webnovel

02 - Ayah yang Menyebalkan

"Ada apa gadis cantik ini bersedih saja? Sini cerita padaku!"

Saat itu jeda mata kuliah di kampus, aku sedari tadi tidak bisa memfokuskan pikiran pada apa yang dosen terangkan. Pikiranku terus melayang pada pria misterius yang membawaku ke rumah sakit di akhir pekan. Sampai hari ini tak ada kabar apapun darinya. Bahkan setelah kuperiksa seluruh media sosial dari layar ponselku beberapa menit sekali, sama sekali tak ada pesan masuk. Aku yakin akan lebih mudah jika saja aku tahu namanya. Tapi untuk sekarang, apa yang bisa kulakukan? Makanya aku hanya bisa diam saja.

"Kau masih sakit? Atau ada pria yang mengganggumu?"

Wanita yang terus bertanya itu Jessica, teman baikku di kampus. Di malam aku pingsan, aku sebenarnya keluar bersama Jess dan teman-teman yang lain. Kami berkumpul di sebuah kafe yang menurut teman-temanku sangat cocok untuk berfoto dan diunggah ke sosial media mereka. Aku dan Jess pulang terakhir, tapi karena Jess dijemput pacarnya, aku ditinggal sendirian. Aku hanya tinggal memesan taksi saja, namun mendadak kepalaku pusing dan perutku mual. Setelah itu kalian tahu sisanya. Aku dibawa ke rumah sakit oleh pria yang saat ini tengah memenuhi pikiranku.

"Tak ada yang perlu kau khawatirkan, Jess. Memang masih sedikit pusing saja." Aku berusaha tersenyum saat mengatakan itu. Saat ini aku masih belum mau direcoki dengan pertanyaan rewel darinya. Kemarin aku memang tak masuk kuliah karena perlu istirahat. Jadi wajar saja temanku seperti ini.

"Aku mengenalmu sejak kita masih di sekolah, Gi. Kau takkan seperti ini jika itu tentang penyakitmu. Jadi, maukah kau cerita?" Jess terus memintaku membuka mulut. Ia memang tipe teman yang peduli dan pengertian.

Aku tahu tak mudah untuk membuatnya percaya pada alasan lemah macam tadi. Jess tahu hampir segalanya tentangku. Seperti katanya, ia sudah mengenalku dari saat kami masih sekolah. Sekolah Menengah Pertama tepatnya. Karena kami begitu dekat, aku sering menginap di rumahnya, begitu juga sebaliknya.

Aku menarik nafas panjang. "Kau jangan bilang ini pada yang lain dulu."

Selesai aku bilang begitu, Jess mengangguk semangat. Wajahnya jadi lebih sumringah. Jess dan aku punya perawakan yang berbeda. Ia lebih tinggi beberapa senti dariku. Rambut panjangnya hampir selalu diikat. Walau ia punya sedikit masalah jerawat di wajah, itu sama sekali tak mengurangi kecantikannya. Kalau dibandingkan dengannya, aku akan terlihat mungil. Di wajahku juga tak ada jerawat sama sekali.

Aku mulai menceritakan semua yang kuingat tepat setelah Jess meninggalkanku di kafe. Pertemuanku dengan pria misterius itu sangat menarik perhatian Jess. Aku perlu menutup mulutnya beberapa kali karena ia hampir selalu berteriak tiap kali aku mengakhiri kalimatku. Dua temanku yang lain hampir mendengarnya.

Selesai aku bercerita, Jess memasang senyum jahil di wajahnya. "Jadi, kau sudah mulai bisa jatuh cinta lagi ya?"

Belum sempat aku menjawab, dosen lain sudah datang ke kelas kami. Dari kursi di sebelah, Jess terus menatapku seolah aku bisa gila kapan saja. Karena badanku masih lemas, pikiranku masih dipenuhi hal lain, ditambah Jess yang selalu menggoda, pelajaran hari itu sama sekali tak ada yang masuk ke kepalaku.

Tingkah Jess sebenarnya bisa kupahami. Terakhir kali aku jatuh cinta sudah hampir 2 tahun lalu. Saat itu mendekati ujian akhir di sekolah, pacar yang sudah menemani nyaris di sepanjang masa putih abu-abuku beralasan kalau ia perlu fokus pada ujian itu. Aku yang naif percaya saja pada kata-katanya. Sampai aku melihat sendiri pada pesta kelulusan ia malah asik bermesraan dengan wanita dari sekolah lain. Kejadian itu berakhir dengan darah yang mengalir dari hidungnya saat sepatu yang kulempar tepat mengenai wajah pria brengsek itu.

Trauma akan kisah cinta yang menyakitkan itu membuatku tak pernah mempercayai omongan pria manapun lagi setelahnya. Aku menganggap apa saja yang pria ucapkan pasti hanya bualan. Sampai semuanya berubah ketika aku mendengar suara pria pemusik yang kutemui tanpa sengaja. Aku bisa tahu ia tulus dan jujur saat mendengar suaranya. Aku mulai jatuh cinta lagi.

Di kelasku sekarang, sedikitnya ada 3 orang pria yang menunjukkan ketertarikan padaku. Mereka terang-terangan menggodaku pada pesan yang mereka kirim. Aku tak pernah menanggapi mereka dengan serius. Bahkan ajakan jalan dari mereka saja tak pernah ada yang berhasil. Hal itu membuat Jess menyayangkan sikapku. Tapi kalau tak suka, aku tak juga tak bisa memaksanya. Apalagi kalau sekali saja aku menyetujui ajakan mereka, pasti mereka akan makin bersemangat mengejarku.

"Dengar, Gi, aku pasti akan membantumu mencari tahu tentang pria itu," kata Jess. "Aku senang sekali akhirnya kau bisa menemukan orang yang bisa membuka hatimu."

Ucapan Jess mengakhiri perjumpaan kami di kampus hari itu. Beberapa hari setelahnya obrolan kami terus berkutat tentang si pria pemusik misterius. Untungnya Jess cukup bisa menjaga rahasia pada teman-teman kami yang lain. Jadi aku hanya perlu menghadapi satu saja mulut cerewet yang terus-terusan menyemangati walau bagiku itu hampir tak ada gunanya. Masih tak ada satu pun petunjuk yang membawaku lebih dekat padanya.

***

Semingguan ini rasanya sia-sia saja aku datang kuliah. Fokusku sedang begitu teralihkan. Apalagi jika mengingat percakapan terakhirku dengan pria misteriusku.

Waktu itu aku bertanya padanya, apa mungkin ia akan mencintai orang lain lagi. Pertanyaan itu sebenarnya juga kutujukan untuk diri sendiri. Apa mungkin nanti aku akan mencintai orang lain lagi setelah kisah cinta buruk sebelumnya. Sekarang aku sudah mencintai orang lain itu, aku sudah mencintai dirinya.

Pertanyaan itu juga yang pada akhirnya menghadirkan jawaban yang amat membekas di pikiranku,

'Mungkin nanti aku akan mencintaimu.'

Cintailah aku sekarang, jangan tunggu nanti lagi…

Ya ampun, rasanya aku tak pernah seperti ini sebelumnya. Memikirkan hal itu membuatku gembira, sedih, tertawa, dan menangis dalam waktu yang bersamaan. Karena ia begitu jujur, aku tahu mungkin hal itu memang benar. Makanya aku gembira dan tertawa. Tapi kalau mengingat situasi saat ini, rasanya aku ingin bersedih dan menangis saja. Aku tak bisa menghubunginya sama sekali. Aku bahkan tak tahu namanya.

Jess terus menanyaiku tentan pria itu. "Ia punya ciri khusus atau tidak?". Kata Jess, jika saja aku tahu ciri khusus pria itu, mungkin ia bisa membantu. Masalahnya aku tak begitu memperhatikan wajah dan tubuhnya. Suara pria itulah yang begitu membekas di hatiku. Suaranya bukan ciri khusus yang bisa dicari dengan mudah.

***

Aku sudah tak berbicara dengan ayahku sejak kejadian di rumah sakit. Aku masih kesal padanya karena membiarkan si pria misterius pergi begitu saja tanpa memberitahu namanya terlebih dahulu. Ayah juga tak menerangkan alasan mengapa ia berbuat begitu. Hal itu membuatku tambah sebal padanya.

"Gi, kau masih tak mau bicara pada ayah?"

Ayah menghampiriku yang sedang makan bubur ayam di teras rumah. Ia duduk dan mengambil koran pagi lalu membacanya di kursi sebelahku. Aku buru-buru buang muka saat ia mendekat.

Di hari Sabtu pagi seperti saat ini biasanya Ayah akan menghabiskan waktunya untuk berolahraga. Tapi hari ini ia tak melakukannya. Ia malah menggangguku.

Karena ia tak bicara lagi, aku mulai menengok ke arahnya. Matanya asik menyusuri berita di koran yang ia pegang.

"Ayah mau apa sih?" tanyaku dengan nada jengkel. Aku sebal ia tak langsung saja menjelaskan apa maunya.

Matanya tak bergerak dari korannya. Adegan ini mengingatkanku pada si pria misterius itu, dengan buku catatan yang ia pegang di tangannya. Makin kupikirkan, makin banyak pula kemiripan ayah dengan pria itu, dan hal ini membuatku makin dongkol.

"Ayah cuma mau bicara," katanya dengan penuh ketenangan. Ketenangan yang mirip dengan si pria.

"Aku tak mau bicara pada ayah." Aku terus merajuk, karena apapun yang akan ayah katakan, aku sedang tak ingin mendengarnya.

"Boleh saja kau tak bicara pada ayah," katanya, sekali lagi tak melihat ke arahku. "Tapi kau pasti mau bicara dengan pria di rumah sakit itu."

Aku hampir tersedak bubur mendengar perkataannya. Itu benar sekali, aku sangat ingin bicara padanya. "Kalau ayah tak membiarkannya pergi, aku pasti bisa bicara dengannya saat ini. Kenapa sih ayah melakukan itu?! Aku belum sempat berkenalan dengannya!"

"Kau mau berkenalan dengannya?" tanyanya.

Aku menyendok bubur dengan penuh emosi. "Tentu saja aku mau. Tapi karena ayah aku jadi tak bisa."

"Bisa," kata ayah.

"Tidak," balasku dengan ketus.

"Di pagi saat kau dirawat di rumah sakit, ada nomor telepon tak dikenal yang menghubungi ponsel ayah. Ayah penasaran siapa pemilik nomor itu."

Aku menjatuhkan sendok ke lantai saking terkejutnya dengan ucapan ayah. Mengapa aku bisa lupa pria itu meminjamkan ponselnya agar aku bisa menghubungi ayah. Aku menganga menatap ayah.

Ayah menutup korannya, menoleh ke arahku, dan tersenyum.

Next chapter