webnovel

Dress [Part A]

"Aku mengundangmu untuk menghadiri pesta perayaan pernikahanku. Ajaklah ibumu juga jika ia tidak keberatan." Setelah perbincangan lima belas menit berlalu, pria itu mengulurkan sebuah undangan berwarna merah marun pada Adam.

Yeah, aku mengintip.

Sebentar lagi sudah waktunya jam kerja berakhir, namun seorang pria kisaran setengah abad datang berkunjung secara tiba-tiba. Aku tidak mengenalnya dan ia tidak memiliki janji temu dengan Adam sebelumnya. Namun, hubungan mereka lebih dekat daripada dengan William.

"Kupikir Ibu akan dengan senang hati untuk datang. Terima kasih atas undangannya, Paman Dave," undangan itu diterima oleh Adam.

Dari jarak aku duduk, aku dapat melihat undangan itu bersampul beludru dengan tulisan perak berkilauan. Ada angka yang menunjukkan dua puluh tujuh di sampulnya.

"Sebenarnya aku tidak membatasi siapapun yang datang. Sebaiknya kau ajak Sam juga."

Jangan. aku tidak meromendasikan hal itu.

Hei, Jessy. Pesta itu bukan untukmu, bodoh!

Adam mengangguk sebagai formalitas, terlihat dari raut wajahnya dan bibir yang tidak menjawab.

"Ya, sudah. Sebaiknya aku pulang, aku tidak ingin menahanmu di kantor untuk terlalu lama." Kemudian tawa pria tua itu mengudara seraya bangkit dari kursi.

Ketika berdiri di hadapan Adam, ia tampak begitu besar dengan tubuhnya yang agak gempal. Oh, tapi masih tergolong sebagai pria tua yang atletis.

Entahlah, itu hanya dari sudut pandangku.

Mereka selesai dan pria itu pun meninggalkan ruangan dengan wajah cerah. Aku menoleh pada bosku yang tengah menatap kembali undangan merah marun itu.

Ck, aku jadi penasaran apakah ada yang spesial di sana. Apakah tulisannya benar ditulis dengan berlian.

Aku mendapati meja Adam sudah rapi lebih dulu, dokumen pekerjaannya sudah tertata kembali di tempatnya. Itu karena ia memang sudah bersiap pulang sebelum si tua bernama Dave itu datang.

Getaran ponsel mengalihkan perhatianku, ada satu pesan masuk dari Mom. Ia menanyakan hal yang sama seperti tadi pagi, bagaimana kabarku.

Oh, Mom... kau pasti kesepian karena aku jarang pulang.

Aku ingin meneleponnya saat ini, namun aku belum tiba di rumah, jadi aku hanya membalas kalau aku akan meneleponnya sebelum makan malam.

"Jessy, ayo pulang."

Aku tertegun, tanpa kusadari bosku sudah berdiri di depan mejaku sambil menenteng tasnya.

Ia salah bicara atau aku yang salah dengar.

Ini tidak seperti biasanya.

Aku mengerjapkan mata memandangnya, sedangkan Adam memasang wajah bertanya.

"Baik, Tuan," jawabku dengan wajah menahan senang luar biasa.

Cepat-cepat aku keluar dari mejaku. Tangan Adam sudah berada di gagang pintu, hendak membukanya. Namun, baru terbuka beberapa sentimeter, pintu tersebut terdorong kembali dengan keras, disusul pula suara hantaman yang cukup keras dari kaca tebalnya.

"Aduh!"

Aku yang tidak sengaja terselip kaki membuat tubuhku limbung ke depan, tanganku spontan mendorong punggung lebar berbalut jas hitam yang kupikir adalah tembok yang akan kutabrak.

Sedikit nyeri di lutut karena aku jatuh bersimpuh di lantai. Suara ringisan pelan membuatku tersadar apa yang terjadi. Kepalaku mendongak, melihat keadaan bosku.

Pintu yang tadinya sudah hendak terbuka, kini tertutup rapat kembali karena tangan Adam berpindah pada keningnya. Mengelusnya pelan sembari mengerutkan wajah.

Aku memandang bosku dan pintu kaca secara bergantian.

'Glup'

Sialan, kau memang anak bodoh, Jessy.

"T-tuan, maafkan saya!" dengan satu gerakan aku berdiri, menunduk menghindari tatapan mata yang biasanya kusenangi.

Benakku sudah berisik memaki diri sendiri. Dasar memalukan!

Adam tidak terdengar mengatakan apapun, membuatku gugup dua kali lipat. Atau jangan-jangan ia sedang mempersiapkan makian untukku?!

AAAAA! Maafkan aku Bos!

"Saya benar-benar tidak sengaja, Tuan. Maafkan saya."

Bosku yang tampan, bosku yang baik hati, bosku yang sangat sayang ibunya, bosku yang membenci Luna, semoga kau mau memaafkan asistenmu yang ceroboh ini.

"Sudah, aku baik-baik saja."

Tubuh tegap itu berbalik ke arahku, bibirnya menyunggingkan senyum memaafkan.

Ia memang terbaik meskipun,

"Bos, dahi Anda memar!" dan aku yang setengah berteriak pun reflek menyapukan telapak tanganku ke dahinya, membuat rambut di dahinya tersibak dan dahinya yang memerah dengan sedikit tonjolan terlihat sempurna.

Sangat bagus, Jessy.

Adam terkesiap ketika aku melakukan hal bodoh lagi berturut-turut.

"Astaga!" kutarik tanganku dari dahinya dan menyembunyikannya ke belakang tubuh.

"Saya benar-benar minta maaf, Bo-

maksudku Tuan!"

Baru kali ini aku tidak mau menatap mata Adam dan memilih menatap lantai dengan wajah memerah malu. Rasa senang yang tadi datang pun kalah.

"Aku mengerti, Jessy. Tidak apa-apa, aku tahu kau tidak sengaja. Ayo." Bos memainkan jemarinya di dahi, menata rambutnya agar menutupi benjolan itu. Kemudian melanjutkan membuka pintu dan kami keluar bersama dengan sedikit canggung. Hanya aku, sih.

Aku tidak berani mengajaknya berbincang meskipun kami berjalan beriringan. Ia tidak nampak kaku, sesekali menyahut sapaan yang ditujukannya.

Kami berhenti begitu keluar dari gedung, dan di sana mobil hitam metalik sudah terparkir pas di depan pintu gedung. Itu milik bosku.

"Sampai jumpa, Tuan." Sebagai rasa hormat pada bosku, aku akan menunggunya pergi lebih dulu.

"Aku akan mengantarkanmu, masuklah."

Ada apa ini?!

Bosku tidak sedang demam setelah dahinya menghantam pintu kaca, bukan?!

Atau dia ingin berbicara mengenai pemberhentianku dan tawarannya itu adalah terakhir kali aku bisa melihatnya lagi?!

"Jessy?" aku tersadarkan, Adam sudah setengah langkah di depan.

Baiklah, jika keberuntunganku hanya sampai di sini, aku tidak boleh melewatkan kesempatan terakhir ini.

Aku mengekori langkah itu sampai akhirnya aku duduk di sampingnya. Kali terakhir aku berada di mobilnya adalah saat menjenguk Nyonya Madelyn.

Aroma kopi di dalamnya tidak berubah.

"Katakan saja arahnya aku harus ke mana," tukas Adam, disusul suara halus deru mesin yang baru dinyalakan. Tidak perlu lama hingga mobil meninggalkan gedung Blue Pacific.

Tidak ada obrolan menyenangkan di dalam mobil, aku hanya menunjukkan jalan ke arah apartemen aku tinggal. Aku tidak ingin sok tahu, tapi Adam nampak berpikir sepanjang perjalanan.

Fyuhh, beruntungnya aku juga tidak mendapat kalimat pemecatan dari Blue Pacific.

"Kau tinggal sendiri, Jessy?" pertanyaan itu muncul setelah beberapa kali yang ditanyanya hanyalah arah jalan.

"Ya. Sedangkan orang tuaku di California." Padahal ia bertanya yang jawabannya hanya 'ya' atau 'tidak', dan aku malah menjawab dengan sesuatu yang tidak ditanyakan.

Kami pun kembali terdiam, tidak ada apapun lagi yang dikatakan Adam setelah memberi anggukan sebagai respon.

Aku meneguk liurku dengan susah. Suasananya hening meskipun tidak dingin. Jujur saja ini membuatku tidak nyaman, apalagi mengingat kecerobohanku tadi.

Mobilnya berhenti saat sudah tiba di depan lobi gedung apartemenku. Aku melepas sabuk pengaman dengan cepat, ingin segera keluar dan menghirup udara bebas sebanyak-banyaknya.

Sial, tanpa sadar aku banyak menahan napas di sepanjang jalan.

"Terima kasih, Tuan. Sampai besok." Kami sempat berpapasan mata melalui kaca spion tengah. Hanya sekilas sebelum aku benar-benar turun dari mobilnya.

"Jessy," suaranya memanggilku. Adam seolah menabur bubuk sihir, membuatku secara otomatis merendahkan tubuhku dan meniliknya melalui kaca.

Undangan beludru merah marun diberikannya padaku.

Apa maksudnya...

Yeah, lucunya aku mengambilnya tanpa bertanya lebih dulu.

Mengerti ketidakpahamanku, Adam kembali berucap, "Kau bisa datang ke acara itu? Meskipun itu pesta di luar pekerjaan, beberapa kolega mungkin akan hadir di sana dan biasanya obrolan pekerjaan tidak terhindarkan."

Aku memang belum mengetahui apakah seorang asisten bos juga perlu hadir di pesta seperti itu, kupikir obrolan mereka hanya basa-basi keadaan perusahaan, bukan membahas tentang saham yang turun atau sebagainya.

"Saya..."

"Tidak perlu sekaku itu Jessy. Kita sudah tidak di kantor."

Terlalu lama waktu bersama di kantor, membuatku terbiasa bersikap formal padanya. Coba ia lebih sering menemuiku di luar waktu kerja, mungkin sudah kupanggil dengan mesra.

"Aku tidak memiliki agenda apapun di malam itu. Jadi kurasa aku bisa datang." Sebenarnya aku memiliki agenda berbelanja bersama Samantha. Tapi, aku bisa membatalkannya di hari itu dan memindahkannya ke hari minggu.

"Baiklah, kalau begitu aku akan menjemputmu di jam tujuh malam."

Lihat, pangeranku sudah berkata.

"Dengan kereta kuda?"

"Apa?" Adam sedikit terkejut.

"Dengan ke-

Ah, tidak tidak! Bukan apa apa," kedua tanganku mengibas di udara. Bisa-bisanya kalimat tanya itu meluncur tanpa permisi. Sial, aku jadi panik. Aku tidak tahu apakah Adam mendengarnya dengan jelas atau tidak.

Meskipun Adam nampak tidak yakin dengan jawabanku, ia tidak menuntut penjelasan. Setelah itu ia hanya berpamitan untuk pulang.

Ayolah, aku bahkan belum menawarkannya untuk berkunjung sejenak. Siapa tahu aku dan Adam bisa lebih akrab.

Begitu mobilnya tidak lagi terlihat, aku berbalik dan meninggalkan halaman apartemen. Tawarannya masih terngiang dalam kepalaku, membuatku lupa akan rasa malu yang tadi menguasai diriku.

Langkahku memang tidak selalu mudah setiap harinya, tapi yang terpenting ada kemajuan, ahahahah. Sedikit demi sedikit aku mencoba lebih dekat, hingga akhirnya akrab. Baru kali ini aku berusaha untuk seorang pria, biasanya aku yang dikejar-kejar~

"Aaa! Aku tidak sabar!" jeritku sebelum melempar tubuh ke kasur.

Bayangan aku hadir di sebuah pesta bersama Adam pun muncul. Bertemu bagaikan Cinderella dan sang pangeran yang saling terpesona, menari bersama dengan tatapan saling mengunci.

"Aaaaaa!" Aku menjerit lagi, kakiku menendang-nendang udara saking senangnya hanya dengan membayangkannya saja.

Besok aku harus mengajak Samantha untuk berbelanja gaun baru. Aku akan melakukan yang terbaik untuk bos tercintaku. Aku ingin dipuji olehnya.

"Kira-kira... seperti apa tipe wanitanya, ya..."

Ya, hal pertama sebelum memikatnya, aku harus tahu tipe wanita seperti apa yang disukainya. Feminim, seksi, maskulin, elegan, casual?

Hal itu harus hati-hati kurencanakan, karena aku tidak ingin Adam merasa segan padaku.

Hmm... mungkin Samantha bisa membantuku, mengingat pengalamannya tentang pria cukup di luar akalku.

Oh, aku baru teringat sesuatu.

Aku mengeluarkan ponselku dari dalam tas, mencari nomor Mom sebelum kusentuh tombol telepon. Aku sudah berjanji untuk meneleponnya sebelum makan malam.

Suara panggilan terhubung terdengar, namun Mom cukup lama untuk menerima panggilanku.

"Halo, sweetheart~"

.

.

.

.

.

To be continue.

Terima kasih untuk pada pembaca setia. Jangan lupa tinggalkan komentar dan reviewnya^^

Sampai jumpa di part 2~

KuroyukiRyucreators' thoughts