28 Calling [Part A]

Suasana hatiku belum membaik sejak terakhir bertemu dangan Sam, masih ada serpihan kekesalan yang tertinggal. Kuakui aku memiliki banyak teman pria yang brengsek, juga tiga mantan kekasih yang sama-sama brengsek. Tapi, mereka tidak pernah mempermalukanku di depan umum. Tidak seperti Sam dan kebodohannya.

Aku berjanji atas kaos kaki lama milik Dad, aku tidak akan sudi berada di suatu tempat yang hanya ada Sam seorang. Terkecuali ada Adam bersamanya.

Aku tiba di apartemenku pada pukul setengah delapan. Pulang lebih awal tanpa membawa apapun di kedua tanganku. Bahkan tidak ada dari daftar belanja yang sudah kupersiapkan. Tepat di depan pintu, samar-samar suara terdengar. Aku tidak akan mengkhawatirkan apapun, termasuk adanya kemungkinan maling di apartemenku.

"Kalian?!" Memang bukan maling yang kudapati, tapi sepasang kekasih yang sedang asik menonton film di televisiku. Si wanita asik dengan roman picisan yang ditontonnya, sedangkan si pria sibuk mengendusi leher wanita itu.

"Oh, kau sudah pulang, Jessy?" Itu Samantha yang lebih dulu menyadari kehadiranku, sang empu rumah.

"Kenapa kau dan Joseph ada di sini?" ada nada mengintimidasi yang kutujukan pada Samantha.

"Hai, Jessy," Joseph yang telah kembali sadar mencoba menyapa, sayangnya aku tidak berniat membalasnya.

"Kupikir kau datang sendiri. Tidak kusangka apartemenku siap menjadi saksi percumbuan kalian."

Oh, ayolah. Aku tidak peduli dengan apa yang sepasang kekasih itu lakukan, berciuman, bertukar saliva, meremas dada, atau saling memompa tubuh. Apa yang kupermasalahkan adalah mengapa dari sekian banyak hotel mewah hingga motel murahan, mereka memilih apartemenku?

"Kami hanya bosan menunggumu, sayang~" Samantha beranjak dari sofa, mengambil langkah mendekat padaku sebelum mengambil posisi di belakang tubuhku. Kedua telapak tangannya masing-masing diletakkan di bahuku, memberikan pijatan-pijatan pelan di sana. Entah apa tujuannya.

"Aku tahu, kau pasti ada alasan mengapa Joseph tiba-tiba di sini." Aku mengelak dengan bahu, memilih berjalan masuk lebih dalam sementara Samantha ikut mengekor ke kamarku.

Tas dan jas kerja kulempar ke atas ranjang, menyusul pula tubuhku. Sedangkan Samantha duduk di tepi ranjang dengan kedua lengannya bersandar ke belakang untuk menahan beban tubuhnya.

"Kau tahu, Jessy? Aku tadi bertengkar dengan Joseph."

Tunggu, apa ia sedang memulai cerita?

"Mana aku tahu. Aku tidak memiliki kesibukan untuk memantau kalian." Jujur saja, aku memang tidak tahu. Ia sendiri tidak menceritakan apapun sebelumnya, saat meneleponku dan memintaku untuk pulang lebih cepat.

"Ish, aku serius. Sore tadi aku berdebat dengannya, kupikir ia selingkuh. Ketika aku datang ke rumahnya, ia sedang berpelukan dengan seorang wanita di depan rumahnya."

Aku memandang Samantha seolah menyimaknya dengan baik, padahal aku sedang tidak berniat mendengar kisahnya hari ini.

"Hm, hm," sengaja kurespon dengan gumaman-gumaman agar ia cepat menyelesaikan kisahnya.

"Aku tidak menghakimi mereka di tempat, namun aku segera ke apartemenmu. Dengan marah mengirim pesan pada Joseph. Kemudian... apa kau tahu bagaimana akhirnya?"

Dahiku mengerut, Samantha bertanya seperti tengah memancing keingintahuanku.

Ada jeda yang cukup lama dan Samantha terus memandangku menuntut untuk menanggapi tanyanya itu.

"Itu kakaknya yang baru pulang dari Belanda." Aku menjawabnya tanpa berpikir lebih panjang.

"Bagaimana bisa kau tahu, Jessy?!"

"Oh, Tuhan. Kita berdua tahu kalau Joseph memiliki kakak perempuan yang sedang dinas ke Belanda. Kau saja yang terlalu bodoh."

Aku beranjak dari posisiku, mulai melucuti kemeja dan rokku. Karena kisah Samantha sudah berakhir, pun kutebak Joseph datang ke sini untuk menjelaskannya, jadi aku akan memilih untuk mandi.

"Ya sudah, sana kalian pulang saja. Aku tidak menerima sepasang kekasih bercumbu di apartemenku." Setelah ini aku akan memperbaiki suasana hatiku, dan menonton kemesraan mereka bukan bagian dari hal yang bisa membantuku.

"Nanti, setelah makan malam. Joseph akan memesan pizza ke sini~" Sosoknya pun kembali ke ruang depan, menemui sang kekasih yang sedang lanjut menonton film.

Oh, pizza, baiklah. Karena itu salah satu makanan kesukaanku, jadi kupikir bisa membantu menaikan mood-ku.

Kembali dari acara mandi malamku, aku hanya mengenakan kaos kebesaran dan celana pendek yang lebih nyaman untuk sekalian tidur. Aku mengecek ponselku dan tidak menemukan lagi notifikasi panggilan masuk dari nomor Sam. Ternyata ia penurut juga. Baguslah, aku tidak direpoti lagi.

Aku keluar dari kamarku dengan rambut setengah basah yang belum disisir. Samantha dan Joseph masih di sana, namun kali ini sudah dengan dua kotak pizza dan beberapa kaleng bir. Sialan, mereka tahu benar bagaimana untuk menciptakan suasana lebih baik.

'Ctak!' satu kaleng bir menjadi sasaran pertamaku begitu duduk bergabung dengan mereka di atas karpet. Meneguknya langsung hingga tandas.

"Wow, Jessy. Kau haus atau sedang setres?" Jujur saja, aku belum melunakan raut wajahku sejak tiba di rumah.

"Aku haus, tahu!"

"Bohong sekali. Wajahmu menunjukkan kekesalan yang belum reda. Ada apa, sayang? Kali ini biarkan kami mendengarkan kisahmu hari ini." Samantha melembutkan suaranya, membuatku sedikit jijik. Mungkin ia sedang memperagakan seorang dokter kejiawaan yang mempersilakan pasiennya untuk bercerita.

"Malas. Aku mau makan saja." Tangan kananku mengambil satu potong pizza daging dengan ektra keju, kemudian tangan kiriku menjangkau remot televisi untuk mengganti tayangan yang membosankan itu.

"Hei, itu belum selesai, Jessy!" Samantha yang tidak setuju karena harus terpaksa berhenti menonton pun mencoba merebut remot dariku. Sayang sekali, ini rumahku, jadi aku lebih berkuasa.

"Kau serius tidak mau bercerita, Jessy? Aku jadi bertanya-tanya apakah kau baru saja patah hati atau dipecat dari pekerjaanmu." Joseph dengan mulut tanpa dosanya.

"Jangan sembarangan!" aku melempar kaleng kosongku ke arah wajahnya, dan itu sukses mendarat di batang hidungnya. Maaf saja, mana mungkin aku dipecat dari kantorku, Dewi Fortunaku belum tega membuatku berpisah dengan Adam.

"Habisnya kau tidak mau berbagai keluh kesah. Padahal kami di sini sudah menyiapkan penjamuan."

Ck, mereka berdua sama saja ingin tahunya, benar-benar pasangan yang cocok.

"Kau melakukan sex dengan pria yang memiliki penyakit raja singa?"

Samantha brengsek.

"Atau kau ditipu gigolo sampai dompetmu di bawa kabur?"

Samantha tidak bisa memikirkan sesuatu yang lebih baik.

"Bukan itu, Babe. Jessy pasti bertemu dengan mantannya." Joseph menambahkan kemungkinan lain yang sama juga tidak ada benarnya.

"Kawliwann iniww bewrisiwk skawli," aku memandang mereka dengan sebal dan mulutku yang penuh mengunyah potongan pizza.

"Habisnya kau tidak mau bercerita. Masa acara makan malamnya sepi seperti ini," Samantha malah terdengar seperti merajuk.

Aku mendengus sembari menelan pizzaku, lalu mengambil kaleng bir yang baru. Meneguk isinya seperempat sebelum memulai menceritakan hariku hari ini.

Mereka belum tahu bagaimana bos tempatku bekerja membuatku mendambanya setengah mati, jadi aku tidak menceritakan dari awal. Aku hanya berkata kalau aku pergi dengan teman kantor dan dipermalukan dengan di dalam toko sepatu. Membuang detail yang tidak perlu kusebutkan, kemudiannya mengemas kembali dengan sidikit kebohongan. Toh, mereka tidak akan tahu kebenarannya bagiamana. Samantha bisa saja mengejek habis Sam, namun itu pasti akan merambat ke Blue Pacific Properties. Bahkan aku bisa membayangkan bagaimana Samantha menyuruhku keluar dari kantor hanya karena masalah sepele.

Seperti adik si bos yang memalukan. Padahal jelas tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaanku dengan Adam.

"Ewhh, kalau aku jadi kau, aku sudah menendang penisnya di depan kasir." Samantha itu berani melakukan hal kekerasan jika sudah dibuat kesal. Meskipun lebih sering terlihat genit, ia memiliki tenaga monster yang tak terduga.

"Kalau aku akan melakukan seppuku di tempat." Jawaban Joseph lebih ekstrim. Masa iya karena tidak bisa membayar sepatu untuk seorang wanita yang menemaninya membeli sepatu sampai harus merobek perutnya sendiri. Joseph yang gila.

Potongan pizza kedua kuambil setelah acara berbagi kisahku selesai. Sesekali meneguk bir yang entah sejak kapan sudah menjadi kaleng ketiga. Terasa juga tubuhku mulai gerah dan panas.

"Demi keselamatanmu, Jessy. Jangan dekat-dekat dengan pria bodoh seperti itu. Aku tidak rela!" Tenang saja, tanpa kau suruh pun aku juga sudah berencana untuk tidak lagi dekat-dekat dengannya. Kecuali dengan kakaknya.

"Coba kau cari sasaran lain, Jessy. Setidaknya yang cukup kaya untuk membiayai belanja bulananmu."

"Sialan, kau. Aku tidak sematre itu sampai butuh pria yang bisa membiayaiku belanja." Yaa, meskipun aku tidak menolak jika memang dibiayai. Hahahaha. Siapa yang tidak suka hidup mudah dan gratis? Kalian juga akui sajalah.

"Besok kucarikan teman kencan buta yang lebih bagus untukmu, Jessy." Tidak, Samantha, tidak.

"Tidakkah kau ingat Jessy selalu gagal dengan kencan butamu?" Joseph pasti juga ikut mengitung berapa kegagalan usaha Samantha untuk membuatku memiliki kekasih.

Hei, aku tidak semengenaskan itu, sial!

"Jangan khawatir. Kali ini aku akan menyeleksinya dengan ketat."

Obrolan kami terus berlanjut hingga mereka membahas bagaimana pria yang cocok untukku. Aku heran mengapa Samantha dan Joseph sekurang pekerjaan itu sampai ikut ribut mengenai hubungan percintaanku. Aku sendiri saja masih santai setelah tidak berkencan dengan benar sejak dua tahun lalu, dan bertemu Adam bagai angin segar tersendiri.

Mereka berdua baru mengangkat bokongnya begitu jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Dua kotak pizza sudah kosong, tidak terkecuali dengan sembilan kaleng bir yang lima kalengnya habis olehku sendiri. Membuatku merasa sangat kenyang dan pusing sekaligus.

Begitu mengantar sepasang kekasih itu hingga keluar pintu, aku membersihkan kekacauan di atas karpet. Bodohnya aku tidak menyuruh mereka untuk ikut membersihkan sampah sisa makanan kami. Alhasil aku harus menahan pusing sembari membersihkan semuanya seorang diri.

"Oh, aku belum menelpon Mom kembali," aku baru teringat sesuatu.

Sejak tadi tidak teringat karena aku meninggalkan ponselku di kamar, dan aku sekarang berasumsi sudah ada banyak panggilan tidak terjawab dari Mom. Pukul sepuluh masih belum terlambat untuk menghubunginya sebelum Mom pergi tidur.

Begitu ruang tengah sudah kembali bersih, aku menuju dapur untuk meneguk segelas air mineral dan susu. Berharap bisa sedikit mengembalikan kesadaranku, karena kurasa aku memang sudah mabuk sejak kaleng ke empat.

avataravatar
Next chapter