1 Bab 1. Menjadi Pengantin Pengganti

"Mau 'kan, Ghin?"

Gadis bermata cokelat itu membelalak mendengar permintaan ibu angkatnya.

"Apa Ma, menikah dengan Kak Sakha?"

Gadis itu menggeleng.

"Tolong Mama, Ghin? Anggaplah ini balasan karena Mama sama Papa sudah menjaga dan merawatmu selama ini. Kasihani kami Ghina, ribuan undangan sudah tersebar, gedung resepsi sudah disewa, wedding organizer sudah dipersiapkan, apa kata orang jika pengantin pria hanya duduk di pelaminan seorang diri?"

Wanita yang sudah merawat gadis itu sejak kecil memberi tekanan pada permintaannya.

Ghina tersentak! Selama ini tak pernah wanita itu mengungkit-ungkit perihal jasa. Apa separah itu, yang dialaminya kini, hingga harus memusnahkan kebaikan yang ia lakukan sekian lamanya? Bukankah mengungkit kebaikan, sengaja atau tidak, sudah termasu riya.

"Ghin, sebelum pergi, ibumu pernah berpesan pada Mama. Jika kelak kamu dewasa, Mama boleh minta apapun padamu. Ibumu memastikan, bahwa kamu tidak akan menolak permintaan Mama seperti kamu tidak akan menolak permintaannya. Lihat Mama Ghin, apa pernah selama ini Mama memintamu melakukan hal-hal aneh?"

Ghina menggeleng.

"Andai calon pengantin Sakha tidak menghilang, Mamapun tak mungkin memintamu menjadi pengantin pengganti. Masalahnya sekarang, tidak ada wanita itu pergi, Ghin. Apa kamu tega membiarkan Kakak angkatmu itu menikah dengan wanita sewaan?" ucap wanita itu semakin tersedu-sedu.

Ghina semakin linglung. Satu sisi, ia kasihan, tapi di sisi lain, ia tak ingin menyia-nyiakan hidupnya dengan menikahi lelaki seperti Sakha. Luar dalam Ghina tau bagaimana Sakha.

Buat gadis itu, menikah sekali seumur hidup. Tak ada manfaat menikah dengan lelaki playboy dan suka marah-marah seperti Sakha. Bisa-bisa baru seminggu menikah, sudah diajak poligami.

"Gin, semalam Sakha bilang sama Mama mau nyewa kupu-kupu malam buat gantiin posisi Ryanti. Apa kamu tega bersaudarakan pela***?"

Kembali wanita itu membuat Ghina gamang dengan keinginan untuk menolak. Gadis itu masih bergeming.

Kini Mama Sakha melepas tangan suaminya yang sedari tadi memegangi pundak, tangannya menyentuh puncak kepala Ghina yang berbalut hijab.

"Jika kamu menyayangi kami, jangan berkata tidak, Gin."

Gadis itu terhenyak. Irama jantungnya kini benar-benar tak lagi terkontrol. Kabut mulai menyelimuti kedua netra. Sambil mengangkat wajah, hendak memberi jawaban. Netra Ghina justru terbidik pada sosok tegap yang kini hadir di ambang pintu.

"Kalau Ghina nggak mau nggak usah dipaksa, Ma. 'Kan Shaka udah bilang, nyewa perempuan bayaran itu hanya untuk sehari aja. Setelah itu, Sakha akan memberinya uang doble dan meminta agar dia pergi sejauh mungkin."

Ghina tertegun, 'Kak Sakha?'

Dari kemarin ia sampai di rumah itu, baru pagi ini ia melihat sosok yang katanya ditinggal lari mempelai wanita.

'Menawan. Ah, memang dari dulu, dia 'kan sudah tampan. Hanya akhlaknya yang kurang mantap!'

"Gimana, Ghin? Kamu lihat Sakha, Sakha sekarang, nggak sama dengan Sakha yang kamu kenal dulu. Kamu mau 'kan menjadi pengganti Ryanti?" Mama angkat Ghina tak menggubris ucapan putranya, justru kembali melempar pertanyaan pada gadis yang tampak meremas-remas ujung hijabnya.

Ghina semakin bingung, beberapa kali ini menghela napas panjang.

Sementara itu, Sakha tampak berbalik. "Aku sekarang, nggak jauh beda dari yang dulu. Kalau Ghina mau, ya mau aja. Kalau nggak, yaudah!"

"Fuih ...."

Ghina menghela napas berat. 

'Pembawaannya aja yang berubah, tidak sifatnya.'

Gadis itu menggerutu dalam hati.

"Yaudah, Pa. Ayo kita pergi, ternyata Ghina memang tidak mau menolong kita!"

Panik! Gadis itu terkejut dengan reaksi sang Mama. Ia bangkit, mengejar langkah orang tua angkatnya yang hendak meninggalkan kamar.

"Tunggu, Ma."

Ghina kembali menarik napas, Mama dan Papa angkatnya berhenti dan segera berbalik.

"Ghina setuju menikah dengan Kak Sakha," jawabnya pasrah.

"Alhamdulillah, terima kasih Sayang. Mama bahagia sekali ...."

Wanita itu memeluk tubuh Ghina, mencium pipinya kiri dan kanan. Memandangi lama dengan kedua mata berlinangan cairan.

"Beristirahatlah Sayang, nanti malam kita akan melihat tempat resepsi pernikahanmu."

Detik berikutnya, wanita itu mengajak suaminya keluar kamar. Masih terdengar di telinga Ghina mereka berkata, "baju pengantin Ryanti pasti muat buat Ghina, Pa. Karena kalau Mama perhatikan, mereka berdua mempunyai postur tubuh yang sama."

'Menyakitkan, udah disuruh jadi pengantin pengganti, disuruh pakai baju orang pula.'

Ghina mengangkat kakinya dengan berat. Didudukkan tubuh di atas ranjang. Jujur, ia menyesal. Bagaimana bisa ia memutuskan sesuatu yang amat penting dalam hidupnya hanya dalam hitungan menit.

Bukankah untuk memutuskan menikah, harus diawali dengan istikharah, taaruf dan sebagainya. Tapi, apa yang terjadi padanya?

Kembali, ia menarik napas berat.

'Engkau benar bu, aku memang akan selalu menuruti kemauan Mama. Hari inipun demikian, aku tak mungkin mengatakan tidak padanya. Walau kau tahu, Bu, saat ini aku tidak ikhlas. Ya Allah ... katakan pada hamba-Mu ini, jika semua hanya mimpi?'

"Ghina ...."

Suara bariton di hadapan gadis itu membuatnya tersentak.

"Terima kasih kamu sudah mau menggantikan Ryanti untuk menjadi mempelai wanitaku, tapi maaf," ia menggantungkan ucapannya, "cintaku masih untuk Ryanti. Dan kurasa kamu juga punya pacarkan?"

Ucapan Sakha jelas mencambuk hati Ghina. Gadis itu terdiam sesaat, tak mau menjawab. 

"Hai, kamu punya pacar nggak?"

"Aku bukan wanita murahan!" jawabnya dengan suara sedikit membentak.

"Ya, aku tahu, kamu dari dulu memang nggak pernah pacaran 'kan? Kamu gadis baik-baik, nggak seperti aku, punya banyak wanita dimana-mana."

Sakha kembali menghentikan ucapannya.

"Kemarin Mama sempat bilang ke aku, kalau setelah pernikahanku, Mama berencana menggelar pernikahanmu. Benar?"

Ghina kembali bergeming, sedang mencari cara untuk menjawab. Tak ketemu. Gadis itu hanya mengangguk.

"Katakan pada calon suamimu, aku tidak akan menyentuhmu. Dia boleh minta padaku, berapa lama dia ingin aku menjagamu sebagai jodohnya. Akan kukabulkan. Ini balasan karena kamu dan dia sudah mau berkorban demi aku."

Ghina mencoba menarik napas dalam, mengumpulkan udara sebanyak-banyaknya agar paru-paru bisa bekerja normal. Harus bagaimana gadis itu mengartikan ucapan Sakha.

'Jika ia belum ikhlas dengan kesetujuannya tadi, maka apakah Sakha membenci pernikahan ini?' batin Ghina meracau tak jelas.

'Baiklah, jika itu maumu Sakha. Kurentangkan tangan untuk pernikahan ini. Selamat datang mantan musuh. Ternyata Allah mempertemukan kita dalam satu rumah tangga. Apa yang akan kita lakukan setelah sah menjadi suami istri? Bertengkar, saling tonjok, pisah ranjang?' 

Ada rasa sakit dalam dada gadis itu. beberapa kali ia beristigfar.

"Oya, aku minta maaf ya. Dulu pernah begitu membencimu," lelaki itu terkekeh, "aku juga pernah bilang, kalau kamu adalah gadis terjelek di dunia, bukan tipeku. Dilihat dari sudut pandang manapun, kamu tetap jelek. Aku juga yang pernah menyumpahi, tak ada satupun lelaki yang akan menikahi pengkhianat sepertimu, hanya karena kamu memergokiku berduaan di ruang tamu dengan Sasha. Kamu masih ingat, nggak?"

Sakha menoleh, Ghinapun demikian. Sejenak pandangan mereka saling bertemu.

"Sekarang aku kena batunya!"

Sakha kembali tertawa sambil mengalihkan pandangannya. Sedang Ghina hanya termanggu, dia bingung melihat sikap lelaki di hadapannya.  

Benar-benar tak bisa dideskripsikan dengan kata-kata.

Beberapa menit Sakha larut dalam tawa, terdiam saat ponsel Ghina berbunyi.

"Ada yang menelpon. Mungkin calon suamimu. CK! Kasihan sekali dia, harus merasakan yang aku rasakan kini. Oleh sebab itu, kupastikan kamu akan kembali pada lelaki itu."

Sakha menepuk kepala Ghina yang berbalut hijab. Tak lagi berbicara, lelaki itu kembali melangkahkan kakinya.

Ghina hanya mampu menghela napas. Mencoba menata perasaan yang kini terasa bagai jalannya sebuah kereta pada rool coaster. Tak lama, tangannya tergerak untuk meraih benda pipih yang terletak di atas nakas. 

Terlihat di layar sebuah nama yang tak asing, 'Arya Assajid'.

Pemilik sebuah rasa yang Allah titipkan dalam jiwa ini.

"Assalamualaikum Anti.'

Pesan dari lelaki itu membuat kabut-kabut yang menyelimuti netra Ghina mengembun, lalu luruh membasahi pipi. 

"Mengapa, aku tak pernah punya kesempatan untuk memilih? Apa karena aku anak seorang pembantu?"

***

Mau dilanjut?

avataravatar
Next chapter