia kemudian keluar ruangan dan menghadap Kak Rangi saat di depan pintu.

Kak Rangi kemudian menutup dan mengunci pintu itu. Nami memperhatikannya. Dalam hati ia merutuki dirinya sendiri yang tak menyadari kehadiran Kak Rangi.

"Kamu mau melamun atau mau pulang?" Pertanyaan sarkastik Kak Rangi berhasil menyentak lamunan Nami. Ia tergagap. Sungguh bagaimana bisa ia bertindak bodoh dua kali di depan Kak Rangi. Itu sangat memalukan.

Belum sempat Nami tersadar dari kegagapannya, Kak Rangi sudah melenggang melewatinya. Tak mau berbuat konyol lagi Nami segera mengekor di belakang Kak Rangi.

"Lain kali kalo saya lagi gak masuk, hubungi saya lewat pesan chat jika mau main biola di ruang gudang. Biasanya saya gak pernah cek dulu kesana. Dan saya gak mau kejadian kayak tadi terulang lagi." Kata Kak Rangi panjang lebar.

"Iya Kak, maafin Nami."

Sebenarnya Kak Rangi bukan tipe orang yang dingin. Hanya saja pembawaannya yang kalem sering membuat orang lain salah paham. Nami juga tahu kalo Kak Rangi juga bukan orang yang otoriter, tapi dia hanya melatih muridnya untuk bersikap disiplin.

Nami membuka ponselnya saat ada getaran. Ternyata mamanya mengirim pesan kalau dia tidak bisa menjemput Nami karena akan pulang telat. Nami menghela nafas pelan, ia harus pusing lagi memikirkan bagaimana ia harus pulang.

Sesampainya di pintu depan, Kak Rangi lalu mengunci pintu. Nami masih setia mengekorinya. Ia juga masih setia memperhatikan Kak Rangi.

"Pulang naik apa?" Tanya Kak Rangi.

Nami melipat bibirnya menjadi garis tipis. Ia bingung apakah harus jujur atau tidak.

"Sebenarnya mau dijemput mama Kak, tapi kayaknya mama pulang telat."

"Kalau gitu saya antar kamu." Tawar Kak Rangi yang lebih terdengar seperti nada perintah.

Nami masih diam memikirkan penawaran Kak Rangi. Sebenarnya dia masih malu dengan kejadian beberapa menit lalu.

"Mau tidak?" Cecar Kak Rangi lagi.

Akhirnya tak ada pilihan lain. Nami menganggukan kepalanya. Ia tak mau harus menunggu mamanya yang entah akan pulang sampai kapan di depan gedung sendirian.

Mereka kemudian memasuki mobil Kak Rangi yang berwarna biru. Sebenarnya ini pertama kalinya Nami diantar pulang oleh Kak Rangi. Biasanya mama Nami tidak pernah pulang telat dan selalu menjemput Nami tepat waktu. Hanya saja hari ini berbeda.

Di dalam perjalanan tak ada percakapan. Mereka sama-sama bungkam, seperti sedang adu siapa diantara mereka yang paling pendiam.

Tak terasa mobil Kak Rangi telah sampai di depan rumah Nami. "Terima kasih Kak." Kata Nami sopan.

"Sama-sama."

Saat hendak membuka pintu mobil tiba-tiba Kak Rangi memanggilnya.

"Namita."

"Iya Kak?"

"Selamat malam." Kata Kak Rangi disertai senyum tipis. Hal itu mungkin tidak spesial tapi berhasil membuat perut Nami seakan anjlok ke bawah karna itu diucapkan langsung oleh Kak Rangi.

"Selamat malam juga Kak." Jawab Nami. Mungkin saja jika tidak gelap karna malam, rona di kedua pipinya pasti akan terlihat jelas.

Entah apa yang salah dengan Nami, tapi ia selalu seperti itu jika berada di dekat Kak Rangi. Ia selalu bertingkah aneh dan ceroboh. Hanya pada Kak Rangi.

***

Ditunggu vote dan komentarnya sayang....😘

Next or no . . .  .

Namita Aruna

Cek ig : @rodatull_

😘