31 Meatloaf Taco [Part B]

Cepat-cepat aku mengatur ekspresi normal meskipun pikiranku melayang-layang pada banyak rencana. Adam tidak boleh merasa aneh, itu hanya akan memalukan diriku sendiri sebelum melangkah lebih jauh.

"Y-ya... maksud saya, itu hal yang menarik dan bagus untuk kelanjutan kerja sama antara Dollhouse dengan Blue Pacific. S-saling mempercayai."

Sial, berantakan sekali cara berbicaraku.

Aku menatap bosku dengan canggung, dan ia belum mengalihkan pandangannya setelah aku berbicara. Ada jeda yang tidak lama sebelum ia menganggukkan kepala, mungkin setuju.

"Benar. Sampai sekarang pun pihak Dollhouse tidak pernah melayangkan protes buruk. Bahkan mereka mengajukan proposal ketiga mereka ke Blue Pacific." Aku mendengar nada kepuasan dalam kalimat Adam, kupikir ia sedang mengapresiasi perusahaannya sendiri.

"Apakah Tuan sudah membaca proposal mereka?" tanyaku, karena sejak aku bekerja belum kutemukan pihak Dollhouse datang untuk memberikan proposal mereka.

"Aku sudah membacanya. Itu dikirimkan sekitar seminggu sebelum kau bekerja di sini, Jessy. Mungkin akan kubaca kembali sebelum pertemuan nanti."

Adam beralih pada tumpukan dokumen di mejanya, seolah mencari sesuatu di antara tumpukan itu. Sebuah dokumen bersampul merah muda ditarik Adam dari tengah tumpukan. Kami tidak terlibat percakapan apapun lagi, dan Adam sudah mulai sibuk membolak-balik halaman dokumen tersebut. Aku memang tidak melihat judul dokumen itu, namun kutebak itu adalah proposal ketiga milik Dollhouse. Melihat Adam yang larut memulai pekerjaannya, aku melakukan hal yang sama.

Berdasarkan jadwal agenda bosku, hari ini cukup sibuk. Adam memiliki beberapa pertemuan dengan kliennya dan satu rapat kecil, dan aku harus menyiapkan sekiranya apa yang dibutuhkan. Ya, hal umum seperti laporan rapat sebelumnya atau dokumen-dokumen yang harus dibawa ketika ia bertemu kliennya nanti.

Sebenarnya aku bertanya-tanya apakah pekerjaanku hanya dalam lingkup kantor saja atau sampai pada lingkup pribadi bosku. Mengingat pekerjaan 'personal assistant' ada yang melebihi lingkungan kantor. Allan juga tidak menjelaskan detail pekerjaanku sejak awal. Dia benar-benar HRD tidak berkompeten.

Tetapi, jika aku bisa berharap dan itu terkabul, aku ingin menjadi asisten pribadinya sampai ke hal-hal pribadi bosku. Aneh kalau aku tidak berharap seperti itu, bukan? Pfftt.

Oke, Jessy, sekarang waktumu bekerja.

Tidak sampai satu jam, atau lebih tepatnya di pukul sepuluh kurang sepuluh menit aku mendapatkan kabar bahwa pihak Dollhouse telah datang ke kantor. Sedikit lebih awal dari yang dijanjikan.

"Tuan, pihak Dollhouse sudah datang. Apakah Tuan ingin menemuinya sekarang?"

Adam menutup proposal yang dibacanya saat itu, sekilas melirik jam dinding sebelum memberikan anggukkan kecil satu kali.

"Antar mereka ke sini, Jessy." Aku bergegas keluar dari balik mejaku dan meninggalkan Adam seorang diri untuk menjemput kliennya yang mungkin sudah menunggu di lobi lantai 23.

Tidak ada orang lain lagi terkecuali pria muda dengan setelah abu-abu tengah membaca majalah bisnis di lobi sana. Meskipun aku belum pernah bertemu siapa pun dari pihak Dollhouse, kupikir ia orang yang menghubungiku untuk bertemu dengan Adam.

"Selamat pagi, Tuan William?" sapaku mencoba menarik perhatiannya.

Pria tersebut menoleh padaku dengan kedua alis meninggi, seolah menanyakan siapa aku dan ada apa tanpa mengoreksi apakah ia benar William dari Dollhouse atau bukan. Karena reaksinya seperti itu, aku percaya diri kalau aku benar.

"Tuan Adam sudah menunggu Anda di ruangannya. Mari, saya antar."

Dan, ia masih menatapku dengan alisnya yang belum juga turun. Sial, ada apa dengannya?

Oh, atau sebaliknya?!

"Tuan William?" Aku memanggilnya sekali lagi dan raut wajahnya itu berubah sebelum bangkit dari sofa di mana ia duduk. Majalah yang tadi dibacanya sudah ia kembalikan ke tempatnya dengan rapi.

"Aku merasa tidak asing dengan wajahmu," katanya begitu kami mulai berjalan ke ruangan Adam.

Tunggu-tunggu-

Jadi, itu alasan ia memandangku dengan aneh. Tapi, aku sama sekali tidak memiliki secuil ingatan tentangnya, meskipun sekilas tentang nama atau wajahnya.

"Siapa namamu?" William itu bertanya, namun tidak sempat kujawab karena aku lebih dulu membuka pintu ruangan Adam.

Adam dan William bersapa dengan formal, berbasa-basi sejenak sekadar menanyakan kabar. Bila kulihat, keduanya tampak akrab, namun juga masih formal. Ya, begitulah.

Aku kembali ke mejaku dan bersiap untuk mencatat hal-hal penting dari pembicaraan mereka nanti. Karena berada di ruangan yang sama, obrolan mereka masih dapat kudengar dengan jelas.

Ah, sial, aku masih merasa ganjal dengan ucapan Willam tadi. Aku ingin coba ingat-ingat lagi, tapi itu bisa membuatku hilang fokus dan malah tidak melakukan pekerjaanku.

Aku yakin aku tidak pernah mengalami amnesia atau gangguan otak yang mengakibatkan hilangnya ingatan.

Mungkin si pria bernama William itu hanya salah mengira aku yang mirip dengan teman, kenalan, saudara, atau mantan kekasihnya. Apapun itu bisa saja menjadi kemungkinan.

Ck, pagi-pagi sudah membuat beban pikiran saja.

Aku menggelengkan kepala, seolah dengan begitu pikiran tidak penting di kepalaku menguap.

Percakapan bosku dan William tidak begitu jauh, hanya seputar konfirmasi kembali isi proposal dan rencana ke depan dari kedua belah pihak. Setidaknya aku mulai paham karena pembahasan mereka masih awal, tahap persetujuan proposal.

Waktu terus berputar, dan entah mengapa kali ini aku menjadi cepat bosan. Sesekali menguap samar tanpa suara agar tidak ketahuan. Aku melirik pada kotak bekal yang kupersiapkan dengan penuh cinta. Rasanya ingin cepat-cepat ke waktu makan siang agar bisa menyuapi Adam.

Semoga saja. Kalian bantu mengaminkan.

Aku berhenti mencatat ketika obrol keduanya tidak lagi membahas pekerjaan, namun berganti setelah Adam menanyakan kabar si pemangku jabatan tertinggi di Dollhouse. Oh, sebuah basa-basi sebelum akhirnya mereka berjabat tangan setelah satu jam berbincang dengan aku yang seperti penguping di kursiku.

"Kuharap aku bisa bertemu dengan beliau di lain waktu. Sampaikan salamku padanya." Itu kalimat terakhir Adam pada William, dan setelah itu si tamu berbalik untuk pergi.

Namun, mata biru milik William sempat menatapku sebelum sosoknya hilang di balik pintu.

Apa-apaan dia. Sok misterius.

Awas saja jika aku teringat sesuatu tentang dirinya.

Aku mengembalikan tatapanku pada Adam. Ia belum terlihat lelah, bahkan sudah sibuk beralih pada dokumen yang lain.

Ekspresinya yang begitu serius membuatnya terlihat semakin tampan, dan diam-diam aku mengulum senyum sendiri.

Kami larut dalam pekerjaan masing-masing, sesekali terdengar Adam mendapat panggilan telepon. Ah, sudah dua kali dalam lima belas menit.

Sisa waktu lima belas menit pun telah terlalu. Waktu istirahat sudah tiba, sialnya jantungku langsung berdegup lebih kencang.

Aaaa, Mommy aku malu!

Cepat-cepat aku menatap kotak bekalku, kemudian menatap Adam.

'Deg.'

Siapa yang menyangka kalau Adam sedang menatap ke arahku.

Aku terdiam dengan wajah yang kaku. Konyol sekali.

"Selamat beristirahat, Jessy." Adam pasti mengira kalau aku tengah mencoba izin meninggalkan ruangan untuk beristirahat.

Kemudian pandangan mata kami terputus. Aku bukan remaja tanggung lagi, tapi aku serius aku merasa panas dingin.

B-bagaimana aku harus menyerahkannya?!

Aku meneguk liurku sekali lagi, tidak lupa mengatur pernapasan untuk mencari kepercayaan diri.

Baru kali ini aku nampak konyol karena jatuh cinta.

Aku meraih kotak bekalku sembari melirik pada Adam yang masih merapikan mejanya. Beringsut perlahan dari kursi dan mendekatinya dengan kikuk.

Begitu aku sudah berdiri di depan mejanya, aku meletakan kotak bekalku di sana. Hal itu membuat Adam otomatis mendongak dan mataku kembali bertemu dengannya.

"Makan siang yang saya janjikan semalam," tukasku dengan ringisan kecil. Takut, aku takut. Mommy!

Adam pun menurunkan pandangannya, seperti menilai kotak makanan yang kini ada di depan matanya.

"Kau yang benar membuatnya?" dan ia menanyakan hal itu sambil sedikit melonggarkan dasinya.

"Seperti yang saya katakan semalam. Saya akan membuatkan Tuan makan siang." Aku tidak tahu apakah saat waktu istirahat aku harus berbicara formal padanya. Namun, Adam belum membuat pengecualian untuk ini.

"Apa yang kau buat?"

Baiklah, rasanya seperti sedang dihakimi di kontes memasak, dan Adam menjadi juriku.

"Meatloaf taco?" Sial, aku jadi tidak yakin dengan masakanku.

"Kalau begitu, aku buka kotaknya."

Saat Adam membuka kotak bekal itu, aku merasa waktu berjalan menjadi lebih lambat. Aku juga tidak henti meneguk liur dengan susah payah.

"Taco?" tanyanya lagi setelah isi di dalamnya nampak dalam mata bosku.

"Y-ya... taco. Saya memang membuat taco."

Sudah kuduga, memang ada yang aneh. Arrghhh.

"Apa ini semua untukku?" kali ini Adam mengembalikan pandangannya.

Aku mengangguk tanpa keraguan. Seratus persen penuh cinta untuknya.

"Bagaimana denganmu?"

Ya, betul. Bagaimana denganku...

"Saya akan makan siang di cafetaria," karena aku memang tidak menyiapkan untuk diriku sendiri.

"Kalau begitu, duduklah. Kita makan bersama. Aku merasa kurang ajar jika menghabiskannya sendiri, sedangkan chef yang membuatnya tidak menikmatinya juga."

Astaga astaga astaga. Mimpi apa aku semalam?! Jujur saja selain ingin membuatkannya makan siang, aku tidak berharap untuk berbagi makanan dengan bosku. Ini kesempatan emas dari berbagai kesempatan emas lainnya.

"Ada apa, Jessy?"

Lamunanku buyar begitu Adam memanggilku.

"Tidak ada apa apa." Aku menarik kursi di hadapannya dan duduk pelan-pelan. Bosku sudah mengambil satu taco dari kotaknya.

"Ini tidak akan membuatku sakit perut, bukan?" ekspresinya jenaka, membuatku tahu kalau ia bukan bermaksud untuk menghakimi.

"Mana mungkin, Tuan. Saya tidak berniat ditendang dari sini lebih awal," jawabku dengan kekehan pelan.

Bosku ikut tertawa, tawa ringan hingga menunjukkan deretan gigi putihnya meski sedikit.

"Baiklah, aku makan sekarang."

Aku mengangguk cepat dan menatapnya dengan penuh antusias. Bahkan aku juga menahan napas, mengira-ngira akan bagaimana reaksinya.

Adam tidak menampilkan raut wajah berarti ketika mengunyahnya. Entah apakah ia menyembunyikan sesuatu untuk menghargaiku atau memang rasanya tidak buruk.

Arghh, tapi sekarang aku tidak begitu percaya diri.

"Ini enak, Jessy."

"Katakan saja bila tidak enak."

Kami berbicara bersamaan.

"Tidak. Aku bicara jujur. Tacomu enak."

Oh, Dewi Fortuna, aku ingin meleleh sekarang.

Aku menunduk, menahan senyum dan pipiku yang memanas.

"Makanlah, Jessy, karena aku tidak akan menendangmu dari sini."

Ini menyenangkan. Aku tidak mengacaukan apapun untuk makan siang ini. Adam benar-benar membuatku makan bersamanya meskipun yang kami makan untuk makan siang hanyalah taco.

Meatloaf taco.

.

.

.

.

.

- To be continue -

avataravatar
Next chapter