webnovel

Chapter 22

"Aku sangat menikmatinya." Jis mengaitkan jarinya ke jariku dan mencium buku-buku jariku saat menyetir kembali ke White Water.

"Mereka menikmati saat bersamamu juga. Terima kasih sudah datang, dan mengundang orang tuamu. Aku sangat senang." Aku tak bisa menyembunyikan senyum lebarku.

"Aku lega. Apakah kau senang dengan perjalanan kita?" dia menyeringai lebar.

"Aku harus melakukan banyak hal malam ini untuk bersiap-siap. Mungkin aku harus menginap di rumah malam ini jadi aku bisa berkemas dan menelepon dan lain-lain."

Jis mengernyit. "Tidak akan butuh waktu lama untuk berkemas. Aku bisa mengantarkanmu pulang untuk berkemas, dan kembali lagi ke tempatmu." Dia menelan ludah dan memandangku sekilas.

"Apa ada yang salah?" Kenapa dia tiba-tiba terlihat cemas?

"Aku tidak ingin menanggung resiko."

"Menanggung resiko?"

"Yeah, jika kau memutuskan untuk tidak jadi pergi."

Darimana ketakutan ini datang? "Aku memang ingin pergi."

"Bagus." Dia tersenyum padaku.

Ternyata aku tidak memerlukan terlalu banyak waktu untuk berkemas. Seminggu penuh di Golden Cove memerlukan beberapa bikini, sarung, baju tanpa kancing dan flip-flops (sandal jepit). Aku juga menambahkan satu baju gaun bertali berjaga-jaga untuk acara makan malam dan sepasang hak tinggi dan juga beberapa celana pendek dan tank top.

Aku akan mengumpulkan peralatan mandiku di pagi hari sebelum penerbangan jam sembilan pagi.

Aku duduk di meja dapur dan memulai menelepon klien di minggu depan untuk mengatur ulang jadwal saat aku mendengar Jis masuk melalui pintu depan.

"Sayang?"

"Di dapur!"

"Hey," dia membungkuk dan menciumku dengan manis, dan aku mendesah.

"Hai. Aku sedang menelepon. Anggap saja rumah sendiri ya."

"Ok." Dia berjalan-jalan di dapur dan mengambil sebotol air dari kulkas.

Setengah jam kemudian semua teleponku sudah selesai, janji temu sudah dijadwal ulang, dan aku resmi berlibur.

Bayangkan!

Aku memiliki senyum super lebar terpampang di wajahku saat aku menyusup ke pangkuan Jis yang sedang duduk di sofaku membaca naskah.

"Well halo, gadis yang berbahagia." Dia menyusup ke leherku.

"Hai, pacarku yang obsesif dan murah hati." Jis tertawa dan memelukku dengan lembut.

"Aku menantikan berbaring di pantai pasir bersamamu, sayang."

"Hmm...Aku juga. Dan menyelam!"

"Kau bisa menyelam?" dia terus menyusup ke leherku dan menggigit telingaku dan aku menggeliat.

"Ya, aku bisa. Tapi itu sudah lama."

"Baumu harum. Apalagi yang ingin kau lakukan?"

"Well, untuk satu hari penuh..." aku membelaikan jemariku ke rambutnya dan condong ke belakang supaya bisa melihat ketampanannya.

"Ya?'

"Aku ingin telanjang di tempat tidur denganmu."

"Itu akan menjadi hari favoritku di sepanjang liburan." Dia membelai punggungku dan aku menyeringai.

"Aku juga. Apakah kita akan tinggal di pondok di pinggir laut?"

"Ya."

"Keren. Kita bisa berenang telanjang."

Dia tertawa renyah. "Kau bukan eksibisionis kan?"

"Tidak, kita akan melakukannya di malam hari." Aku menyandarkan kepalaku di bahunya dan mendesah dalam, agak lelah, tapi sangat rileks.

"Bolehkah aku membawa kamera?"

"Sudah kuperkirakan kau membawanya."

"Aku tak akan membawanya jika itu membuatmu tak nyaman." Aku berusaha untuk berhati-hati tidak memotret Jis semalam setelah makan malam saat aku memotret si mungil Sofia dan keluarga yang lain.

"Aku percaya penuh padamu. Kau boleh memotretku."

Aku duduk tegak diatas pangkuannya, ternganga dan mataku melebar. "Boleh?"

"Well, kita ingin punya foto liburan kita kan? Put setelah semua yang kita lakukan, bagaimana aku tidak percaya padamu untuk mengambil fotoku? Kita harus punya memori bersama."

Aku merasakan senyumku mengembang dan aku merasa sangat...bahagia. "Aku sangat ingin memotretmu, dan sebelum kau ketakutan padaku..."

"Aku tidak akan ketakutan padamu," katanya dengan tertawa.

"Aku ingin mengambil fotomu karena itulah pekerjaanku, dan kau sangat indah, Jis. Ada banyak momen yang kuharap bisa kuabadikan. Aku tak akan pernah membagi fotomu dengan orang lain kecuali atas seijinmu, tapi aku ingin fotomu. Aku ingin foto kita berdua."

"Aku juga ingin foto kita berdua juga."

Aku memeluknya erat lalu bersandar di bahunya lagi.

"Apakah kau mengantuk?" bisiknya sambil menggerak-gerakkan jarinya di rambutku.

"Sedikit." Aku menengadah untuk menatap mata hitamnya yang indah. "Terima kasih."

"Sayang, aku sudah bilang padamu, aku senang memanjakanmu."

"Tidak, bukan itu." Aku menggelengkan kapala dan menunduk.

"Walaupun ya, terima kasih juga untuk itu. Aku hanya..."

"Apa?" dia mengangkat daguku sehingga dia bisa memandangku lagi.

"Aku mencintaimu."

Matanya menyala dan dia menarik nafas dalam.

"Aku mencintaimu, sayang."

"Ayo kita tidur."

"Dengan senang hati." Dia mengangkatku dengan mudahnya dan membawaku ke lantai atas.

.

"Ini akan menjadi penerbangan yang lama." Suaraku kuat tapi perutku tidak. Jis menyewa sopir untuk membawa kami ke bandara, dan kami di kursi belakang. Aku mencengkeram lengannya dan menggigit bibir.

"Kita akan baik-baik saja." Dia menarikku ke pangkuannya dan menyusup ke leherku. Kurasa itu untuk mengalihkan kecemasanku, tapi itu tak berhasil.

"Apakah kita akan singgah di The Furnace?" tanyaku.

"Tidak."

"Oh." Aku mengernyit dan menahan nafas saat bibirnya bergesek di titik sensitif di bawah telingaku. "Aku tidak tahu ada penerbangan langsung dari White Water ke Golden Cove."

"Aku tidak tahu ada atau tidak. Temanku meminjamkan kita pesawat jetnya."

"Oh." Sial.

"Put, apakah kau pernah terbang sejak orang tuamu meninggal?" dia mengangkat daguku dan menatap mataku dengan khawatir dan cemas padaku.

Aku memegang pipinya.

"Tidak."

"Sayang, apakah kau tidak apa-apa dengan ini semua?" dia mencium telapak tanganku.

"Aku akan baik-baik saja. Ini seperti membuka plester luka, aku hanya perlu melakukannya.

"Jika membuatmu merasa lebih baik, aku berencana untuk membuatmu sibuk hampir sepanjang penerbangan. Kau tak akan punya waktu untuk takut." Dia menyeringai nakal padaku dan aku terkekeh.

"Aku berjanji..."

Tak lama setelah kami sampai di SeaTac. Sopir memarkir ke dekat pesawat jet pribadi yang besar. Ini lebih besar dari yang pernah diterbangkan Ayahku.

Sopir membuka pintu kami dan mulai memindahkan koper kami ke dalam pesawat. Jis berbicara pada pilot dan co-pilot dan pramugari yang cantik, tapi telingaku tertutup oleh kecemasanku untuk bisa mendengar, atau peduli, apa yang mereka bicarakan.

Kabin di dalam sangat indah. Kursinya ada dua belas. Kursinya besar dan berbahan kulit hitam yang mewah. Jis mengajakku ke dua kursi yang bersisian dan kami duduk.

"Bagaimana kabarmu?"

"Bagaimana rupaku?" bisikku.

"Pucat dan berkaca-kaca."

"Jadi, menakutkan kalau begitu"

"Ya."

"Tepat sekali."

Jis mengaitkan sabuk pengamanku - astaga - dan melingkarkan lengannya padaku.

"Aku bersamamu, Sayang."

"Aku tahu. Aku akan baik-baik saja untuk sementara waktu."

Mata hitamnya yang indah dipenuhi rasa cemas dan aku menarik kepalanya supaya aku bisa menciumnya. Dia menyapukan bibirnya ke bibirku dengan caranya yang membuatku bergetar dan membelai rambutku.

"Kau terlihat cantik hari ini." Aku hanya memakai jins biru dan tank top hijau. Aku memandangnya yang mengenakan kaos hitam dan celana pendek berwarna khaki dan aku menyeringai.

"Kau juga, tampan."

Suara pilot keluar dari pengeras suara dan mengumumkan bahwa kita siap untuk tinggal landas, kita akan berada pada ketinggian berapa, dan berapa lama penerbangan ini akan berlangsung.

Syukurlah, sepertinya ini akan menjadi penerbangan yang lancar.

Aku mendengar mesin mulai menyala dan aku menarik lengan Jis sehingga aku bisa berpegangan di tangannya. Dalam hitungan detik kami berpacu di runway dan naik menjauhi tanah.

Sepertinya aku akan pingsan.

"Tarik nafas, sayang."

Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya.

"Lagi. Tetaplah bersamaku, Sayang, tarik nafas."

Tuhan, aku mencintainya saat ini. Suaranya menenangkanku saat kami bergerak semakin tinggi dan akhirnya stabil, aku mulai tenang.

"Aku baik-baik saja." Bisikku.

"Mau saya ambilkan sesuatu?" pramugari yang tinggi dan berkaki jenjang berdiri di sisi kami. Aku baru menyadari kalau dia sangat menarik. "Saya bisa membawakan sarapan jika anda mau."

Aku menggelengkan kepala. "Air saja, tolong."

"Air putih untuk kami berdua, tolong."

Kami menyesap air putih yang dingin, mata Jis masih memperhatikan wajahku dan sedikit merona.

"Jadi, ini pesawat siapa?" tanyaku.

"Punya Daniel Salim." Dia menyeringai padaku.

Hah.

"Daniel?" Tanyaku.

"Orang yang sama. Dia menyutradarai film yang baru saja rampung dan ikut kuproduseri. Kami bekerjasama beberapa kali. Aku diminta untuk membantu." Dia mengangkat bahu.

"Aku tidak menjadi diriku sendiri saat bersamamu." Aku menggelengkan kepalaku.

"Apa maksudnya itu?"

Kepalaku tersentak kaget akan kemarahannya

"Aku minta maaf..." aku mengernyit melihat di sekeliling kabin pesawat. Ini lebih dari kaya. Ini adalah daftar 100 orang kaya-yang-dapat-membeli-dunia-ketiga dari Forbes.

"Ini bukan milikku. Aku meminjamnya. Aku kira kau akan menyukainya."

"Aku suka, semua ini indah. Kau sangat baik. Kau hanya terkadang membuatku kewalahan, Jis."

"Yeah, well, ini kelihatannya menular karena kau membuatku tak berdaya sepenuhnya." Aku merasa rapuh dan takut dan gembira dan jatuh cinta, dan aku membutuhkan pelukannya.

Jadi aku membuka sabuk pengamanku dan dalam melangkah ke pangkuannya dan mengangkanginya. Dia mengangkat alisnya kaget, dan dia mencengkeram pantatku yang berlekuk. Aku suka dia cukup tinggi bahkan pada posisi bertatapan seperti ini. Aku meraih wajahnya yang halus dengan tanganku dan bersandar dan menciumnya seolah-olah hidupku tergantung padanya.

Aku merasakan tangannya naik dan turun di punggungku dan aku memutarkan pusatku pada miliknya.

"Ya ampun, sayang, kau membuatku gila."

"Hmmm..." aku menggigit sudut bibirnya dan membuka mataku untuk mencari mata hitamnya yang sedang menatapku. "Aku menginginkanmu. Buat aku lupa kita sedang berada dimana."

Dia mengambil alih kontrol ciuman, mencengkeram rambutku supaya wajahku tetap berada di wajahnya, menciumku seperti tak pernah menyentuhku berhari-hari.

Seperti kami tidak pernah bercinta pagi ini.

Tangannya masuk diantara kami membuka sabuk pengaman dan:mengangkatku dengan mudah, tangannya menyangga pantatku dengan kuat. Aku melingkarkan kakiku di pinggangnya dan tanganku mengacak-acak rambutnya, menyandarkan lenganku di bahunya.

"Kita mau kemana?" gumamku.

"Kamar tidur." Kamar tidur? Di pesawat?

"Kenapa tidak di kursi tempat kita duduk tadi?" aku membungkuk menggigit cupung telinganya.

"Aku tak mau memberi pertunjukan pada pramugari."

"Oh." Aku lupa. Inilah yang dia lakukan. Dia membuatku lupa segalanya. Dan itu sangat menggairahkan!

Dia membawaku ke belakang pesawat dan melalui pintu ke dalam kamar kecil dengan tempat tidur tipe double. Dengan seprei linen dan bantal berwarna antara coklat dan hijau yang cantik dan mengundang.

"Seks di pesawat!" aku menegakkan badan didalam pelukannya memegang wajahnya dengan tanganku.

"Aku tak pernah melakukannya seks di pesawat."

Dia menyeringai lebar dan mencium daguku.

"Aku juga."

Aku membelai ringan rambut pirangnya yang lembut dan memandang ke mata biru langitnya dan tak habis pikir apa yang telah kulakukan sehingga aku mendapatkan pria yang tampan ini.

"Kau sangat tampan." Dia mengernyit pada tingkah ku yang tidak biasa, dan hanya berdiri di tengah ruangan dengan tetap menggendong, tidak menurunkanku.

Dia menggelengkan kepala dan menanamkan ciuman ke tulang selangkaku.

"Aku tidak spesial."

"Oh, sayang," Aku mengetatkan pelukanku padanya. "Kau sangat sangat indah, di dalam dan di luar," aku berbisik di telinganya.

"Telanjang, sekarang," dia menggeram dan menurunkanku. Aku tak bisa menahan diri untuk tertawa saat dengan segera kami membuat pakaian jatuh bertebaran di ruangan, kami berdua tak sabar untuk telanjang dan saling menyentuh.

Saat pakaian terakhir terlepas, Jis merengkuhku, menarikku kedalam pelukannya yang penuh gairah, tapi bukannya mendorongku ke ranjang, dia malah memojokkanku ke dinding, menyandarkan tubuhnya yang berat dan pinggangnya kepadaku, ereksinya yang keras menekan pusarku.

Dia meluncurkan tangannya ke lenganku, mengaitkan jarinya ke jariku dan menarik tangan kami keatas kepalaku, memakuku di tempat. Bibirnya yang luar biasa lembut kini di leherku, menyapu naik turun. Dai menahan kedua pergelangan tanganku dengan satu tangan dan tangan yang lain meluncur turun ke lengan dan ke payudaraku untuk memainkan putingku di antara jari-jarinya.

"Ya ampun, Jis."

"Tuhan, kau sangat cantik. Aku suka merasakan payudaramu di tanganku."

Tubuhku melengkung menjauhi dinding dengan tangan tertahan diatas kepalaku, penuh keinginan.

"Hush, sayang." Tangannya pelan menjelajah ke bawah menemukan pantatku menggosoknya lembut, kemudian menamparnya.

Keras.

"Ah!" aku merasakan seringai di leherku aku menggigit bibirku. Bagaimana bisa tamparannya ke pantatku membuatku sangat bergairah? Itu sangat seksi.

"Lagi," aku berbisik.

"Oh, sayang," dia mencium daguku dan sudut bibirku, menggigit sepanjang rahangku. "Kau menginginkan yang kasar?"

"Hanya denganmu." Dan itu benar.

Hanya dia yang bisa menyentuhku sedemikian rupa dan membuat kulitku menginginkannya lagi.

Ini memabukkan.

"Benar." Dia menamparku lagi dan menyentakkan pahaku melingkar di pahanya, tapi dia terlalu tinggi untuk menggesekkan miliknya padaku.

"Angkat aku," aku memohon.

"Oh, akan kulakukan. Sabar, cantik."

Tangannya yang nikmat menyusup ke diriku lagi, di atas pantatku yang panas dan turun di antara lipatanku. Dia menyelipkan jari ke dalam diriku dan menggerakkannya dengan gerakan memutar, mengirimkan sensasi bagai spiral dalam diriku.

"Jis! Kumohon!" Aku berusaha menarik pergelangan tanganku melawan tangannya dan sia-sia. Aku ingin menyentuhnya! Aku menginginkannya di dalam diriku!

"Apa yang kau mau sayang?" dia bertanya sensual sembari mengeksekusi kewanitaanku dengan cara yang paling nikmat.

"Kau. Kumohon." Aku berbisik di lehernya.

"Kau akan mendapatkanku. Sabarlah, cintaku. Aku sedang membuatmu lupa, kau ingat?"

"Aku bahkan tak ingat namaku sendiri sekarang."

Dia tertawa dan menciumku manis.

"Aku akan melepas tanganmu sekarang. Letakkan tanganmu di kepala."

"Apa?" dia tidak masuk akal.

"Letakkan saja di kepalamu."

"Aku ingin menyentuhmu." Aku cemberut dan menggigit bibir bawahku.

"Jangan dulu. Percayalah padaku."

Dia melepaskan tanganku dan aku menurunkannya ke kepalaku, menautkan jari-jariku dan menyandarkan kepalaku ke dinding.

"Bagus. Jangan gerakkan tangamu, sayang."

"Okay," aku berbisik.

Dia melanjutkan menciumi wajah dan leherku, menggigit lembut cuping telingaku dan sisi yang lainnya.

Dan aku tau persis apa yang akan dia lakukan.

"Ya ampun" aku melihatnya berjalan kebawah menciumi payudaraku, menarik putingku ke mulutnya. Nafasku tak teratur dan darahku berdesir mengalir di tubuhku dengan kencang.

Aku tak pernah begitu bergairah dalam dalam hidupku.

"Pelan, sayang, aku mendapatkanmu."

Saat dia berlutut di lantai, dia menyentakkan kaki kananku ke bahunya dan membungkuskan tangannya di sekelilingku, menyanggaku dengan lengan bawahnya dan mencengkeram pantatku dengan tangan besarnya.

"Aku akan jatuh."

"Aku takkan membiarkanmu jatuh." Dia mencium tindik pusarku.

Dan menempatkan tiga ciuman manis di tatoku.

Tanpa berpikir, aku menurunkan tanganku dan meremas rambutnya.Tapi dia menyentakkan kepala dan membelalakkan matanya padaku.

"Di.Atas.Kepalamu."

Oh.

"Aku ingin menyentuhmu."

"Nanti. Ayolah sayang, menurutlah."

"Okay." Tanganku kembali ke kepalaku dan tanpa keraguan, bibirnya membungkus klitorisku dan menghisapnya.

Ya ampun!

"Ya ampun!" pinggulku terdorong ke arah mulutnya dan dia menariknya kembali sedikit untuk bergerak ke arah bibir bawahku dimana dia menciumku dengan sangat intim, memainkan lidahnya keatas kebawah dan sekitarnya, menggodaku. Dia menggigit lembut, dan kemudian membenamkan lidahnya ke dalam diriku sambil menghirup aromaku.

Aku tak bisa mengalihkan pandangan darinya.

Melihat mulutnya di diriku adalah hal yang paling erotis yang pernah kusaksikan.

Tangannya meremas pantatku. Tangan kanannya masih menyanggaku, meluncur mendekati kewanitaanku. Dia memasukkan jari kelingkingnya ke pusat diriku yang basah melenturkannya dan memainkannya selagi mulutnya melanjutkan siksaannya yang nikmat, dia menyelipkan kelingkingnya tepat... disana.

Mata hitamnya yang meleleh memandangi wajahku. Aku begitu dibanjiri oleh sensasi yang membuatku tak berdaya. Jari itu bergerak pelan keluar dan masuk dan rasanya tak bisa dibayangkan. Ini membuatku sedikit merasa nakal dan asusila dan begitu bergairah.

Dia menekan hidungnya ke klitorisku dan semua berakhir. Dia menekan semua tombolku-secara harafiah-dan aku terhanyut, bergidik dan berdenyut-denyut, datang kembali dan datang kembali. Sepertinya aku tak ingin berhenti.

Dia menarik kelingkingnya keluar dariku mencium pubisku, pusarku, dadaku dan akhirnya bibirku. Menahanku ke dinding dengan tubuhnya lagi sebab tanpa dia aku akan jatuh ke lantai.

"Kumohon," aku mengerang, aku bahkan tak bisa mengenali suaraku sendiri.

"Apapun, sayang."

"Masuki aku." Dia memandang mataku dan mulai menggelap.

"Baru saja kulakukan," dia berbisik di mulutku, bibirku menyapu bibirnya kedepan dan ke belakang.

Dia menggenggam tanganku dan menahannya lagi diatas kepalaku.

"Masuki aku di tempat tidur." Aku menciumnya. "Kumohon."

Dia memelukku di dadanya dan berputar menuju ranjang. Jis menyingkirkan selimut dari seprei dan membimbingku berbaring.

"Telungkup, sayang."

Aku berguling telungkup dan ia kemudian menindihku, kejantanannya yang keras menekan pantatku, rambut dadanya menggelitiki punggungku. Dia menciumi setiap jengkal leherku dan turun mengikuti tulang belakangku, memberikan perhatian ekstra pada tato di tengah-tengah punggungku.

"Kenapa tertulis 'Love Deeply'? tanyanya

"Apa?"

"Kenapa tato ini?"

Aku harus mengerjap dan mengumpulkan sel-sel otakku untuk menjawab pertanyaannya.

"Karena itulah yang selalu kuinginkan, untuk mencintai dan dicintai secara mendalam."

Dia menggesek tato itu dengan hidungnya.

"Itulah dirimu, Put."

"Aku tahu."

Dia tersenyum dan melanjutkan perjalanannya menuruni punggungku. Dia mencium pantatku, masing-masing sekali dan menyapukan bibirnya melewati tato di pangkal paha kanan di bawah pantatku.

"Dan yang ini? Mengapa berbunyi 'Happiness Is A journey'?"

"Karena sebuah perjalanan panjang harus kujalani untuk berbahagia kembali."

"Oh, sayang." Dia memisahkan kedua kakiku dengan kakinya dan menjalankan jarinya dari anusku turun ke klitoris, membuatku mengangkat pantatku ke udara menjauhi ranjang.

"Ah, Jis."

Dia mencengkeram pinggulku dan meluncur memasukiku, mengubur dirinya sedalam yang dia bisa.

Itu sangat menyenangkan. Aku merasa terpenuhi dan bahagia dan seksi dan sangat dicintai.

Dia menampar pantat yang diabaikan saat dia menahanku di lantai, dan mulai bergerak masuk dan keluar dariku, membanting ke dalam diriku keras, lagi dan lagi.

Aku mencengkeram seprei di genggaman dan berteriak saat merasakan tarikan otot-otot yang familiar di sekitar miliknya dan kakiku menegang. Dia mencengkeram erat pinggulku hampir terasa sakit, saat dia membanting ke dalam diriku sekali lagi dan memuncak dahsyat, meledakannya di dalam diriku.

Next chapter