28 Si Lelaki Tua

Merasa tidak boleh tinggal diam saja, Kara, Heros, dan Akio berangkat mencari tempat yang baru untuk berlatih. Demi menyamarkan bau keduanya, Kara meramu ramuan untuk menyamarkan bau tubuh mereka. Hal ini dilakukan untuk menghindari intaian Hanzai.

"Heros, ayo beristirahat! Aku tak kuat terbang lagi. Rasanya sayapku akan patah." Kara memasang wajah kusut dan lelah.

Heros tak menjawab, namun siluman itu berhenti. Akio yang berada dalam baju Heros langsung keluar dan duduk bersama mereka.

"Paman benar-benar terlihat kelelahan," ucap Akio dengan kekehannya.

"Hufff … jelas saja. Aku harus mengepak agar bisa menyeimbangi Heros. Aku tak seperti kau yang menumpang saja dalam baju!" Kara berucap sedikit jengkel.

"Ya ini kan supaya bau ku tak begitu tercium jadi agak samar. Hehehe lagi pula aku sudah nyaman dalam bajunya." Akio menatap senang pada Heros. Sedang yang ditunjuknya itu tak menanggapi. Ia hanya membaguskan posisi tubuhnya yang menyandar di pepohonan.

Heros memejamkan mata dan hanya mendengarkan percakapan keduanya. Semilir angin yang lembut dan menyejukkan membuatnya ingin terlelap.

Tapi kemudian Heros mengerutkan keningnya. Ia seperti mendengar suara minta tolong seseorang secara samar-samar.

Heros mengedarkan pandangannya. Sedang Kara dan Akio masih asyik bercakap.

"Hussstt kalian berdua diamlah. Sepertinya aku mendengar sesuatu."

Ucapan Heros langsung membungkam keduanya. Mereka ikut memasang telinga.

Ketiganya mencoba mencari-cari asal suara itu.

"Sepertinya dari utara," ujar Kara.

Ketiganya segera mendekati suara yang membuat mereka penasaran itu.

Seorang lelaki tua terlihat kesakitan. Ia merintih karena sebuah batu besar menindih kakinya.

"Manusia." Akio berucap lirih.

Lelaki tua itu nampak sedikit kaget melihat ketiga makhluk di depannya yang ia kenali sebagai siluman. Namun meski begitu ia tak nampak ketakutan seperti manusia lain pada umumnya.

"Syukurlah ada kalian yang lewat. Aku mohon bantulah aku. Kakiku sudah sangat sakit."

"Heros, angkat batu itu. Kasihan dia." Kara begitu iba.

Lelaki itu merintih kesakitan lagi. Namun Heros masih bergeming. Pria itu tak melakukan apa-apa.

"Heros apa yang kau tunggu? Kau tak lihat dia kesakitan?" Akio menjadi panik.

Heros hanya menatap tajam kemudian menghela napas.

"Aku sekarang ini merasa sangsi dengan manusia. Mereka yang aku tolong bukannya berterima kasih, malah balik ingin menyerang. Kau lupa dengan kejadian di desa yang diserang laba-laba itu? Mereka malah menyerang kita begitu siluman itu sudah diusir pergi."

"Aku tahu Heros, tapi kita tak punya pilihan lain sekarang. Dia kesakitan." Kara mencoba membujuk Heros.

Heros tersenyum smirk. "Kenapa tak punya pilihan? Kita punya pilihan lainnya selain menolongnya … yaitu membiarkannya."

"Heros jangan keterlaluan begitu!" Akio tak suka Heros bersikap demikian. Sesungguhnya ia pun siluman yang dingin dan tak memiliki budi pekerti yang baik. Namun keseringan mendapat nasihat dari Kara membuatnya sedikit ingin berbuat baik.

"Kalau tak mau, biar aku yang bantu."

Akio merubah dirinya ke dalam bentuk yang lebih kuat dan besar.

"Minggirlah … jangan menghalangi jika tak ingin berbuat sesuatu." Akio berkata dengan nada gusar. Kemudian makhluk berbulu itu meletakkan tangannya pada bongkahan batu besar yang menindih kaki sang lelaki tua.

"Akh! Kenapa berat sekali!" Akio mengeluh karena batu itu tak dapat terangkat. "Ini terlihat tak begitu berat, tapi kenapa tak bisa?"

Akio menghela napas. Sekali lagi ia mengerahkan tenaganya.

"AAAARRRGGGHHH!!!!!!" serunya sambil mencoba mengangkat batu itu. namun sayang, batunya tak dapat terangkat juga.

Akio menatap penuh tanda tanya. Ia bingung seketika. Apakah kekuatannya hilang sehingga tak dapat mengangkat benda yang biasanya saja bisa ia hancurkan?

Tak puas hanya menerka-nerka, Akio mendatangi sebuah batu besar yang ukurannya hampir sama. Ia menundukkan badan dan seketika dapat mengangkatnya dengan ringan.

"Hah? Ini tak mungkin! Batu ini seharusnya hampir seberat itu. kenapa itu sepertinya sangat berat. Ada yang aneh dengan batu itu." Akio mengelap peluhnya.

"Kenapa?" Heros bertanya membuatnya makin gusar.

"Jangan hanya bertanya padaku. Kau cobalah mengangkat batu itu. Ada yang aneh dengan batu berat itu."

Heros sebenarnya tak ingin, namun karena penasaran dengan batu itu, ia mengangkatnya.

Pria itu tak mengerahkan auranya banyak-banyak. Dalam benaknya, batu itu pasti tak seberat yang Akio katakan. Tapi entah mengapa ia jadi penasaran.

Dan benar, batu itu terangkat dengan mudah.

"Terimakasih … terimakasih … aku benar-benar berterimakasih pada tuan-tuan semua." Pria itu terlihat begitu gembira.

"Sama-sama, pak tua." Akio membalas ucapannya dengan tersenyum.

"Kakimu terlihat biru dan bengkak. Itu akan membusuk jika tak diobati. Aku akan membuatkan obat." Kara menawarkan diri.

Pak tua itu jadi senang sekali. Penolongnya benar-benar baik hati.

"Heros kau disini. Aku dan Akio akan mencari daun obat. Kita baru saja melewatinya tadi." Kara pun bergegas pergi bersama Akio. Sedang Heros tak punya pilihan lain selain bersama si lelaki tua itu.

"Tuan, sekali lagi terimakasih. Aku tahu anda adalah manusia yang baik."

"Manusia yang baik?" Heros membeo. Ia tak berharap jadi manusia sebagaimana yang dikatakan oleh pak tua itu. Namun apapun alasannya ia juga membenci dirinya yang siluman.

"Aku lihat, anda sedikit berbeda dari teman-teman anda. Anda adalah siluman campuran. Setengahnya manusia, bukan?"

Heros tak mengatakan apapun, namun lelaki tua itu tahu Heros terusik dengan perkataannya. Melihat mata Heros, lelaki itu tersenyum.

"Anda tak suka dengan manusia seperti kami, itu tentu bukan hal yang baik. Tapi sewaktu-waktu anda pasti akan membutuhkan manusia."

"Haha. Kalian yang tak memiliki kekuatan apa-apa, untuk apa aku membutuhkan kalian?"

Pria tua itu tersenyum. "Suatu saat kau akan mengerti tuan. Apalagi didalam tubuhmu terdapat aura rubah api hitam. Anda lolos dari sebuah kematian yang mengerikan."

"Rubah api hitam? Maksudmu aura merah itu?" Heros membelalak penasaran.

"Kau … bagaimana tahu banyak hal tentang diriku?" tanya Heros lagi. Ia menatap pria tua itu lekat-lekat.

"Tentu saja. Bukankah anda mencariku beberapa hari ini?" Pria tua itu tersenyum menampakkan wajah tuanya yang ramah pada Heros yang makin dibuat penasaran.

"Jadi kau Saint itu?"

Pria tua itu menyunggingkan senyumannya lagi sambil mengangguk pelan.

"Apa yang ingin kau tahu dariku?" Saint itu bertanya.

"Semuanya. Tentang Hanzai yang ingin membunuhku. Juga portal Immortal Land yang katanya akan terbuka. Dan lebih penting lagi … aura rubah api hitam itu. Aku ingin mengendalikannya."

"Tenanglah sedikit. Aku akan menjawabnya satu persatu." Saint itu tertawa kecil melihat Heros menghantamnya dengan berbagai pertanyaan.

"Aku akan menjawab pertanyaan yang lebih penting terlebih dahulu," ucap Saint. "Rubah api hitam yang hidup dalam tubuhmu itu kau dapatkan ketika kau melewati kematian."

"Kau pernah melewatinya?" Saint itu kembali mengajukan pertanyaan.

"Ya. Aku pernah memakan daun Shi. Kata Kara jantung dan napasku berhenti hampir sejam lamanya."

"Benar. Semua dimulai dari itu." Saint itu mengangguk.

"Aura itu … aku tak bisa mengendalikannya. Datang dan perginya bahkan aku tak tahu." Heros merasa resah dengan aura yang ia miliki itu.

"Kau sungguh ingin mengendalikannya?"

"Tentu saja!" Heros menautkan alisnya.

"Hanya ada satu cara."

Heros mendekatkan diri mendengar itu.

"Aku menyebutnya portal ilusi. Di dalam sana, ada sebuah cairan yang dapat menyembuhkan segala penyakit dan bagi siluman sepertimu, itu berguna untuk pengendalian aura yang besar seperti rubah api hitam."

"Dimana letak portal itu?" Kedua alis tebal Heros tertaut makin dalam.

"Dalam goa siluman. Sayangnya goa itu dapat berpindah kemana saja secara misterius. Dan satu hal lagi …."

"… untuk bisa membuka portal, hanya siluman yang melakukan 1000 kebaikan dan tak membunuh manusia yang bisa melakukannya."

avataravatar