29 Calling [Part B]

Tidak ada hal lain lagi yang musti atau akan kulakukan setelah memadamkan lampu di ruang tengah, jadi aku sudah bisa melempar tubuhku ke kasur empuk kesayanganku. Aku meraih ponsel, berniat menghubungi Mom. Namun, ketika aku mengecek ponselku, aku menemukan dua puluh tiga pesan dari Sam, dan semuanya berisi kalimat permintaan maaf yang berbeda, bahkan ada puisi di salah satunya.

Dasar bodoh.

Tidak peduli dengan semua pesan itu, aku langsung menghapusnya dari kotak pesan.

"Hoaamm~" aku menguap lebar dengan mata berair karena rasa mengantuk yang semakin membuat mataku berat. Itu membuatku mengurungkan niat untuk menelpon Mom, daripada tiba-tiba ketiduran dan tidak jadi mengobrol dengannya. Jadi, kuletakkan kembali ponsel di nakas dan memilih tidur. Namun, baru saja aku memejamkan kelopak mataku, suara getaran ponselku terdengar.

Kelopak mataku langsung terbuka lebar, menahan kekesalan karena merasa terganggu. Aku kembali meraih ponselku, dan itu membuat mataku lebih terbuka lebar.

Boss.

Adam?

Adam?!

Spontan aku bangun dari posisi tidurku, membaca nama yang tampil di layar ponselku secara berulang-ulang. Aku tidak salah baca, kan? Aku sedang tidak mabuk, kan?

Ponselku masih bergetar, namun jantungku sudah berdetak kencang lebih dulu walaupun belum mengangkatnya.

Cepat angkat, Jessy, sebelum kau menyesal.

Ibu jariku yang tremor pun menggeser ikon telepon hijau di sana. Panggilan kami tersambung.

"H-halo?" suaraku terbata konyol.

"Halo, Jessy."

Ini benar Adam, aku tidak salah, aku tidak halusinasi.

Lalu, kucoba cubit kulit lenganku, dan ternyata benar sakit.

Baiklah, aku juga tidak sedang bermimpi.

"Adam? Ada apa malam...malam seperti ini?" atau ia mau mengabari kalau besok ia akan absen dari kantor.

"Maaf, aku mengganggu waktu istirahatmu, Jessy."

Oh, tidak. Tidak mungkin.

"Tidak, aku juga sedang bersantai menonton televisi," kataku sambil menyusun bantal agar aku dapat bersandar.

"Oh, benarkah?" ada kekehan pelan di akhir kalimatnya. Apakah Adam tahu kalau aku berbohong karena tidak terdengar suara televisi menyala?

"Tentu saja, lumayan untuk hiburan sebelum tidur~" Kalau seperti ini, aku tidak perlu mencari hiburan malam, karena hiburan itu sendiri sudah datang menghampiriku.

"Sebenarnya ada yang ingin kukatakan."

Tu-tunggu, ada sesuatu yang ingin Adam katakan...

Sial, padahal aku belum tahu apa itu, tapi entah kenapa jantungku sudah berdetak lebih keras dari sebelumnya. Jika Adam benar ada di depanku, mungkin ia sudah mendengarnya. Astaga, Dewi Fortuna! Berikan aku kabar baik!

Sebuah bayangan langsung terbentuk di dalam otakku. Sepasang remaja laki-laki dan perempuan saling berhadapan dengan tatapan dalam penuh cinta. Iringan musik bertema asrama mengelilingi keduanya.

"Jessy, kau masih di sana?"

Lamunanku buyar ketika Adam bertanya.

"Iya aku masih di sini!" tukasku dengan satu tarikan napas.

"Aku ingin meminta maaf padamu, Jessy."

Bayangan kedua remaja di pikiranku retak, tanda bukan itulah yang dimaksud Adam. Baiklah, aku sedikit kecewa, kupikir akan debut.

"Aa...aku tidak mengerti. Mengapa kau meminta maaf..."

Kuharap itu bukan permintaan maaf karena tidak bisa bersama denganku sekarang.

Oke, Jessy, hentikan halusinasimu sekarang juga.

"Aku meminta maaf atas kelakuan Sam padamu hari ini."

Oh, bagus sekali, bocah itu mengadu pada kakaknya, dan mengapa juga Adam mau menggantikannya untuk meminta maaf?!

Astaga, lembut sekali hati bos tampanku ini.

Aku menghela napas, jujur saja aku malas membicarakan Sam atau bahkan menyebut namanya. Tapi karena ini Adam yang berbicara dan aku sangat senang berbicara dengannya, aku akan menoleransi hal ini.

"Itu kesalahannya, mengapa kau yang meminta maaf?" Aku tidak mengerti bagaimana konsep mereka bersaudara. Lucu sekali sang kakak mewakili adiknya untuk meminta maaf.

"Sam berkata padaku kalau ia sudah mempermalukanmu hari ini. Ia sudah meminta maaf, namun kau tidak membalas apapun yang membuatnya berpikir kalau kau belum memaafkannya."

Ck, aku memang belum memaafkannya. Aku belum sudi!

"Tetap saja itu tanggung jawabnya dan konsekuensinya. Tidak seharusnya kau yang meminta maaf."

Aku ingat kalau aku sudah memperingati Sam agar tidak menceritakannya pada Adam, tapi nyatanya si bodoh itu kekanakan seperti ni.

"Aku tidak memintamu untuk memaafkannya, aku hanya ingin meminta maaf sebagai seorang kakak yang sudah membiarkan adiknya berlaku buruk pada orang lain."

Betul, bukan? Adam itu berhati malaikat, sudah sangat cocok untukku seorang.

Sekarang aku bingung bagaimana menanggapinya. Jika aku berkata memaafkannya, malah terkesan bahwa Adam benar-benar bersalah. Atau aku memintanya untuk membiarkanku menonjok Sam satu kali?

Ah, tidak. Dua kali seharusnya, untukku dan untuk Adam.

"Aku juga akan menggantinya besok." Belum juga kau menanggapi, Adam kembali berbicara yang membuatku berpikir keras.

"Mengganti apa?"

Adam sungguh aneh, padahal kami berdua tahu kalau pelaku yang salah bukanlah dirinya.

"Sepatu yang ingin kau beli hari ini."

Aku terdiam dengan mulut terbuka, tiba-tiba otakku berhenti berpikir.

"Tidak perlu!" tukasnya cepat.

"Astaga, kau tidak perlu melakukannya sampai sejauh itu. Kau sudah meminta maaf meskipun kau tidak melakukan kesalahan apapun. Lalu, sekarang..." sampai aku kehabisan kata-kata.

"Tidak, apa Jessy. Kalau kau tidak bisa menerimanya untuk permintaan maafku, kau bisa menganggapnya sebagai hadiah?"

Kupikir Adam sedikit memaksa.

"Hadiah untuk apa?" sedang berulang tahun saja tidak.

"Hmm... sebagai kerja kerasmu sampai saat ini, mungkin?"

Masuk akal, sih. Bos memberikan hadiah atas kerja keras pekerjanya.

Mendapat gaji pertama saja belum, tapi sudah akan mendapat hadiah. Kurang beruntung apa aku berada di bawah Adam?

Ya, mekipun belum benar berada di bawahnya, eh?

"Aku tidak tahu apakah ini benar, tapi...baiklah, jika Bos sudah memaksa," dan aku mendengar Adam kembali terkekeh di sebrang sana. Senang sekali mendengarnya.

"Baguslah, ini sedikit melegakanku." Jelas terdengar juga dari nada bicaranya.

"Tapi, setelah ini jika Sam melakukan hal menyebalkan padaku lagi, aku tidak ingin kau yang meminta maaf lagi atas dirinya."

Semoga saja aku tidak bertemu dengan Sam lagi, jadi Adam tidak ikut terkena repotnya. Amin.

"Entahlah, Jessy. Bagaimana nanti, karena aku tidak mungkin bisa mengawasi Sam setiap saatnya."

Serius, aku ingin merekomendasikan Adam agar membuat penjara ruang bawah tanah untuk mengurung adiknya. Kupikir juga itu hal mudah untuk dilakukan.

"Apa kau sudah sering melakukan hal seperti itu karenanya?"

Maafkan aku, bosku sayang, nadaku terdengar tak suka.

"Kalau aku menjawabnya, kau akan kesal, Jessy."

Kau sudah menjawabnya secara tidak langsung, Bos. Gemas sekali, rasanya aku makin sayang.

"Aku bahkan sudah kesal."

Untungnya tidak ada cermin di hadapanku, jadi aku tidak akan jijik karena melihat diriku sendiri bertingkah seolah merajuk begini.

"Tidak apa, jangan terlalu dipikirkan kalau itu malah membuatmu semakin kesal."

Betul. Aku mengelus dadaku beberapa kali untuk menetralkan rasa kesal ini. Aku tidak boleh kesal-kesal pada Adam.

"Oh, ya, ngomong-ngomong...apa yang sedang kau lakukan?"

Sebenarnya aku bingung harus mengatakan apa lagi, tapi tidak mau panggilan ini berakhir lebih cepat.

"Sedang meneleponmu?"

Tiba-tiba aku merasa pipiku menghangat tanpa alasan yang jelas, padahal Adam mengatakannya dengan biasa saja dan jawabannya memang tidak salah. Oh, Mom!

"I-itu tidak salah, sih, tapi maksudku hal yang lain."

Sedang memikirkanku, misalnya.

"Hmm... berbaring sambil berbicara denganmu?"

Dengarkan aku, katanya kalau memiliki kesamaan dengan seseorang, berarti dia jodohmu. Oke, Adam adalah jodohku di masa depan.

Kalian diam, jangan membantah!

"Kau tidak tidur?" aku melirik pada jam dinding yang kini sudah menunjukkan pukul setengah sebelas kurang.

"Aku belum merasa mengantuk. Apa kau sudah ingin tidur, Jessy? Kalau begitu, sam-"

"Tidak, aku masih ingin mengobrol denganmu!"

Ups!

Aku langsung menutup mulutku dengan telapak tangan. Bodohnya diriku!

Ponsel kujauhkan dari telingaku sementara, tak sanggup mendengar respon Adam selanjutnya. Bisa-bisanya aku mengatakan keinginanku dengan jujur pada bosku!

Aku ingin mematikan panggilan karena malu, tapi seperti perkataanku tadi. Aku masih ingin mendengar suaranya. Jika di kantor, mana mungkin bisa mengobrol sesantai ini.

"Baiklah, aku akan menemanimu sampai mengantuk."

Walaupun terdengar samar dari telingaku, aku masih menangkap jelas kalimatnya. Adam tidak keberatan rupanya, dan wajahku masih teramankan sampai besok.

Menelan liur sendiri jadi sangat sulit. Sudah mengatakan masih ingin bicara, malah sekarang bingung harus membuat obrolan yang bagaimana.

"Oh, iya, Bagaimana keadaan ibumu?"

Bagus, topik yang sangat kuno, Jessy.

"Keadaannya sudah semakin baik, ibu juga sudah mulai kembali berolahraga. Bahkan minggu besok sudah ingin kembali pada aktivitas sosialnya."

Informasi baru. Calon mertuaku memiliki aktivitas sosial.

"Aktivitas sosial seperti apa?" lanjutkan saja obrolannya, masa bodoh dengan topik.

"Berkunjung ke panti sosial, ikut kampanye penghijauan... ya, hal-hal seperti itu." Mungkin karena terlalu banyak, Adam sampai tidak bisa menyebutkan semuanya.

"Syukurlah, Bibi Lyn terdengar cepat pulih." Itu bisa meringankan Adam dari beban pikirannya, dan ia bisa lebih santai lagi ketika di kantor.

"Terima kasih sudah menanyakan kabar ibu, Jessy. Akan kusampaikan padanya nanti."

Aku memang tidak sedang berada dalam satu ruang dengan Adam, tidak juga sedang melihat wajahnya secara langsung. Namun, entah mengapa aku merasa Adam sedang tersenyum di sana. Terserah saja kalau kalian ingin mengatakan aku hanya berhalusinasi.

"Iya, sampaikan juga salamku untuknya."

"Akan kulakukan."

Kemudian keheningan muncul. Bingung oh bingung.

Aku ingin mengenal Adam lebih jauh, mengetahui apa yang ia sukai dan tidak ia sukai. Tidak biasanya aku payah dalam mengatasi hal-hal macam ini, padahal aku sudah cukup banyak memiliki pengalaman bersama pria atau kekasih.

"Umm...Oh, ya, aku... berencana membuat makan siang besok, apakah ada... yang kau suka?"

'Glup.'

Baiklah, mulutku memang tidak pernah satu arah dengan otakku.

Hei, aku juga belum ada rencana membuat makan siang untuk besok!

"Yang aku suka?" Adam memastikan dengan nada santai, meskipun begitu tidak membuatku jantungku tenang. Malam ini anakmu cukup nekat, Mom.

"Aku menyukai apapun buatan rumah. Maksudku, aku tidak pemilih."

"...Ada makanan yang kau hindari? Misalnya karena alergi, mungkin?"

"Tidak ada. Aku memakan semua makanan, Jessy. Seperti omnivora?" lagi-lagi Adam tertawa ringan, mau tidak mau membuatku ikut tertawa di sini. Ini menyenangkan.

"Baiklah, aku akan membuatkan makan siang untukmu besok. Sampai jumpa dan selamat malam, Adam." Aku mengatakannya tanpa bisa menahan senyumku untuk melengkung lebih lebar.

"Akan kunantikan. Selamat malam, Jessy."

Dan panggilan kami selesai dengan wajahku yang memerah hangat.

.

.

.

.

.

- To be continue -

avataravatar
Next chapter