27 Evening In The Mall [Part B]

Mereka para pegawai hanya memandang Sam tanpa berniat melepaskanku. Sepertinya tidak percaya dengan ucapan Sam, mungkin menganggapnya berkomplot denganku.

"Lebih baik kalian ikut kami ke kantor."

Si satpam dan satu pegawai lain yang menahan tanganku pun segera menggiringku masuk kembali ke dalam toko.

Kalau saja aku tidak menuruti Sam tadi, aku tidak akan berada dalam posisi ini!

"Hei, enak saja kau membawanya!" Sam berlari menyusul dan kami menghilang dari area pekara. Kerumunan juga perlahan menghilang setelah tontonan mereka tamat.

Sekarang aku dan Sam duduk di hadapan orang yang berbeda. Pegawai yang menangkapku berdiri di belakangku, sedangkan si satpam entah ke mana perginya.

"Sudah kukatakan, aku tidak bersalah. Jadi, aku tidak perlu berada di sini."

"Jessy benar. Jadi, lepaskan kami." Sam menambahkan.

"Tenang, Tuan, Nona. Kami hanya meminta keterangan dari Anda." Pria bernama Alexander yang kuketahui dari tanda pengenal di dadanya, mencoba untuk tetap tenang.

"Kau sudah mendapatkannya. Aku bilang. Aku. Bukan. Pencuri." Aku menegaskan dengan dalam sambil mengetukkan telunjuk kananku pada meja di antara kami.

"Tapi, tadi kudengar Anda berlari keluar dengan membawa sepatu kami."

Hei, itu salah si wanita sialan di tokomu! Kalau saja ia membiarkan sepatu itu menjadi milikku, kau tidak akan merasa tokomu dicuri.

"Itu tidak lantas menuduh Jessy sebagai pencuri. Ia hanya mencoba apakah sepatu itu nyaman digunakan untuk berlari."

Sam sukses membuat semua mata memandang ke arahnya. Ia bodoh.

Ah, tidak, maksudku ia sangat bodoh.

Aku memandangnya kesal dan menginjak kakinya di bawah meja.

"Akh! sakit Jessy!" Sam menjerit, membuat dua orang lain di sana memandang kami dengan bertanya.

"Dengar, aku bukan bermaksud mencuri atau apapun yang kalian tuduhkan. Aku dengan salah satu wanitamu berebut sepatu. Dia tidak mau menyerahkan sepatu itu untukku dengan alasan ada seseorang yang membayar lebih dulu."

Sebentar, aku bernapas dulu.

"Karena sepatu itu incaranku sejak lama dan ia berkata tidak memilik stok persediaannya lagi, tentu saja aku harus melindungi milikku."

Sebenarnya secara fakta sepatu itu belum menjadi milikku.

"Lalu, kau berniar mencurinya?" pria di belakangku bersuara sebelum aku menyelesaikan ceritaku.

"Diam dulu, otak udang!" aku mengangkat kepalan tangan kananku di udara, tanda agar ia lebih baik diam.

"Aku lari membawa sepatu itu agar tidak diambil olehnya. Tapi, aku tidak sengaja berlari hingga keluar toko! Aku tidak sengaja! Dengar ini, aku, tidak, sengaja." Aku menekankan kata-kata pada kalimat terakhirku. Jika itu tidak cukup, aku akan menyuruh Sam menyogok mereka agar kami segera bebas dari sini dan ingatkan aku untuk tidak lagi datang ke toko sialan ini.

"Baiklah, karena sepatu itu tidak hilang, tidak ada yang perlu diluruskan lebih jauh. Kami meminta maaf untuk persediaan sepatu tersebut, Nona."

"Cih," aku mendecih sebelum melipat kedua lenganku di depan dada. Mana mungkin aku akan menerima permintaan maafnya begitu saja.

"Kalian menjelekkan namaku. Aku tidak terima, dan sebagai gantinya sepatu itu menjadi milikku."

Bukan Jessy namanya kalau mudah menyerah.

Alexander terdiam menimbang, sedangkan aku menatapnya dengan tuntutan yang tidak ingin ditolak lagi.

Lama memandangnya yang sedang berpikir...ternyata ia tampan juga.

Oh, tapi tidak lebih tampan dari Adam. Kau harus menjaga matamu dari pria lain Jessy.

"Cepatlah, aku lapar," gusarku di tempat.

"Baiklah, Nona, sepatu itu menjadi milik Anda. Silakan lanjutkan pembayarannya di kasir." Alexander memberi gestur melalui matanya pada pegawai di belakangku, dan ia berlalu lebih dulu.

Seperti itu saja lama! Pada akhirnya aku yang menang.

"Ayo, kau yang bayar." Aku berdiri lebih dulu, lalu menarik lengan kaus Sam agar ikut beranjak.

"Tentu saja, karena kau yang menang, aku akan memberikanya sebagai hadiah."

Padahal awalnya berjanji untuk membelikanku karena aku mau menemaninya. Ah, sudahlah, apapun alasannya, sepatu itu sudah jatuh ke tanganku tanpa perlu merogoh kocekku.

Begitu kami kembali ke ruang toko, Sam memintaku menunggu sebentar. Katanya ingin mengambil sepatu yang sudah dipilihnya juga sebelum insiden konyol tadi. Sepasang mata tartangkap basah sedang memandangku dengan aneh. Itu wanita sialan yang berebut sepatu denganku.

Aku membalas tatapannya dengan dagu tinggi, dan menunjukkan jari tengah di udara. Tidak lama kemudian, Sam kembali dengan membawa dua sepatu berbeda warna dan merk.

"Dua? Satu untuk kakakmu?" iseng saja aku bertanya. Ingin tahu apakah ia sosok adik yang baik hati pada kakaknya.

"Apa? Tidak mungkin. Kakak sudah memiliki banyak uang."

Oke, Sam terkonfirmasi sosok adik yang egois dan kurang ajar. Setelah ini aku tidak akan kaget atau heran lagi.

"Ya, sudah, cepat bayar." Aku menujuk antrian kasir dengan dagu, tanda untuk adik Adam itu mengantri di depannya.

"Kau serius hanya satu sepatu, Jessy? Bukankah kau meminta lima tadi?"

"Ya, itu sebelumnya. Tapi aku sudah tidak berselera berlama-lama di sini." Mungkin empat sisanya bisa kujadikan utang Sam padaku, ahahaha.

Saat giliran kami tiba, ponselku bergetar, ada panggilan telepon lagi yang masuk. Aku sedikit mengubah arah tubuhku, membiarkan Sam mengurus pembayaran dan aku mengangkat panggilan telepon dari Sharon.

"Jessy, kau di mana?" Belum ada sapa apapun, Sharon mengawalinya dengan teriakan perusak telinga. Sialnya, aku tidak sempat menjauhkan ponselku.

"Ada apa sih? aku masih di jalan pulang." Aku tidak sepenuhnya berbohong, kan?

"Lama sekali? biasanya kau di jam enam sudah berada di rumah dan menonton singa kawin." Sharon menyindir saluran televisi yang kusuka, Nat Geo Wild.

"-ssy." Sam memanggil.

"Memang ada apa? Kau datang ke apartemenku?"

"-ssy." Sekali lagi Sam mencoba mengusikku. Aku menunjukkan telapak tanganku di depan wajahnya, ingin ia tidak mengusikku lagi saat menerima telepon.

"Iyaa, aku di apartemenmu. Aku ingin menginap, aku but-"

"Jessy, kartuku tidak ada yang bisa dipakai."

Aku mendengar dua kalimat berbeda masuk ke dalam telingaku secara bersamaan. Tapi, kalimat yang paling terdengar jelas membuatku terdiam. Setelah itu aku tidak lagi bisa mendengar suara Sharon. Aku menutup panggilan sepihak. Lagi.

Dan ini karena orang yang sama.

"Apa kau bilang?" Kuharap pendengarku salah tadi.

"Kartuku tidak bisa dipakai. Sepertinya kakak memblokir semuanya lagi."

A-apa katanya?

Duh, aku tuli seketika.

A-aku tidak bisa berpikir lagi. Staf di kasir memandang kami dengan senyum miris sekaligus bertanya apakah transaksinya ingin dilanjutkan atau tidak. Sam benar-benar kesialan sore ini.

"Jessy, bagaimana ini?" Karena aku tidak mengatakan apapun, Sam berbisik dengan wajah dungunya.

"Mana aku tahu, bodoh!" Kesal. Jelas saja. Coba kalian bayangkan menjadi diriku saat ini.

"Aku akan menelpon kakak."

"Jangan!" Cepat-cepat aku mencegahnya. Aku tidak mau Adam tahu insiden hari ini antara aku dan adik kurang ajarnya.

"Kenapa? Kalau aku berkata ada kau, pasti kakak tidak akan marah padaku."

"Pokoknya jangan! Jangan telepon Adam!"

Aku tidak mungkin membayar ketiga sepatu itu, untuk satu sepatu yang kuinginkan saja aku tidak mau. Jika aku harus membayarnya, setidaknya bukan sekarang. Aku belum gajian, bagaimana aku makan besok?!

Beberapa orang yang mengantri pun mulai mengintip perdebatan kami, sama seperti tadi.

"Ah, aku tidak tahu. Bayar saja dengan otakmu!"

Aku memilih berbalik dan mengambil langkah lebar untuk meninggalkan Sam. Maaf saja, urusan kita selesai, bocah dungu.

"Jessy, tunggu!" Sam berteriak memanggilku, tapi aku tidak peduli. Persetan.

Langkahku semakin kupercepat, dan lama-kelamaan aku berlari ke arah toilet sebelum Sam terlihat mengejarku. Aku tidak mau bersamanya, kesialanku bisa bertambah tiga di hari ini.

Sembari menunggu kemungkinan Sam tidak ada di sekitar toko itu lagi, aku memilih buang air kecil meskipun tidak ada rasa kebelet, lalu mencuci wajahku dan memperbaiki riasanku kembali. Apa saja yang bisa kulakukan untuk sekadar membuang waktu. Menggunakan pengering tangan berlama-lama juga kulakukan.

Ponselku berdering untuk kesekian kalinya. Nama Sharon kembali muncul di layar. Pasti ia kesal karena ucapannya terpotong.

"Hal-"

"Jessy!!!" Kali ini aku sudah bersiap menjaga jarak sebelum suara petirnya menyambar telingaku.

"Jangan merusak telingaku!" aku membalasnya, tapi tidak dengan teriakan yang sama.

"Kenapa kau mematikan teleponku?! Sekarang sudah di mana kau? Cepat pulanggg!"

Tiba-tiba kepalaku pusing.

"Iya iya, aku akan pulang. Lagipula kau kan memiliki kuncinya, masuk saja lebih dulu." Karena kami berdua sangat dekat, kami berbagi kunci kamar. Bahkan terkadang kami berbagi ranjang jika ingin menginap di salah satu tempat.

"Cepat, loh. Aku lapar."

"Kau pikir hanya kau yang lapar?!"

"Nanti pesan pizza, ya~!"

"Iya iya, terserah!"

Kami memang dekat, dan bertengar merupakan tanda kedekatan kami.

Jika kalian bertanya apakah Sharon menyebalkan juga, jawabannya adalah iya.

Aku memutuskan untuk saatnya keluar dari toilet, namun masih mengintip di belokan lorong toilet. Memastikan Sam tidak ada di sekitar toko itu lagi. Masalah berbelanja bisa kulakukan besok, prioritasku saat ini adalah untuk tidak bertemu dengan Sam lagi.

Bagus, aku tidak menemukan ciri-ciri Sam sejauh mataku memandang. Aku bisa aman keluar dan segera pulang. Namun, dalam perjalananku keluar mal, ponsel lagi dan lagi berbunyi. Kupikir itu Sharon, sayangnya bukan. Tidak ada nama yang berarti nomor asing.

"Halo?" Angkatku cepat. Takut itu panggilan dari orang penting, mengingat aku sudah bekerja.

"Jessy, kau di mana?" Itu suara Sam.

Tenang, tenang, Jessy. Tidak perlu bertanya-tanya dari mana ia mendapatkan nomormu.

"Berisik. Aku pulang. Tidak usah cari-cari aku lagi!" Maaf saja, ya, bukannya aku mau besar kepala, dengan ia yang meneleponku sudah jelas ia sedang mencari-cariku.

"Maafkan aku. Ini terjadi di luar teknis. Aku tidak tahu kakak memblokir semua kartuku."

Aku tidak bertanya. Lagipula itu pasti salahnya, Adam tidak akan melakukannya jika Sam tidak melakukan hal anehnya lagi.

Aku tahu betul bagaimana calon suamiku.

"Makanya, gunakan otakmu dengan benar!" setelah itu, langsung kuputuskan panggilan. Namun, Sam kembali mencoba meneleponku. Malas sudah menanggapinya, kumatikan saja ponselku, dan kalau ia masih menggangguku, aku akan memblokir nomornya biar sama seperti kartu-kartunya.

.

.

.

.

.

- To be continue -

avataravatar
Next chapter