1 1

Matahari sudah menggantung tinggi saat aku terjaga. Dengan kemalasan yang masih mengikat erat, juga kantuk yang terus menyeret pelupuk mata agar kembali terpejam, kupaksakan tubuhku untuk bangun. Tangan kananku meraba raba ponsel di nakas dengan mata yang masih setengah terpejam.

Jam di layarnya menunjukan angka 7:10 AM. "Masih ada waktu." batinku sambil lalu menyeret handuk dan peralatan mandi yang masih tergeletak di meja usai kugunakan semalam.

Sejujurnya mandi pagi adalah satu dari sedikit rutinitas yang kubenci dalam hidupku. Meski lahir dan besar di wilayah pegunungan, tapi itu tak serta merta membuatku bisa berkompromi dengan semua hawa dingin. Apalagi kalau lambungku sedang bermasalah seperti sekarang. Kujamin aku bakal mual sepanjang pagi bak orang hamil muda.

Aku sungguh membencinya.

đŸŒ”

Pukul 8 kurang 5 menit aku sudah sampai di parkiran. Cepet ya? Iyalah, orang kantornya masih satu komplek dengan tempat kos.

"Selamat pagi pak Anwar." sapaku pada lelaki paruh baya yang tengah mengelap kaca mobil.

"Pagi nduk." sahut beliau seraya tersenyum ramah. Kalau ada predikat orang paling ramah sekantor, jelas beliau orangnya.

Ruang kerjaku berada di lantai 1. Letaknya persis bersebelahan dengan gudang dan agak terpisah dari ruangan-ruangan lain. Di ruangan inilah aku menghabiskan sebagian besar waktuku selama tiga tahun terakhir.

Tentu saja aku tidak sendirian, ada mas Hari. Dia kepala bagianku, aku hanya stafnya, satu-satunya staf lebih tepatnya. Dan seperti biasa, orang itu belum ada di tempat saat aku sampai. Entah dimana keberadaannya sekarang, hanya tuhan yang tahu.

Aku si deadliner, dia? Entah apa namanya. Yang jelas kami berbagi kesialan yang sama karena dipertemukan satu sama lain.

đŸŒ”

avataravatar