webnovel

04 - Pertemuan yang Menyenangkan

Hatiku mencelos melihat orang yang kunantikan sedari tadi malah datang bersama wanita lain...

Pandanganku terpaku pada wanita di sisi si pria misterius. Ia sangat menawan dan menarik perhatian. Rambutnya yang pirang bergelombang membuatnya amat menonjol di tengah kerumunan orang yang berkunjung ke tempat ini. Wanita itu punya tinggi dan bentuk badan yang banyak diidamkan banyak wanita lain, termasuk diriku. Caranya berjalan juga sangat anggun. Sesaat aku lupa bahwa orang yang kunantikan justru adalah pria yang berjalan bersamanya.

Melihat wanita itu, aku segera sadar bahwa aku takkan mampu bersaing dengannya. Lama aku memandangi si wanita dengan rasa iri dan kekaguman yang sama besarnya.

Mereka berdua berjalan mendekat menuju meja di dekat panggung yang sepertinya sudah dipesan.

Di tengah kesibukanku memandangi mereka berdua, seseorang melambaikan tangannya di depan mataku beberapa kali.

"Ia sudah datang ya?" tanya Jess, yang gerakannya tadi membuat kesadaranku kembali.

Vi ikut menoleh ke arah yang sama dengan Jess dan aku. "Pria itu ya? Siapa yang bersamanya?"

"Wanita itu cantik sekali," kata Rin.

"Diam, Rin!" Vi membentaknya

Kami memperhatikan mereka berdua duduk di meja kosong tak jauh dari tempat kami. Cielo duduk membelakangiku, sementara si wanita duduk menghadap tepat ke arahku. Dari jarak yang lebih dekat, kecantikannya makin membuatku rendah diri. Aku yang sering dipuji cantik saja bahkan sampai merasa begini.

Aku hanya bisa diam karena sama sekali tak menyangka ia akan datang dengan wanita lain di saat ia menyuruhku menemuinya. Mereka kelihatannya sudah lama kenal, kelihatan dari cara mereka mengobrol. Sepertinya cerita tentang ia sedang tak mencintai wanita lain itu bohong.

Tanpa menjawab pertanyaan teman-temanku, tampaknya mereka paham kalau pria yang datang bersama wanita lain itu adalah pria yang kunantikan. Kulihat mereka bahkan sama sekali tak berusaha menyembunyikan pandangan mereka ke arah dua orang itu. Beberapa detik rasanya sunyi sekali. Suara yang terdengar jelas hanya debar jantungku yang berpacu kencang.

"Memangnya ia tak bilang kalau ia akan datang bersama orang lain?" Jess yang bertanya.

Rin mengelus pundakku. "Apa mereka sedang berkencan?"

"Katrina! Kau diam dulu." Vi mengepalkan tangannya sampai gemetar. Ia kelihatan marah sekali. "Biar aku yang minta penjelasan darinya."

"Tunggu, Vi," kataku mencoba menghalangi kenekatannya, "Jangan!"

Ia tak bisa dihentikan kalau sudah marah. Vi langsung berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah pria itu dan wanita yang sedang bersamanya. Aku hanya bisa memandanginya dengan cemas. Berharap tak terjadi keributan.

Aku tak bisa mendengar apa yang sedang Vi bicarakan dengan si pria. Mereka bicara serius sekali. Aku bisa melihat Vi menunjuk ke arah wanita cantik itu, lalu menunjuk ke arah meja kami juga. Tangannya beberapa kali memukul meja. Si wanita cantik hanya melihat keributan kecil itu dengan tenang. Ia tak membuka mulut sama sekali.

Pria itu menengok ke arah meja kami dan sekilas saja ia sepertinya tahu aku ada di situ. Setelah beberapa lama perdebatan berlangsung antara ia dan Vi, ia bangkit berdiri kemudian berjalan bersama Vi ke arah kami. Wanita cantik yang bersamanya tak ikut, ia tetap di mejanya.

Aku tak bisa berkata-kata saat melihatnya berjalan menghampiriku. Penampilannya amat berbeda dari ia yang kulihat di rumah sakit. Ia tak seperti pemusik yang kubayangankan. Bermain gitar akustik dengan pakaian yang rapi dan rambut klimis. Ia sama sekali tak seperti itu. Pria itu memakai kaus warna hitam yang dilapisi flanel kotak-kotak. Ia mengenakan celana jeans ketat yang bagian lututnya sobek. Kakinya terbalut sepatu sneakers tinggi. Jika tak melihat wajahnya, aku takkan menyangka ia adalah orang yang sama dengan ia yang kutemui minggu lalu. Hanya rambut ikalnya saja yang kukenali. Rambutnya ia biarkan tetap acak-acakan.

"Kau datang," katanya begitu tiba di hadapanku. Ia menjulurkan tangannya untuk bersalaman. Aku menerimanya. Setelah itu ia melakukan hal yang sama kepada Jess dan Rin.

Saat ia bicara, teman-temanku yang lain melihatnya dengan pandangan serius. Vi sudah duduk kembali ke kursinya dengan raut wajah kesal. "Sebaiknya segera kau jelaskan pada Gia," katanya sambil buang muka.

Pria itu menarik satu kursi kosong hingga sekarang ia sudah bergabung di meja kami. Ia duduk di sebelahku. Aku tak membalas kata-katanya karena masih agak terkejut dengan penampilannya dan wanita cantik tadi.

"Kau pasti punya alasan bagus kan kenapa kau datang bersama wanita lain?" tanya Jess. Sementara Rin memegangi tanganku. Mungkin ia ingin memastikan kondisiku baik-baik saja.

Si pria tampaknya sama sekali tak terintimidasi dengan pandangan curiga dan galak dari teman-temanku. Ia tersenyum memandangi kami semua bergantian. "Aku paham perasaan kalian. Tapi kedatanganku dengan wanita itu memang sangat beralasan."

Ia berbicara seperti ia yang kukenal. Tenang sekali. Ketenangan yang amat kucinta darinya.

Vi tak bicara apapun. Ia terus melihat ke arah lain dan bersedekap dengan wajah kesalnya. "Jangan bertele-tele! Langsung jelaskan saja."

Pria itu tersenyum lagi. Ia melihatku dengan tatapan anehnya. "Aku belum mengatakan namaku padamu ya? Kau bisa memanggilku Allegro. Seperti yang sudah kubilang, aku seorang pemusik, dan kenapa aku datang bersama wanita itu adalah karena ia anggota band kami. Ia bermain bass. Sekarang lihat, anggota band kami yang lain sudah datang." Ia menunjuk ke arah meja yang ditempati wanita cantik itu. Kini ada seorang lagi yang duduk di sana. Allegro melambai ke arah temannya.

Vi mendengus sebal, Jess menghabiskan minumannya dengan cepat, Rin menepuk-nepuk lenganku. Melihat mereka seperti itu, aku jadi semakin tertunduk.

"Maaf," kataku.

"Tak perlu. Aku seharusnya berterima kasih padamu karena kau benar-benar datang. Aku merindukanmu, tahu. Apalagi kau duduk di barisan depan. Aku akan makin bersemangat memperlihatkan penampilan terbaikku."

Saat ia selesai bicara, aku memandangi wajahnya. Allegro memang kelihatan amat bersemangat sekarang. Ada tatapan antusias di matanya. Tatapan yang tak mungkin berbohong. Aku juga jadi sadar, setelah tahu namanya, aku jadi makin mencintainya. "Kau membuatku malu."

Teman-temanku seperti sudah melupakan kekesalan mereka. Terlihat dari ekspresi mereka semua yang melunak.

"Kami tampil 20 menit lagi. Jadi kurasa kita bisa mengobrol sebentar. Setelah itu aku harus menemui teman-temanku lagi." Allegro tersenyum lagi padaku. Bukan senyum paling manis yang pernah kulihat, tapi amat tulus.

"Musik apa yang kau mainkan?" tanya Jess.

"Musik yang menghentak," jawab Allegro.

Rin melongo. "Itu musik yang seperti apa?"

"Musik rock, Rin." Vi yang menjawab. Vi memang suka musik yang seperti itu.

Setelah itu ia sibuk menjawab pertanyaan Jess, Vi, dan Rin secara bergantian. Aku hampir tak kebagian waktu untuk bicara dengannya. Allegro cepat sekali akrab dengan mereka. Teman-temanku juga sepertinya sudah menerima kehadiran pria itu bersama kami. Meja kami seketika ramai dan meriah, nyaris mengalahkan suara alat musik yang sedang dimainkan.

Walau waktu kami berdua jadi terbatas karena teman-temanku asik bertanya pada Allegro mengenai dunia musik, aku bahagia menyaksikannya. Allegro menanggapi mereka seolah tadi mereka tak menaruh curiga padanya. Vi bahkan jadi yang paling asik mengobrol dengannya karena selera musik mereka sama. Sekali lagi aku hampir menangis terharu.

"Bolehkah aku memanggilmu Cielo?" Aku bertanya pada Allegro ketika dapat kesempatan bicara dengannya.

Allegro tampak berpikir sejenak. "Hanya jika aku boleh memanggilmu Tierra," katanya sambil tersenyum.

Aku memukul lengannya. Tierra berarti bumi atau tanah. Jadi bisa dibilang Cielo dan Tierra itu berpasangan. Langit dan bumi. Wajahku pasti memerah lagi saat ini.

"Kau suka nama itu?" tanya Allegro.

Aku mengangguk senang. Mulai saat ini kuputuskan untuk terus menanggilnya Cielo, dan ia boleh memanggilku Tierra.

Di tengah kebahagiaan itu, aku teringat si wanita cantik yang datang bersama Cielo. Aku menengok ke arah wanita itu. Ia menatapku tanpa berkedip dengan tatapan tajam. "Kau tak kembali ke mejamu? Teman-temanmu sepertinya sudah menunggu." Aku berkata buru-buru.

"Oh benar." Cielo bangkit dan pamit padaku dan teman-temanku. Terakhir, ia menatap mataku dengan tatapan misteriusnya. "Aku punya berita penting untukmu. Mungkin bisa jadi kabar baik. Akan kubicarakan nanti."

Setelah berkata begitu, ia berlalu tanpa menoleh ke belakang.