13 Chapter 33

"Apa yang terjadi?" aku duduk di kursi penumpang dalam SUV milik Karina dan dia menyetir sangat kencang. Aku berpegangan pada dashboard saat dia menikung ke kanan dengan tajam.

"Aku tak tahu detailnya. Ayah meneleponku setengah jam yang lalu dan bilang kalau dia mendapat telepon dari rumah sakit Rainbow View dan memberitahunya kalau Jis berada disana. Mereka harus menunggunya untuk bangun supaya bisa ditanyai siapa yang harus dihubungi."

Suaranya keluar sambil terisak dan secara insting aku menggenggam tangannya. Siapa yang peduli kalau dia membenciku, hanya ada aku yang dia miliki sekarang.

"Jadi dia sudah bangun?" air mata mengalir jatuh di wajahku tanpa tersembunyi.

Aku harus mendatanginya, untuk memeluknya dan memastikan dia masih hidup.

"Dia sudah bangun, kurasa dia terus sadar dan pingsan lagi. Mama dan Ayah dan Denis sudah disana. Aku tak tahu kenapa tak ada salah satu di antara kami yang memiliki nomer teleponmu. Yah, aku tahu kenapa aku tak memilikinya, tapi yang lainnya juga tidak punya, tapi Jis pernah cerita sekali, di mana kau tinggal, jadi aku pergi ke rumahmu dan saat itulah Anna memberitahuku kau pergi ke rumah Jis."

"Terima kasih kau sudah mencariku. Aku tak tahu harus bagaimana." Oh Tuhan, menyetirlah lebih cepat!

"Puput, aku benar-benar minta maaf untuk semuanya." Kami berdua sesenggukan sekarang.

"Aku tidak menyadari sampai Sabtu pagi ini betapa kalian, kalian sangat berarti satu sama lain, dan aku hanya ingin berhati-hati untuknya. Wanita sialan itu Vanessa pernah menyakitinya, dan aku tak bisa tahan jika seseorang menyakitinya seperti itu lagi. Tapi aku bisa melihat cara kalian memandang satu sama lain, kalian benar-benar saling mencintai."

"Aku tahu. Jangan khawatir mengenai hal itu, Karina. Segeralah bawa kita padanya, kumohon." Oh Tuhan, apa yang akan kulakukan jika aku kehilangan dia? Setelah semua hal buruk yang kukatakan padanya?

Bagaimana jika dia tidak pernah melihat bayi kami?

Tidak, aku tidak boleh berpikir seperti itu. Dia akan baik-baik saja.

Kumohon supaya dia baik-baik saja!

Karina memarkirkan mobilnya dan mencari pesan saat kami berlari ke dalam Rainbow medical plaza yang luas untuk mengikuti instruksi pesan dari ayahnya kemana kami harus pergi.

Kami berpegangan tangan di dalam lift paling lama dalam hidupku. Akhirnya kami menemukan kamarnya. Chandra dan Lusi berdiri diluar pintu berbicara dengan dokter.

Lusi segera mendatangiku saat melihat kami berjalan tergesa-gesa di koridor.

"Dia akan baik-baik saja."

Oh, terima kasih Tuhan.

"Apa yang terjadi? Bolehkah aku menemuinya?" Aku tak bisa mengontrol airmata berjatuhan di wajahku dan aku serasa ingin menyingkirkannya dan berlari kepada cintaku.

"Ya, kau bisa menemuinya. Dia sudah ditenangkan." Lusi menggenggam tangan kami di kedua tangannya masing-masing.

"Kita bisa saja kehilangan dia."

Aku menunduk melihat kearahnya dan melihat lingkaran di bawah mata birunya, wajahnya pucat. Aku memeluknya erat.

"Apa yang terjadi?" aku bertanya lagi.

"Dia kecelakaan mobil dini hari ini, sekitar jam dua pagi. Pengemudi mabuk menyerempetnya dan membuatnya menabrak pembatas jalan di Interstate 5."

Lusi menghapus air mata di bawah matanya dan aku merasa mual.

Itu adalah setelah aku mengusirnya. Oh, ini adalah salahku!

"Kenapa dia pergi keluar saat itu?" tanya Karina.

"Kami bertengkar," bisikku. "Ini adalah salahku. Oh, Tuhan, aku benar-benar minta maaf."

"Tidak, sweetie, tidak." Lusi memelukku dan mengayunkan tubuhku.

"Itu bukan kesalahanmu."

"Put, kau harus menemuinya. Aku akan menunggu disini bersama Mama." Karina menepuk bahuku menenangkan dan aku masuk ke kamar Jis.

Duniaku berhenti berputar.

Dia berbaring begitu tenang di tempat tidur rumah sakit.

Terdapat perban diatas mata kiri dan memar besar di pipinya. Dia mengenakan baju rumah sakit mirip seperti yang yang aku pakai kemarin. Terdapat klem di jari telunjuknya, terdapat pengukur tekanan darah di lengannya dan selang infus di lekukan sikunya.

Pergelangan tangan kirinya diperban dengan erat.

Aku berjalan ke sisi tampat tidurnya dan menggenggam tangan kanannya, lalu duduk di kursi dan mulai menangis.

"Kumohon, sayang, bangunlah. Aku butuh untuk mendengar suaramu." Aku mengguncangkan tangannya dan memandang wajahnya, berharap dia bangun.

Chandra masuk ke ruangan dan menepuk bahuku. "Mereka memberinya obat untuk membantunya tidur."

"Apakah ada luka dalam?" tanyaku.

"Tidak, iganya memar dan pergelangan tangannya keseleo, dan dia terhantam sedikit, tapi dia sangat beruntung. Jika mobilnya terbanting ke arah yang lain dia bisa terjun dari jembatan."

Aku menahan nafas dan menyandarkan pipiku di bahu Jis. "Aku benar-benar minta maaf."

"Puput, itu bukan salahmu, sayang. Pertengkaran pasangan."

Aku melihat kearah Chandra terkejut.

"Lusi bercerita bahwa kalian bertengkar dan mungkin itulah kenapa Jis keluar sangat larut." Dia tersenyum tulus dan menepuk bahuku lagi.

"Aku bisa kehilangan dia," bisikku.

"Dia akan baik-baik saja. Dia hanya akan butuh TLC (tender loving care: kelembutan cinta perhatian) selama beberapa minggu. Aku akan mengajak Lusi dan anak-anak ke kafetaria untuk sarapan. Pergunakan waktumu."

"Aku tak akan meninggalkannya."

"Aku tak menyuruhmu meninggalkannya."

Perawat pirang yang cantik masuk dengan tergesa dan memeriksa kondisi Jis dan tersenyum padaku. "Dia baik-baik saja. Apakah kau Puput?"

"Ya," jawabku, terkejut.

"Dia menanyakanmu pagi ini saat dia mendapatkan kesadarannya kembali. Dia akan senang melihatmu saat dia bangun."

Dia mengedipkan mata padaku dan meninggalkan ruangan, Jis dan aku sendirian.

"Oh, sayang." Aku mencondongkan tubuhku dan membelai rambut hitamnya yang lembut. Aku benci melihat Jis seperti ini, terluka dan rapuh di tempat tidurnya yang steril. Dia begitu kuat dan tenang. Ini bukan dirinya. Ini tidak benar.

Dan aku tahu semua orang berkata tidak, tapi aku tetap merasa bahwa ini salahku dia berada di sini.

Ponsel-ku bordering dan itu adalah Anna.

"Halo," aku berbisik, agar tidak membangunkan Jis.

"Apa yang terjadi?" aku bisa bilang dia panik dan aku mulai berbicara, pelan dan cepat.

"Jis kecelakaan setelah dia meninggalkan tempat kita tadi malam. Kami di Rainbow View. Dia baik, hanya terhantam, tapi mereka sudah menenangkannya."

"Aku kesana."

"Terima kasih Ann."

Aku duduk di sisi Jis sepanjang pagi saat orang lalu lalang datang dan pergi. Orang tua dan saudaranya datang untuk memelukku, dan mereka bergiliran duduk berjaga denganku. Anna datang membawakanku kopi dan duduk bersamaku sebentar.

Perawat dan dokter datang dan pergi dengan tergesa, membaca mesin dan mencatat.

"Berapa lama dia akan tertidur?" Aku bertanya pada dokter.

"Kami memberinya obat enam jam yang lalu, jadi dia akan bangun sebentar lagi."

"Bolehkah aku berbaring di sebelahnya?" aku melihat kearah dokter, dengan pandangan memohon.

"Pergelangan kirinya keseleo, beberapa tulang iga di kiri juga memar. Jadi tetaplah di sisi kanannya, tidak apa-apa, tapi pelan-pelan."

"Terima kasih."

Aku pelan-pelan sekali beringsut naik ke sisi kanannya dan mencium pipinya. Aku menyandarkan kepala di bahunya dan membelai rambutnya dan turun ke wajahnya.

Oh, aku sangat mencintainya.

"Aku sangat mencintaimu," bisikku padanya. "Aku benar-benar minta maaf atas perbuatanku. Aku sungguh-sungguh menyesal."

Aku meneruskan bergumam untuknya, menyandarkan kepalaku di bahunya dan meletakkan tanganku di atas jantungnya. Aku tetap tenang sehingga tidak menggerakkan dan mendesaknya.

Aku terbangun merasakan bibir Jis berada di keningku.

Aku mengangkat kepalaku dan menemukan mata birunya yang indah menatapku.

"Oh, Tuhan, Jis." Airmata mengalir lagi, tapi ini adalah air mata kelegaan. Dia sudah bangun!

"Hush, sayang, Aku baik-baik saja." Aku mengatur tubuhku sehingga dia bisa memeluk bahuku dengan lengan kanannya dan aku menjalankan jariku ke dalam rambutnya.

"Aku minta maaf. Untuk semuanya." Dia mencium keningku lagi.

"Aku juga minta maaf." Dia membelaikan jari-jarinya ke rambutku dan aku mencium dagunya.

"Bagaimana perasaanmu?"

"Sakit. Lega karena kau disini."

"Karina menemukanku pagi ini."

"Dia yang melakukannya?"

"Yeah, orang tuamu meneleponnya dan dia menemukanku di tempatmu."

Alisnya tiba-tiba meninggi. "Di tempatku?"

"Aku pergi kesana pagi ini untuk meminta maaf, tapi kau tak ada di rumah, jadi aku menunggumu di sana. Anna memberitahunya kalau aku di sana." Saat aku mengingat momen mengerikan karena tidak tahu apakah Jis hidup atau mati, aku bergidik.

"Apakah kau kedinginan?" dia bertanya.

"Tidak, aku mengkhawatirkanmu. Kenapa kau bepergian begitu larut?"

"Aku tak bisa pulang. Kau tak ada di sana, kau tak membiarkanku tinggal bersamamu, jadi aku memutuskan untuk menyetir."

Aku menutup mataku dan menggelengkan kepalaku, malu atas apa yang kukatakan padanya tadi malam.

"Kemarin sangat kacau." bisikku.

"Ya, memang. Apakah kau akan cerita padaku?"

Aku duduk dan dia mengernyit. "Pertama, aku akan mencari dokter sehingga dia bisa memeriksamu, dan setelah kau ditangani, jika kau masih ingin bicara, kita akan bicara."

"Jangan tinggalkan aku." Dia memegang erat diriku, menutup matanya dengan rapat.

"Tak akan pernah lagi." Aku berkata padanya dan matanya membuka dengan cepat, menatapku. "Tak akan pernah," ulangku.

Aku meraih dan menekan tombol perawat merah.

"Ada yang bisa saya bantu?" Sebuah suara tak berwujud bertanya

"Jis sudah bangun," jawabku, masih membelai rambut Jis.

"Seseorang akan segera kesana."

"Halo, Mr. Jis." Dokter tersenyum pada Jis dan, melihatku meringkuk di sisinya, dia mengedipkan mata padaku. "Aku punya kabar baik untukmu. Kami akan mengusir anda dari sini besok. Anda terbentur cukup keras, tapi tidak ada yang patah, dan berdasarkan pemeriksaan CT scan, anda tidak mengalami luka dalam. Anda orang yang sangat beruntung."

"Terima kasih. Bolehkah saya makan?"

"Apakah kau lapar?" Aku bertanya padanya.

"Kelaparan."

"Tentu saja, anda boleh makan. Mulailah dengan yang ringan. Jangan makan steak dulu hari ini." Aku bangun dari tempat tidur sehingga dokter bisa memeriksa Jis. Memanfaatkan waktu aku menelepon Anna dan memintanya untuk membawakan Jis sandwich ringan dan semangkuk sup dari delivery favorit kami lalu aku menelepon Ibunya Jis, melalui nomor yang pernah dia berikan, untuk memberitahu mereka bahwa Jis sudah bangun dan boleh pulang besok.

Mereka berjanji akan datang nanti malam.

Dokter sudah selesai saat aku menutup telepon.

"Anna akan membawakanmu makan malam." Aku mengambil tangan Jis ke genggamanku dan membawanya ke pipiku.

"Kau harus pulang dan makan, beristirahatlah."

"Aku tak akan pergi sampai kau keluar dari sini."

Aku mengharapkan sedikit perdebatan, tapi dia tersenyum malu dan mengusap pipiku.

"Ok, maukah kau bercerita tentang kemarin?"

"Kau ini keras kepala, ya?"

"Aku ingin tahu apa yang terjadi."

"Mungkin kita harus membicarakan ini besok, setelah kita di rumah."

"Bicaralah padaku, sayang." Wajahnya muram dan sedikit sedih, dan aku menutup mataku. Haruskah aku cerita tentang bayi ini saat dia masih disini di rumah sakit, ataukah aku harus menunggu?

Aku membuka mata dan dia masih memandangiku dengan sabar, dan aku tahu dia berhak mengetahui kebenarannya.

Aku mengambil nafas dalam. "Aku merasa tidak enak badan kemarin pagi sebelum kau berangkat, tapi kukira itu hanya karena cemas kau akan terbang, dan aku ketakutan."

Aku menggenggam tangannya dan meremasnya dengan lembut.

"Seandainya kau memberitahuku."

"Aku tidak ingin membuatmu khawatir. Saat aku pulang ke rumah, aku merasa sakit. Aku terus menerus muntah selama satu jam bahkan tetap terus muntah saat tidak ada lagi yang bisa dimuntahkan." Aku mengernyitkan hidung merasa jijik. "Seksi, ya?"

"Teruskan ceritanya." Dia merespon.

"Anna membawaku ke gawat darurat saat muntah-muntahnya tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti."

"Kenapa kau tidak meneleponku?"

"Kau sedang rapat sepanjang hari, dan tidak ada yang bisa kau lakukan dari Rainbow"

"Aku bisa mencari penerbangan selanjutnya untuk pulang."

"Aku hanya ingin mendengar apa yang Dokter katakan. Aku yakin aku hanya kena flu dan mereka hanya akan menyuruhku meminum jus dan tidur." Aku mengangkat bahuku.

"Apa yang mereka katakan padamu?"

Aku menggigit bibir dan menutup mata untuk sesaat. "Well, aku sehat."

"Tapi?"

Bagaimanapun aku harus melakukannya.

"Aku hamil enam minggu," aku berbisik.

Aku menunduk menatap tangan kami. Ruangan hening.

Akhirnya, seolah seperti telah satu jam berlalu, dia berbisik,

"Lihat aku."

Aku menggelengkan kepala.

"Lihat aku, sayang."

"Aku tidak melakukannya dengan sengaja."

"Lihat wajahku, Put."

Perlahan aku memandang wajahnya, dan dia menatapku dengan cinta dan heran dan sedikit kebingungan. Tapi dia tidak marah.

"Kau tidak marah?" aku bertanya.

"Kenapa aku harus marah?"

"Karena ini terlalu cepat." Aku menggelengkan kepala dan menutup mataku.

"Ini terlalu cepat."

"Aku tidak marah. Tapi Put, bukankah kau bilang kau mengkonsumsi pengendali kehamilan?"

"Aku mengkonsumsinya. Aku OCD bila tentang mengkonsumsi pil, tapi dokter bilang bahwa seperti metode pengendali kelahiran yang lain itu bisa gagal, dan jelas, itu terjadi."

Aku memandang ke wajah tampannya dan mengambil nafas dalam, mempersiapkan diri untuk menyelesaikan cerita.

"Jadi, dokter bilang aku hamil, dan melakukan ultrasound untuk mengetahui umur kehamilanku. Aku punya fotonya. Akan kutunjukkan padamu."

"Ok," dia berbisik.

"Setelah dokter pergi, Anna mengganti-ganti channel TV di ruangan, dan berhenti di acara gossip malam, dan saat aku melihatmu." Aku mencoba melapaskan peganganku sehingga aku bisa berdiri dan berjalan mondar-mandir, tapi dia memegang erat tanganku.

"Jangan pergi. Selesaikan ceritanya."

"Duniaku runtuh. Aku benci melihat foto-foto itu, melebihi apapun yang kubenci di dunia ini. Aku benci caramu memandangnya..."

Suaraku pecah dan aku berdehem untuk menyamankan tenggorokanku.

"Put, tidak terjadi apa-apa."

"Aku tahu, tapi itu tidak terlihat seperti tidak ada apa-apa, dan kemudian aku ingat kau pernah bertunangan dengannya, dan aku terpengaruh secara hormonal dan ketakutan dan sakit dan aku hanya ingin berada di pelukanmu."

"Kemarilah."

Aku merebahkan badanku di sebelahnya dan dia membelaiku.

"Saat aku tak bisa menghubungimu kemarin itu membuatku gila. Aku tak bisa berkonsentrasi di rapat-rapatku. Itu tidak seperti dirimu jika tidak merespon atau menjawab telepon."

"Pada awalnya aku tak tahu apa yang harus kukatakan, dan lalu aku marah padamu."

"Aku mengambil penerbangan pulang ke White Water dan langsung pergi ke tempatmu, dan setelah itu kau sudah tahu sendiri."

"Aku minta maaf untuk semua yang aku katakan."

"Aku juga."

"Jis, aku tidak ingin kau dekat-dekat dengan wanita itu. Aku tidak mau kau bekerja dengannya."

"Aku sudah meneleponnya setelah aku meninggalkan tempatmu semalam dan bilang padanya aku akan bekerja sama dengan orang lain untuk film itu. Aku tak akan berbicara dengannya lagi. Aku tidak merangkulnya saat kami meninggalkan restoran. Yang pasti aku tidak menciumnya. Aku mungkin memeluknya untuk mengatakan selamat tinggal, tapi itu tidak berarti apapun. Aku bahkan tidak ingat apa yang kulakukan, tapi media selalu memutarbalikkan kejadian supaya terlihat seperti yang meraka inginkan. Aku bahkan berpikir ingin meneleponmu."

"Jadi." Jis berkata dan aku memiringkan kepalaku ke belakang supaya aku bisa melihat matanya. "Kita akan punya bayi."

Dia tersenyum, lebar, dan terlihat seperti... bangga pada dirinya sendiri.

"Sepertinya begitu."

"Kurasa kita lebih baik segera menikah daripada menundanya."

"Jis, aku tidak ingin kau merasa harus menikahiku hanya karena aku hamil..."

"Berhenti disini. Aku memintamu untuk menikah denganku sebelum kita tahu kau hamil."

"Aku tahu, tapi..."

"Tidak ada tapi. Puput, aku sangat mencintaimu. Aku ingin memiliki anak denganmu. Ini adalah hal yang indah. Ini memang cepat, lebih cepat dari yang aku kira, tapi seorang bayi tidak pernah menjadi suatu hal yang buruk. Kau akan menjadi ibu yang hebat."

Aku tidak pernah tahu kalau aku bisa menangis begitu sering dalam satu hari. Air mata kembali jatuh. Aku lega dan bahagia dan sangat jatuh cinta pada pria indah ini.

Dia membungkuk dan menggesekkan hidungnya ke hidungku dan menciumku dengan lembut yang membuatku meleleh. "Aku mencintaimu, sayang."

"Aku mencintaimu juga."

"Oh, Tuhan, Puput pria yang kasihan ini hampir terbunuh. Apakah kau harus menganiayanya?" Anna lewat dengan cepat dengan membawa tas yang penuh makanan. Dia bertolak pinggang dan menggelengkan kepalanya.

"Jangan jadi anak nakal, Ann." Aku duduk dan mulai mengeluarkan makanan untuk Jis. Perutku keroncongan dan aku senang melihat apa yang dia bawakan untukku juga.

"Kami akan punya bayi." Jis memberikan senyumnya yang lebar pada Anna.

"Aku tahu. Aku sangat senang untuk kalian berdua."

Anna berjalan kearah Jis dan mencium pipinya, tersenyum pada kami berdua.

"Jauhkan bibirmu dari priaku, Montgomery."

"Tuhan, kau sangat egois."

Kami sudah pulang ke rumah selama seminggu dan Jis sudah hampir sembuh dari lukanya. Tak akan ada kunjungan ke gym untuk beberapa minggu kedepan, tapi memarnya sudah hilang.

"Mobil van pindahannya sudah datang."

"Kau tidak akan mengangkat apapun. Bahkan untuk memikirkannya sekalipun.

Pergelangan tanganmu masih dalam masa penyembuhan."

Dia bahkan tidak menggendongku akhir-akhir ini, dan aku merindukannya.

"Well, itu berarti kita berdua tidak akan melakukannya."

"Pergelangan tanganku tidak sakit."

Aku menaikkan alisku padanya saat dia menyeberangi ruangan yang besar menuju kepadaku.

"Aku sungguh menyukai mulutmu yang kasar." Dia menampar pantatku dan aku memekik, sebelum menggerakkan tangannya memeluk perutku. "Tidak ada acara angkat-mengangkat untuk wanita cantik yang kuhamili"

Aku tertawa dan membelai wajahnya yang tampan.

"Apakah kau yakin tentang kepindahanku kesini?"

"Tentu saja. Bagaimanapun kita akan segera menikah dalam dua bulan, itu masuk akal."

Wajahnya mengeras dan mengernyit padaku.

"Apakah kau tidak ingin?"

"Aku ingin berada di manapun kau berada. Tidak mungkin kita pindah ke tempatku dengan Anna." Aku menyeringai.

"Anna bisa tinggal di rumah itu selama yang dia mau, dan aku masih bisa menggunakan studio untuk bekerja."

"Tapi?" Dia menaikkan alisnya.

"Tapi, kupikir bahwa saat keluarga kita bertambah, kita mungkin butuh menambah kamar tidur lagi."

Wajahnya melambut dan dia menciumku dengan lembut di kening.

"Aku akan membelikan rumah manapun yang kau mau."

"Aku ingin tinggal di sini sekarang. Kita akan melihat kemungkinannya nanti."

"Ok." Dia menciumku lagi sebelum para tukang yang membantu pindahan membunyikan bel pintu dan mulai membongkar kotak-kotak dan beberapa perabot. Aku meninggalkan sebagian besar barang di rumahku yang lama untuk Anna.

Semua kotak sudah dinaikkan di kamar tidur cadangan jadi aku bisa memilahnya sendiri. Pembongkaran itu tak akan memakan waktu lama.

"Apakah kau akan bekerja siang ini?"

Aku bertanya pada Jis setelah para tukang itu pergi.

"Tidak, kau?"

"Tidak." Aku berjalan ke tangga dan mulai menaikinya menuju kamar tidur kami.

"Apa yang harus kita lakukan di dunia ini untuk mengisi waktu kita di siang hari Kamis yang hujan?" Jis bergumam di telingaku saat aku tiba di puncak tangga.

"Hmm...kita bisa membaca." Aku memberi usul.

"Tidak, aku sudah banyak melakukan hal itu akhir-akhir ini." Dia menggigit leherku dan memeluk pinggangku, meregangkan telapak tangannya di perutku.

"Kita bisa menonton film."

"Aku sedang tidak mood."

Kami akhirnya tiba di kamar tidur dan aku berbalik dalam pelukannya, menciumnya dengan lembut sementara jariku membelai pipinya.

"Aku kehabisan ide," bisikku.

"Tidak apa-apa," dia balas berbisik.

"Aku mempunyai beberapa ide sendiri."

avataravatar