1 01 - Pria yang Menulis

 "Ah, akhirnya kau siuman"

Rasanya kepalaku pusing sekali. Tubuhku juga terasa lemas, dan sepertinya ada sesuatu yang tertambat di tanganku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali untuk mencari tahu di mana aku berada sekarang, juga siapa pria yang berbicara tadi. Aku tak mengenal suaranya.

"Kau siapa?" Aku bertanya dengan agak kaget karena ada seseorang yang sedang duduk di sebelahku. Aku tak bisa mengenali wujudnya juga. Wajahnya tak melihat ke arahku. Aku hanya bisa samar-samar melihat ia tertunduk sambil memandangi sesuatu di tangannya.

"Kau tak ingat apapun?" ia balik bertanya. Suaranya terdengar tenang, tak ada emosi, atau bahkan ia sama sekali tak berharap aku akan menanggapinya. Apalagi ia masih tetap tak menatap mataku. 

Aku mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi, tapi ingatanku masih belum bisa pulih sepenuhnya. Aku tak ingat bagaimana aku bisa ada di ruangan yang sama dengan seorang pria yang tak kukenal. Aku terdiam cukup lama, sementara ia masih sibuk dengan sesuatu di tangannya, tak berbicara apapun lagi.

"Aku di mana? Apa yang kau lakukan kepadaku?!" Aku menanyainya dengan curiga. Mulai timbul prasangka buruk dalam pikiranku. Pasti ia sedang menculikku di suatu tempat. Pasti ia telah melakukan hal yang buruk padaku. Aku mencoba menggerakkan tangan untuk berusaha bangkit, tapi tubuhku yang masih lemas tak mengizinkan hal itu.

"Jangan terburu-buru," katanya singkat, terdengar sama sekali tak terpegaruh dengan kecurigaan atau gerakanku tadi. "Kita di rumah sakit saat ini. Aku yang membawamu."

Aku mencoba untuk memfokuskan penglihatanku dan mulai memperhatikan sekeliling. Kini, setelah aku bisa melihat dengan lebih jelas, aku mulai mengenali keadaan ruangan ini. Ini ruang inap di rumah sakit. Ruang yang tak asing untukku. Karena fisikku memang lemah, aku sudah beberapa kali berakhir di ruangan seperti ini.

"Apa yang terjadi?" tanyaku, memelankan suara agar tak terdengar terlalu mencurigainya.

"Kau pingsan setelah memuntahi pakaianku. Aku langsung membawamu ke sini karena tak tahu lagi harus bagaimana. Kau mengunci ponselmu hingga aku tak bisa menghubungi keluargamu. Jadi kuputuskan saja untuk menemanimu sampai kau siuman." Ia menoleh dan menatap mataku begitu selesai bercerita. Aku bisa lihat sorot mata aneh di wajahnya. Sorot mata itu sedikit mengintimidasi. "Kau sudah merepotkan. Jadi tolong jangan curigai aku."

Ia kembali sibuk dengan benda yang ia pegang. Aku berusaha memperbaiki posisiku untuk mengintip. Ternyata ia sedang mencatat sesuatu di sebuah buku catatan kecil.

Orang ini membuat perasaanku jadi tak keruan. Dengan tatapan anehnya itu sekalipun, ia bisa berbicara dengan suara yang justru memberi kenyamanan. Tenang dan terdengar sangat jujur. Kualihkan pandanganku ke tubuhnya. Kulihat ia hanya memakai kaus dan celana pendek saja. Sepertinya cerita tentang pakaian yang kena muntahan itu benar.

"Maaf," bisikku pelan.

Ia tak bereaksi. Mungkin suaraku memang tak bisa ia dengar. Namun aku bersyukur karena tak melihat sorot matanya lagi. Sesuatu dalam matanya membuatku merasa tak enak hati.

"Mana ponselku?" aku bertanya dengan suara lebih keras dari sebelumnya. Aku mau menghubungi teman atau orang tuaku.

Ia menunjuk ke arah laci di sebelah tempat tidurku, tanpa berbicara.

Aku mengambil ponselku dan mencoba menyalakannya. Tidak terjadi apapun. Aku sedikit mengguncangnya. Kemudian aku segera sadar, baterainya habis. Aku menengok ke arah si pria.

"Pakai saja ponselku. Hubungi orang tuamu kalau kau ingat nomor telepon mereka. Jika bisa, cepatlah. Aku sudah menemanimu semalaman."

Aku bahkan belum berbicara...

Omongannya membuatku sebal. Tak sabaran dan terkesan angkuh. Tapi karena tak punya pilihan lain selain apa yang dikatakannya, aku menerima tawaran itu. Tanpa berlama-lama langsung kuhubungi nomor telepon ayahku. Tak diangkat. Pasti ia belum bangun. Kucoba sekali lagi. Perlu 10 detik untuk ayah menjawab panggilanku.

"Ayah, halo ayah! Ini aku, Adagia. Aku---"

"GIA! KAMU DI MANA, NAK? APA YANG TERJADI? KAMU KEMANA SAJA? MENGAPA TAK PULANG SEMALAM? KAMU---"

Teriakan itu membuatku menjauhkan ponsel dari telinga. Itu suara ibuku. Aku buru-buru memotong teriakannya.

"Ibu! Jangan berteriak dong." Teriakan ibu pasti terdengar oleh pria di sebelahku, dan hal itu membuatku malu.

Tuh kan, ia melihat ke arahku. Kutatap matanya. Ia hanya memberi isyarat untuk tak menghiraukannya.

Kuabaikan teriakan panik ibu. "Aku ada di rumah sakit, ibu. Aku pingsan semalam. Ada seseorang yang membawaku ke sini. Saat ini ia ada di dekatku. Jadi kumohon ibu jangan berteriak." Aku mengatakan kalimat terakhir dengan nada yang sedikit jengkel. "Ibu, tolong minta ayah untuk menjemputku di sini. Aku sudah baikan, Aku sudah bisa pulang."

"KAMU ADA DI RUMAH SAKIT MANA, NAK?" Ibuku sepertinya lupa aku baru saja memintanya untuk tak berteriak. Kesal aku dibuatnya. Tapi setelah kupikir-pikir aku memang belum mengetahui di rumah sakit mana aku sekarang. Aku kembali menoleh pria dengan maksud untuk bertanya.

"Rumah Sakit Kota Selatan." Jawabnya tanpa menungguku membuka mulut.

Benar saja suara ibu didengar olehnya. Semakin malu aku di situasi seperti ini. Sementara di seberang telepon sana ibuku masih terus saja berteriak menanyakan di mana aku sekarang,

"Aku di Rumah Sakit Kota Selatan. Ibu jangan berteriak lagi, kumohon. Segera bangunkan ayah lalu jemputlah aku di sini. Aku tak bisa berbicara lebih banyak lagi. Aku memakai ponsel orang lain." Tanpa menunggu jawaban aku langsung memutus sambungan telepon. Aku tak ingin dibuat tambah malu lagi sementara pria itu, walau dengan wajah yang sama sekali tak menunjukkan kepedulian terhadap obrolanku dengan ibu, terus mendengarkan percakapan kami.

"Ibumu orang yang peduli."

Aku terlalu malu untuk menanggapi kata-katanya. Jadi kusodorkan saja ponsel miliknya dan tak berkata banyak. "Terima kasih," kataku singkat.

Baru kusadari aku belum benar-benar memperhatikan orang ini. Kulihat tubuhnya kurus dan rambut hitamnya yang ikal dipotong pendek. Tatapan matanya tajam saat ia sedang fokus ke buku catatannya. Itu tatapan yang berbeda dengan saat ia sedang melihat ke arahku.

"Kita bisa mengobrol selagi menunggu orang tuamu," katanya. "Kau tahu perlu berapa lama sampai mereka tiba?"

Jika hanya melihat gerak-geriknya, aku bisa bilang ia sama sekali tak antusias untuk mengobrol. Namun suaranya tak memberi kesan seperti itu. Suaranya yang berat terdengar sangat tenang. Suara yang bisa membuat siapa saja yang mendengarnya akan merasa nyaman.

"Mungkin sekitar 30 menit jika jalanan lancar." Aku berusaha memperbaiki posisiku lagi untuk mengintip apa yang sedang ia catat.

"Jika mereka sudah di sini, aku akan segera pulang," katanya.

Aku penasaran dengan apa yang membuatnya begitu fokus sampai-sampai ia enggan memperhatikanku. Padahal tak sedikit orang yang bilang wajahku cantik. Dengan hidung lancip dan bibir merah menggoda, banyak pria yang sering merayuku.

Karena tak kunjung mendapat perhatiannya, aku bertanya. "apa sih yang sedang kau tulis di sana?"

"Banyak hal. Sedikit saja aku mendapat ide, pasti kutulis di sini."

Aku mulai agak tertarik dengannya. Pria tenang yang menulis sesuatu yang disukainya. Ia bukan tipe pria yang akan sering aku temui.

"Boleh kutahu salah satu isi tulisanmu?" tanyaku penasaran.

Aku sedikit melupakan kenyataan bahwa aku sedang di terbaring lemah. Aku jadi bersemangat untuk mencari tahu lebih banyak tentang pria di sebelahku ini.

Ia menoleh sambil sedikit tersenyum. Senyum lemah yang tak dipaksakan. "Kau tertarik?" Ia balik bertanya.

Air mukanya berbeda dari ia yang tadi. Sekarang ia terlihat lebih ramah. Walau itu tak mengubah anggapanku kalau sorot matanya agak aneh.

Aku mengangguk pelan. "Jika tulisan itu bisa membuatmu lebih tertarik daripada berbicara dengan wanita cantik sepertiku, kurasa isinya benar-benar bagus." Aku sedikit menggodanya.

Ia menggeser posisi duduknya agar aku bisa melihat buku catatan itu dengan lebih jelas. Ia mengangkat bukunya. "Tentu saja. Sebagian nyawaku tersimpan di buku ini, tahu. Aku juga menulis tentangmu meski banyak bagian yang belum membuatku puas. Makanya aku belum berhenti mencatat."

Kurasa pilihanku benar untuk mengajaknya berbicara tentang tulisan. Ia tampaknya sangat menyukai itu.

"Aku mau lihat," kataku dengan sedikit memohon.

"Aku akan menunjukkannya kalau sudah selesai," balasnya.

Agak kecewa mendengarnya, tapi aku tak bisa memprotes. Aku tahu ia jujur. "Kau seorang penulis?" Aku mencoba untuk duduk karena makin tertarik dengannya.

Pertanyaan itu cukup untuk membuatnya menengok ke arahku. "Penyair."

"Penyihir?" tanyaku. Aku sebenarnya tahu apa yang ia ucapkan. Hanya saja aku ingin menggodanya sekali lagi.

"Ya, banyak mantra yang kutulis di sini untuk orang yang tidak meminta maaf karena sudah merepotkanku." Ia tersenyum hangat begitu selesai mengatakannya.

Aku terkejut mendengar jawabannya. Rupanya permintaan maafku tadi benar-benar tak dapat didengar. 

"Maaf." Sekali lagi aku mengatakan itu.

"Tak apa," kataya. 

"Lalu apa yang kau kerjakan?" Aku kembali bertanya.

"Aku seorang pemusik. Buku ini banyak berisi potongan lirik yang kutulis tentang orang-orang yang kutemui. Kalau kau belum bangun, mungkin aku sudah berhasil menciptakan satu lagu untukmu."

Meski senang mengetahui ia menulis lagu tentangku, aku jadi merasa bersalah karena sudah menganggu kegiatannya. Kata-kata yang ia ucapkan seolah punya emosi yang berbeda dengan suaranya sendiri. Suaranya seperti mengundang orang-orang untuk berbicara dengannya, tapi kata-kata yang ia ucapkan bisa membuat ia justru dihindari. Aku perlu beberapa waktu untuk merenungkan hal ini. Aku masih ingin bicara padanya.

"Hei," kataku.

"Ya?" sahutnya singkat.

"Mengapa kau ingin segera pulang?" tanyaku.

"Aku lelah dan mengantuk. Aku sama sekali tak bisa tidur malam ini. Kau banyak mengigau, dan itu membuatku lebih sibuk mendengarkau ocehan tak jelasmu dibanding mencoba untuk memejamkan mata. Selain itu, motorku juga kutinggal karena harus membawamu dengan taksi."

Mengapa sih ia harus mengatakan itu… Aku tahu aku sering mengigau jika sedang dirawat karena sakit. Ayah yang memberitahuku.

Walau ia bisa membuatku merasa bersalah tanpa banyak berusaha, aku tetap ingin mengobrol lebih banyak dengannya. Aku juga sepertinya mulai paham dengan sorot aneh di matanya. Itu mata yang terus dipaksa berjaga semalaman. Ia mungkin tak ingin terlihat lemah di hadapan seseorang yang sedang sakit.

"Aku sama sekali tak bermaksud melibatkanmu…" kataku dengan sedikit menyesal dan malu karena dia mengetahui kebiasaan mengigauku.

"Jangan terlalu dipikirkan. Aku mendapat sedikit hiburan malam tadi." Ia tertawa kecil. Tawa yang tak dipaksakan. Namun bagiku seperti ada maksud lain dibaliknya.

"Apa maksudmu? Apa kau melakukan sesuatu terhadap tubuhku?" Aku mulai curiga lagi padanya. Aku memeriksa pakaianku, mencari tahu apakah ada bagian yang sedikit terbuka.

"Tidak, tidak." Ia mengabaikan kecurigaanku. Ia hanya tersenyum. "Seperti kau bilang, wajahmu memang cantik, dan melihat wajah cantik itu mengigau rasanya cukup lucu. Aku sedikit melupakan rasa lelahku karena itu. Aku bahkan sempat lupa aku butuh tidur." Matanya ikut tersenyum saat mengatakan ini. Matanya berbeda. "Aku tak melakukan apa-apa terhadap tubuhmu," ia menambahkan.

Lagi-lagi dengan tanpa usaha ia bermain-main dengan emosiku. Sudah lama aku tidak merasakan yang seperti ini. Rasa nyaman saat mendapat pujian. Biasanya pria yang bilang wajahku cantik mengatakannya dengan maksud menggoda. Tapi orang ini kedengarannya benar-benar mengatakan apa yang ada di pikirannya tanpa dilebih-lebihkan. Aku mulai menyukainya, terlebih dengan segala kejujuran dalam kata-katanya.

"Kau ini…" Mungkin wajahku tampat kemerahan saat mengatakan ini. Aku benar-benar dibuat terbuai oleh ucapannya tadi.

"Maaf kalau aku menertawakan sisi burukmu. Aku hanya butuh sesuatu untuk membayar waktuku, dan kurasa igauanmu cukup." Ia sekali lagi mengatakannya dengan penuh kejujuran.

"Membayar waktumu?" Aku tak mengerti bagian ini. Jadi kurasa aku harus menanyakannya.

"Benar. Aku punya pekerjaan lain selain bermain musik, dan kurasa aku harus cuti karena aku sangat butuh istirahat."

Lagi dan lagi…  

Ia tak terdengar kesal, juga tak nampak marah. Namun raut wajahnya jelas mengatakan ia harus segera meninggalkan tempat ini. Ia harus segera pulang. Ia butuh istirahat dan ia harus tidur. Akulah yang menahannya di sini. Kuharap orang tuaku segera tiba.

"Aku belum bertanya bagaimana kau bisa menemaniku di kamar ini. Maksudku, apa pihak rumah sakit tak bertanya apapun?" Aku sebenarnya takut kalau ia menanggapku terlalu banyak bicara. Aku hanya merasa aku tak boleh diam saja agar kami tak sama-sama bosan.

"Kubilang pada mereka aku sepupumu. Mereka kelihatannya percaya-percaya saja, apalagi kau sedang tak sadarkan diri." Ia memijit dahinya dan memberi kesan kalau ia sudah sangat lelah dan bosan. Kalau kuperhatikan, ia sama sekali tak menyentuh ponselnya semenjak kukembalikan tadi. Apa mungkin dibalik segala kebosanannya ia masih menghormatiku sebagai teman bicaranya? Kami kembali terdiam selama beberapa saat. Keheningan kembali menemani kami. Suara yang terdengar hanya goresan pena pada buku catatannya.

"Apa kau punya orang yang kau cintai?" tanyaku dengan begitu tiba-tiba. Aku juga terkejut kenapa bisa menanyakan hal ini. Pertanyaan yang begitu saja keluar dari mulutku.

Pria itu juga tampaknya terkejut mendengar pertanyaanku. Ia menatap wajahku dalam diam selama beberapa detik. Beberapa detik yang mendebarkan.

"Kurasa kau telat sedikitnya tiga tahun untuk menanyakan hal ini." Ia berhenti sejenak. Mungkin sadar kata-katanya terlalu sulit untuk kumengerti. "Dulu aku punya orang yang kucintai. Kini tak lagi. kenapa memangnya?"

Aku benar-benar merasa iri dengan caranya mengatur emosi. Dia tak tampak terpengaruh oleh kata-kata yang diucapkannya. Padahal pikiranku langsung membayangkan banyak hal mendengar jawabannya. Siapa orang yang dicintainya, apa yang membuatnya tak mencintai orang itu lagi, atau bagaimana mereka berpisah. Aku bahkan merasa cemburu bahwa ada orang lain yang telah begitu banyak mendengar suaranya. Cemburu bahwa orang itu bukanlah aku. Tapi ia mengatakannya seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Aku ingin bertanya lebih banyak hal tentang itu, namun kuurungkan niatku. Apalagi saat ini ia menatapku dengan tatapan yang seperti mengancam lagi. Menciutkan hatiku untuk melanjutkan lebih jauh,

"Apa kau pikir kau akan mencintai orang lain lagi?" Ada harapan yang mengiringi pertanyaan itu. Harapan bahwa ia akan mencintai dan menulis banyak lagu untukku. Aku sangat ingin mendengarnya bernyanyi.

Aku sudah hampir sepenuhnya melupakan kondisiku karena orang ini. Keinginanku untuk lebih banyak mengetahui tentangnya membuatku kehilangan kesadaran bahwa aku sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Aku belum pernah bertemu orang yang seperti ini. Seseorang yang mengatakan segalanya dengan jujur dan secukupnya saja, seseorang dengan ketenangan luar biasa, juga pengatur emosi yang sangat hebat.

"Hal itu sangat mungkin walau aku masih tak tahu siapa yang akan kucintai. Bisa saja aku mencintai teman kantorku, temanku bermain musik, atau mungkin nanti aku akan mencintaimu." Ia mengakhiri kalimatnya dengan sebuah senyuman.

Aku berani taruhan kalau wajahku pasti amat merah.

"Aku---"

"GIA! BAGAIMANA KEADAANMU?!" Kami menoleh untuk melihat siapa yang datang. Kedua orang tuaku tiba-tiba masuk dan memotong obrolan kami. Ibuku langsung saja berteriak tanpa mengenal situasi. Dipeluknya tubuhku walau aku masih sangat lemah dan sulit bergerak. Ayah jauh lebih mengerti kondisiku. Ia hanya membelai rambutku dan tersenyum. Ayah dan ibu memang punya sifat yang berlawanan. Ayah orang yang tenang, sementara ibu mudah sekali panik.

"Ibu! Kau tak perlu berteriak. Ini di rumah sakit. Lagipula masih pagi. Kau akan mengganggu pasien yang lain". Aku berusaha menenangkannya.

Walau begitu aku berusaha memaklumi sikapnya. Kuakui aku juga salah dengan tidak memberitahu ke mana aku akan main dan kapan sekiranya aku akan pulang. Aku hanya bilang aku akan keluar dengan beberapa teman kuliahku. Tapi reaksinya memang berlebihan. Aku merasa sesak karena ia belum melepas pelukannya. Untungya aku juga mengatakan kemungkinan aku akan menginap. Kalau tidak, entah seperti apa jadinya.

"Ayah…" panggilku ketika ibu sudah melepas pelukannya. Ia mendekatkan tubuhnya padaku. Langsung saja kupeluk ia. Aku merindukannya. "Maafkan aku…"

Ia tidak berusaha melepaskan pelukanku walau air mataku mungkin saja membuat pakaian kerjanya basah dan kotor. Ia sangat mengerti apa yang kubutuhkan darinya. "Ayah tak menyalahkanmu, nak. Sekarang ayah sudah jauh lebih tenang karena tahu kau aman." Ia membalas pelukanku dengan satu tangan.

Sementara aku berbicara dengan orang tuaku, kulihat pria misterius itu sedikit menjauhkan tempat duduknya. Mungkin ia berusaha memahami posisinya. Saat itu juga ayahku sadar akan kehadirannya.

"Kau teman Adagia?" tanya ayahku sambil mendekat padanya. Pria itu berdiri lalu mereka saling bertatapan. Mungkin itu bagaimana cara pria untuk saling mengerti. Aku tak begitu paham. 

"Iya, aku yang membawanya ke sini," jawab pria itu. Raut wajahnya sedikit berbeda dibanding saat berbicara denganku. Ada rasa hormat di sana.

Jika diperhatikan, mereka berdua punya beberapa kemiripan. Terutama sifat mereka yang sama-sama tenang. "Boleh kita bicara sebentar?" tanya ayahku. Pria itu mengangguk. Ayah ganti menatapku. "Nak, ayah ingin bicara dengan temanmu di luar. Kau di sini dulu ditemani ibumu. Kami sudah membeli sarapan. Kau sebaiknya makan dulu." Kata ayah sambil memimpin pria itu keluar dari ruangan.

Si pria menoleh ke arahku dan tersenyum lagi. Senyum paling misterius selama ia berada di ruangan yang sama denganku.

Aku tak bisa membantah ayah. "Kalian jangan terlalu lama," pintaku.

Mereka berdua melangkah keluar ruangan tanpa mengatakan apapun lagi. Entah apa yang mau ayah bicarakan dengannya. Yang bisa kupikikan hanya sebatas administrasi rumah sakit ini. Karena tak mau terlalu larut dalam tanda tanya, lebih baik kutanyakan nanti pada ayah. Ia pasti punya alasanya sendiri yang tak bisa ia jelaskan saat ini.

Ibuku mengeluarkan bubur ayam dari kantung yang ia bawa. "Nak, kau harus makan. Ibu sudah belikan ini. Ini kesukaanmu, kan?" Ibu membujuk sambil menyiapkan bubur itu agar siap kumakan. "Biar ibu yang suapkan."

"Tidak usah, bu, aku bisa makan sendiri. Aku sudah punya cukup tenaga untuk itu." Aku berkata dengan cukup jengkel sambil membuktikan bahwa aku memang bisa melakukannya.

Aku terus memakannya sambil ditemani ibu, walau ia berkali-kali berusaha bertanya apa aku perlu bantuan. Berkali-kali juga kukatakan aku tak perlu itu. Banyak waktu yang habis karena kami banyak berdebat. Aku hanya tak ingin dilihat sebagai wanita manja jika pria pemusik itu masuk lagi ke ruangan ini lagi.

Bubur yang kumakan sudah hampir habis saat ayah kembali masuk ke ruangan. "Nak, kau sudah lebih baik?"

Aku mengangguk dengan yakin. "Aku sudah jauh lebih baik. Aku bisa pulang pagi ini juga." Aku berusaha sebisa mungkin agar suaraku terdengar penuh semangat agar tak lebih lama lagi dirawat di sini.

Ayah tampak senang dan bangga. "Ayah akan langsung berangkat kerja. Segera habiskan sarapanmu. Sisanya ibumu yang akan urus."

Aku menyunggingkan senyum padanya. Ayah mengecup keningku kemudian berbalik. Saat melihat punggungnya aku jadi teringat sesuatu.

"Ayah, ia ke mana?"

Ayah berbalik untuk melihatku. "Setelah ayah berterima kasih, ia izin pulang. Jadi ayah biarkan saja ia pergi karena ia kelihatan sudah lelah sekali."

"AYAH! KENAPA KAU MEMBIARKANNYA BEGITU SAJA!? AKU BAHKAN BELUM MENANYAKAN NAMANYA!"

avataravatar
Next chapter