1 [Skyrius 00] Regret Always Comes Last

Keserakahan ⸻ tak puas akan apa yang telah didapat, mungkin sifat itu telah menjadi salah satu komponen dasar dari manusia. Entah seberapa banyak yang didapat, manusia tidak akan pernah merasa terpuaskan dan selalu ingin lebih dan lebih. Mereka selalu menginginkan sesuatu yang dimiliki orang lain, merasa iri, serta dengki pada orang yang memiliki apa yang tidak dapat dimilikinya. Dengan mengatasnamakan rasa puas sebagai penghambat dan mengagungkan hasrat menguasai serta memiliki sebagai dasar kemajuan.

Berpikir logis dan realistis, bertindak efektif dan efisien. Saat kebanyakan orang melakukan itu, sebuah hasil maksimal memang dapat didapat sesuai kehendak. Tetapi, dalam hal itu pasti ada sebuah komponen yang hilang dalam prosesnya. Sebuah komponen sedehaman yang menjadi tombol berhenti saat berada di depan jurang yang bernama batasan.

Dulu, dulu sekali ... ada seseorang pernah berkata padaku, "Menurutmu kenapa saat seorang bayi yang baru lahir ke dunia mereka mengepalkan kedua tangannya? Asal kau tahu, sebenarnya itu tanda bahwa mereka lahir ke dunia dengan ambisi untuk mengambil banyak hal setelah lahir, itu tanda keserakahan manusia yang ada sejak pertama kali datang ke dunia."

Tentu aku tidak setuju dengan hal itu. Bagaimana mungkin seorang bayi sudah memiliki sifat buruk seperti itu, bagiku ucapannya itu hanya omong kosong belaka, hanya sebuah bualan yang melayang tertiup angin. Tidak berguna.

Tetapi sebelum aku membantah hal tersebut, orang itu kembali berkata padaku, "Berbeda ketika mereka meninggal, kebanyakan orang akan membuka kedua telapak tangan mereka yang kosong, tanda mereka tidak bisa membawa apa pun dari dunia setelah waktu mereka habis ... keserakahan mereka hanya membawa sebuah penyesalan yang teramat dalam."

Perkataan kali ini membuatku tertegun, itu benar apa adanya. Semua yang aku miliki, semua yang aku kumpulan, semua yang aku perjuangkan, segalanya tidak akan membantu apa-apa saat hari yang dijanjikan kepada semua makhluk hidup itu datang.

Sebenarnya bukan berarti aku takut akan kematian, yang kutakuti adalah kehidupan yang membuat sebuah kematian itu terasa menyakitkan. Sebuah kematian penuh penyesalan yang kutakuti.

Jika diumpamakan keserakahan adalah sebuah penyakit selama masih ada nyawa di tubuh ini dan membuat sifat-sifat buruk itu ada, mungkin setelah kematian datang penyakit itu akan hilang seperti debu yang tertiup angin. Perumpamaan itu tidak penting, itu hanya omong kosong saja. Pada kenyataannya, tidak sesederhana itu.

Entah bagaimanapun cara setiap orang melihatnya, hidup adalah sekumpulan pilihan sebelum kita mati, sebuah "Paralel Question" yang tidak ada habisnya sebelum tubuh menyatu dengan tanah. Masalahnya bukan bagaimana cara memulainya, tetapi bagaimana caranya mengakhiri. Awal telah ditentukan saat kita datang, kita hanya diberi pilihan bagaimana caranya pergi dan seperti apa bentuknya nanti.

Bagaimana cara mengakhir perjalanan hidup yang amat panjang ini, itulah yang lebih penting daripada memikirkan bagaimana diriku memulai awal yang baru. Ya, mungkin semua orang berbeda pendapat, tetapi paling tidak itulah yang paling penting bagiku.

Aku sangat ingin sebuah akhir yang benar. Sungguh, sekarang aku tidak ingin hal lainnya lagi. Sudah cukup, semuanya sudah cukup, entah itu harta, kebahagiaan, kesedihan, kesengsaraan, dan segala sesuatu yang memberi arti dalam kehidupan. Aku tidak butuh semua itu lagi. Yang aku harapkan sekarang hanya sebuah ketenangan untuk mengistirahatkan jiwa ini. Sudah terlalu banyak yang diriku rebut di dunia ini dari orang lain. Sudah cukup ternoda hidupku ini dan sudah cukup kebahagiaan yang diriku dapatkan dari mereka.

««»»

Pada sisa hidupnya yang kecil dari sekian luas dunia, dalam diri pria bernama Robert itu sekarang hanya tinggal sebuah penyesalan semata. Pria paruh baya yang dulunya seorang pengusaha berbakat dengan berbagai ide cemerlang tersebut, di penghujung umurnya sekarang hanya bisa berbaring menunggu ajalnya.

Harta, koneksi, kepercayaan dari rekan-rekan kerja, dan nama baiknya tidak berguna lagi semenjak ia terkena penyakit yang menghancurkan kehidupannya itu. Ia begitu menyedihkan, pipinya kempot dan di sekitar matanya bengkak tanda ginjalnya tidak berfungsi dengan baik. Tidak ada hal berguna yang bisa dilakukan pria itu, mungkin yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah berbaring tidak berdaya di atas ranjang rumah sakit lokal, dengan infus dan alat penunjang kehidupan yang terpasang pada tubuhnya.

Sosok yang dulunya berkuasa dengan harta dan jabatannya itu sekarang tidak berdaya di atas ranjangnya. Tanpa ada keluarga yang merawat ataupun menemaninya, pria paruh baya itu terbaring sendirian melawan penyakit Stroke yang menggerogoti tubuhnya.

Sudah tiga tahun Ia berada dalam kondisi tersebut. Ia kehilangan kemampuan untuk berbicara dengan baik, kedua kakinya kehilangan kemampuan untuk berdiri dan benar-benar tidak bisa digerakkan, serta jemari kedua tangannya sudah tidak bisa digunakan untuk menulis bahkan memegang benda pun tidak bisa. Beberapa Ogan dalamnya mulai tidak berfungsi dengan baik dan membuat kondisinya semakin memburuk setiap harinya.

Sekitar setahun yang lalu, seluruh harta dan simpanan yang dimilikinya sudah habis untuk mencoba berbagai pengobatan. Tetapi semua itu hasilnya nihil, semua itu tidak berarti. Harta yang dikumpulkannya hilang tak berarti dalam waktu singkat, dan menjadi benar-benar tidak ada gunanya. Robert bisa berada di rumah sakit ini pun berkat mengandalkan asuransi yang Ia punya, sebuah harapan terakhir untuk menunjang kehidupannya.

Tidak tahan dengan kehidupannya yang sekarang, istrinya, Meliana, dan anaknya, Fiala, tanpa berpikir dua kali memutuskan untuk meninggalkan Robert. Istrinya menggugat cerai dirinya, dan meninggalkan Robert sendirian. Dengan tanpa perasaan, dengan tanpa kasih, dan dengan penuh kekejaman Robert ditinggalkan keluarganya. Seperti layaknya dulu Ia memecat bawahannya yang tidak becus tanpa pikir panjang, Ia dibuang oleh keluarganya layaknya barang rusak.

Kolega dan Kontraktor Proyek yang selalu mendukungnya sekarang hilang entah ke mana. Mereka memang pernah menjenguk dirinya, tetapi itu hanya tahun pertama saat Robert masih terkena Stroke stadium awal, seterusnya mereka menyerah pada kesembuhan Robert dan meninggalkannya.

Sekarang Ia benar-benar sendirian di dunia ini, yang menemaninya mungkin hanya suster yang sering datang ke ruangannya untuk merawat dirinya, Itu pun dengan tatapan enggan dan merendahkan dirinya.

Saat Ia terbaring sendirian di kamar tempat dirinya dirawat, Robert selalu bertanya-tanya untuk apa Ia hidup selama ini. Ia berjuang dari bawah sampai menjadi seseorang yang sukses, tetapi saat terkena penyakit, semua usahanya selama ini menjadi sia-sia dan hilang layaknya sebuah gambar yang dibuat di atas pasir pantai yang dengan mudahnya terhapus oleh ombak.

Yang ada dalam benaknya bukanlah rasa bangga atau senang atas pencapaian yang pernah Ia dapat, tetapi hanya sebuah penyesalan yang teramat dalam dan pedih seakan hatinya dirobek. Ketidakberdayaan yang Robert rasakan sekarang lebih parah dari yang pernah Ia rasakan saat masih kecil, saat dirinya dungu dan tidak berdaya.

"Andai saja aku berbuat kebaikan saat masih memiliki segalanya. Andai aku menolong orang yang membutuhkan ..., Andai aku menjadi orang yang baik."

Semua angan-angan seperti itu selalu terlintas dalam benaknya selama setahun terakhir ini. Itu percuma, Robert tahu akan hal itu. Tetapi dirinya tidak pernah berhenti berharap, semuanya akan baik-baik saja. Seperti dulu dia membalikkan keadaan saat perusahaannya mengalami krisis, pasti kali ini juga akan baik-baik saja, itulah yang Robert harapkan.

Kenyataannya, dalam lubuk hatinya yang paling dalam dirinya tahu kalau semua itu sekarang tidak mungkin bisa dilakukan. Semua waktu yang pernah diberikan padanya digunakan hanya untuk mencari kekayaan semata dan tidak pernah berbuat kebaikan. Kata amal sangat jauh dari pria tersebut.

Sebelum terkena Stroke, Ia tidak pernah memikirkan untuk bersedekah atau beramal, memberi, membantu, ataupun memedulikan orang-orang yang membutuhkan. Satu-satunya kebaikan yang pernah Ia lakukan mungkin hanya untuk keluarganya saja.

"Ah ... betapa berdosanya aku ... hidupku ini dipenuhi kesalahan. Jika bisa memulainya kembali ... aku ingin menjadi orang yang baik .... Menjadi orang yang mau meraih uluran tangan orang-orang yang membutuhkan ...."

Perlahan pria paruh baya itu menutup matanya dengan lemas, dipenuhi ambisi yang masih belum tercapai, dipenuhi rasa penyesalan yang besar Robert menutup matanya.

Piiiit...

Monitor detak jantung menunjukkan garis lurus. Perlahan dan pasti seluruh fungsi organnya berhenti beroperasi. Dan pada saat itu, William Robert, sang mantan pengusaha besar yang pernah berkuasa dengan harta dan jabatannya menghembuskan napas terakhirnya di dunia ini pada umur 41 tahun dengan berbagai penyesalan yang masih ada.

««»»

Aroma tanah yang menyengat, udaranya begitu pengap, dan sunyinya seperti kuburan. Seluruh badan tak bisa bergerak dan hanya bisa terbaring dengan tubuh mengeras kaku memucat, di dalam sebuah peti dingin tertimbun tanah. Semua hal dari dunia sudah tidak ada kaitannya lagi, semua urusan dunia sudah tak akan bisa dijangkau dari tempat itu apalagi menjangkau tempat itu.

Pernahkah kalian terpikir bahwa semua apa yang kalian miliki saat ini akan hilang begitu saja? Akankah datang waktu di mana semuanya yang engkau miliki lenyap seperti tak ada artinya? Semua itu benar-benar terjadi. Seberapa banyak yang engkau kumpulan, semuanya akan dipertanggungjawabkan kelak saat waktunya datang.

Pada akhirnya semua itu hanyalah omong kosong belaka, sebuah kata-kata yang terangkai rapi dan peristiwa yang memenuhi durasi waktu hidupmu, itulah apa yang dikumpulkan selama hidupnya. Seiring berjalannya waktu, rekaman itu akan luput dari dunia dan hilang selamanya.

Harta? Keluarga? Teman? Ikatan? Kenangan? Pengaruh pada masyarakat? Jabatan? Sebenarnya, tidak ada di antara itu yang akan ada di akhir hidup, yang ada hanya kesendirian pada detik-detik terakhir saja.

Dialah orang yang mendirikan segunung penyesalan. Dialah orang yang mewarnai kehidupannya sendiri dengan darah demi melindungi apa yang Ia anggap berharga. Dialah orang yang memberikan banyak cahaya pada dunia tetapi tak pernah mendapatkan pancaran cahaya pada jiwanya. Ya, layaknya sisi lain dari lampu senter, tempatnya selalu gelap.

Waktu baginya adalah uang, orang lain selain keluarga baginya hanyalah sebuah alat, dan seluruh apa yang ada di dunia dianggapnya hanya sekumpulan komponen untuk membangun kejayaannya.

Dia orang tamak sekaligus dermawan, dia seorang penyayang sekaligus orang yang kejam, dia orang yang jujur sekaligus munafik, dia bijaksana sekaligus orang dungu. Kebaikannya layaknya seorang ayah, kasih sayang yang diberikan hanya untuk anak dalam keluarga.

Entah apa pun yang ada pada dirinya, sekarang di penghujung waktunya hanya ada kesepian, kesendirian, dan penyesalan yang amat besar. Sebuah tirai dari kisah penebusan penyesalan dan dosa telah diangkat. Bukan bagaimana caranya untuk memulai, tetapi bagaimana cara yang tepat untuk mengakhirinya.

»»««

Di sebuah tempat luas yang dipenuhi genangan air Robert terbangun, membuka matanya kembali dengan tatapan kosong dan hampa. Sesaat terdiam dengan pikiran kosong. Seakan tubuhnya bergerak sendiri, Ia langsung bangun dan berdiri lesu di tempat yang terlihat sepi. Sejauh mata melihat, di sana tidak ada apa-apa kecuali dirinya dan genangan air yang luas. Langit di tempat itu begitu cerah, suasana begitu senyap dan itu seakan menusuk dadanya dengan sangat dalam. Kesedihan yang tidak Robert ketahui mulai memenuhi dirinya, itu terasa aneh tetapi tidak asing. Rasanya seperti penyesalan.

Robert terlihat kebingungan dengan situasinya. Sambil melihat sekeliling seakan mencari sesuatu untuk memahami situasinya, pria itu berusaha mengingat kenapa dirinya bisa berada di tempat kosong yang hanya terdapat langit cerah dan genangan air jernih itu.

"Apa yang terjadi ...? Kenapa aku berada di tempat ini?"

Saat Ia melihat ke arah genangan air tempatnya berdiri, sentak Robert sangat terkejut karena melihat bayangannya sendiri yang terlihat sangat muda. Di atas genangan air di mana riak air mulai tenang, terpantul sosoknya yang masih berumur 20 tahun dan terlihat sangat sehat. Sorot mata kosong yang terlihat naif dan bodoh, rambut pirang gelap yang urakan, dan ekspresi tenang yang terlihat sok tahu.

"Apa yang terjadi ...? Aku tidak salah lihatkan? Aku ... kenapa terlihat muda lagi? Omong kosong apa ini ....? Efek hologram atau apa ini ...?"

Robert bertanya-tanya, tetapi seketika Ia sadar kalau yang dilihatnya itu benar-benar dirinya setelah menyentuh wajahnya sendiri dan cerminan itu mengikuti. Ia benar-benar terkejut dengan apa yang terjadi. Bukan hanya wajahnya saja yang kembali muda, tetapi tubuhnya juga kembali ke umur kepala dua yang masih sangat sehat dan penuh semangat. Tinggi badan sekitar 180 sentimeter dan berat badan rata-rata normal.

Di saat masih kebingungan, tiba-tiba sebuah cahaya Ilahi yang sangat terang muncul dari arah langit. Ia menyipitkan matanya, kemudian mendongak melihat ke sumber cahaya tersebut.

"Ah ...!?"

Melihat sosok tersebut, seketika tubuhnya gemetar dan mulutnya langsung tertutup rapat. Di atas sana terlihat sosok Sang Dewi, melayang di udara dan dikelilingi oleh para malaikat cantik dengan tatapan mata kosong yang mengawalnya.

Dari kornea mata Robert, tercermin sosok yang begitu indah itu. Bahkan seluruh lukisan bergaya Realisme yang sering dilihatnya di pameran tidak setara dengan sosok tersebut. Rupa Dewi itu terlihat seperti seorang gadis dengan kulit putih pucat dan rambut berwarna pirang panjang sepinggang. Ia berpakaian gaun putih terurai, seperti halnya dewa-dewi dalam mitologi, dan Ia juga mengenakkan sebuah selendang transparan yang melingkar pada tubuhnya.

"Selamat, wahai anak manusia! Engkau telah terpilih menjadi utusanku untuk menjadi pembimbing dunia tempatku mendirikan kejayaan!" ucap sang Dewi dengan suara lantang tetapi terdengar sangat anggun dan indah.

Perlahan ia turun ke bawah sendirian dan memijak di genangan air. Saat ujung kaki kirinya yang telanjang menyentuh genangan, seketika air yang luas itu berubah menjadi sangat jernih dan permukaannya mulai memancarkan cahaya terang.

Melihat hal itu Robert sempat terpaku diam. Tetapi dengan segenap keberanian yang ada, pria itu memaksakan kesadaran yang seakan melayang karena sosok tersebut. "Pembimbing dunia ...?" tanya Robert dengan wajah pucat dan penuh rasa khawatir dengan pikiran negatif yang mulai memenuhi kepalanya.

"Ya ..., engkau telah terpilih ... mendapatkan kesempatan kedua untuk hidup kembali di dunia tempat diriku berada."

Dewi itu melepas selendang transparan berwarna keemasan yang melingkar pada lehernya, dan seketika selendang itu berubah menjadi sebuah bola kristal putih keemasan. Perlahan bola kristal melayang turun ke tangan Dewi, lalu Ia mengulurkan bola itu ke arah Robert seperti dirinya hendak menyerahkannya.

"A-Apa maksudnya ini ...?" Tanya Robert.

"Oh ... begitu ya," ucap Dewi itu sekakan telah mengetahui sesuatu dari Robert. "Engkau baru saja mati, jadi wajar kalau Anda masih bingung, ya? Kalau begitu, akan diriku jelaskan dari awal," lanjutnya.

Dewi itu mengubah kembali bola kristal berwarna putih keemasan itu menjadi selendang, dan mengenakkannya lagi. Ia menatap datar ke arah Robert dan sesaat terdiam, membuat suasana senyap terasa sesaat di antara mereka.

"Sebelum itu ... wahai manusia, engkau harus tahu ... diriku adalah Dewa yang menguasai konsep Kematian dan Kehidupan, Violance. Sebenarnya diriku tak memiliki nama yang bisa diucapkan oleh makhluk fana, tetapi kebanyakan Mortal memanggil diriku seperti itu .... Mungkin ini terdengar mengejutkan ..., tapi sekarang engkau telah mati, apa engkau sudah paham soal hal tersebut? Dan ..., aku yang memberikan sesuatu yang bernama kematian itu padamu."

Mendengar itu, tubuh Robert seakan dibanting ke tanah. Amarah, kesedihan, penyesalan, frustrasi, dan berbagai emosi lainnya bercampur menjadi satu dan membuatnya tidak karuan.

"Ma-Mati?! Aku sudah mati?! A-Aku benar-benar sudah mati ...?" tanya Robert dengan panik. Seketika rasa sedih dan kekecewaan yang dari tadi menyelimuti dirinya berubah menjadi amarah murni yang diarahkan kepada Dewi di depannya. Robert merasa kesal karena dirinya mati sebelum memenuhi seluruh impiannya, serta dalam situasi yang sangat menyedihkan.

"Ya, engkau sudah mati ... sungguh disayangkan. Kehidupan telah engkau jalani itu sangat menyedihkan, bukan? Masa lalu yang kelam, semua jerih payahmu hilang seketika, jatuh sakit yang tak kunjung sembuh, ditinggalkan keluarga, dan parahnya lagi ... engkau belum melakukan kebaikan yang berarti walaupun pernah diberikan berkah dan kekayaan melimpah," ucap Violence dengan nada menekan.

Dewi itu menatap Robert dengan sangat tajam, seketika rasa amarah yang ada pada pria itu berganti menjadi rasa takut yang terasa bagaikan sebuah kegelapan yang tiba-tiba memeluknya. Robert tahu, selama hidup dirinya tidak pernah berbuat kebaikan yang berarti. Tetapi, itu bukan sepenuhnya salahnya, sifat angkuh dan tidak peduli terhadap orang lain didapat Robert karena masa lalunya yang bisa dikatakan jauh dari kata baik ataupun bahagia.

"A-Apa aku akan masuk neraka?" tanya Robert gemetar ketakutan. Ia mengingat kembali kesalahan dan penyesalan yang ada pada dirinya sebelum mati.

"Sayang sekali tidak. Kalau saja kalau engkau adalah jiwa pada umumnya memang biasanya akan melalui tahap penyucian di sebuah tempat yang disebut neraka mengingat dosamu selama hidup, tapi engkau berbeda .... Dirimu adalah jiwa yang memiliki sifat diluar ekspektasi diriku ini .... Engkau tahu, diriku telah mengamati engkau semasa hidup, dan saat itu engkau mematahkan beberapa prediksi dan jalur takdir yang telah dibuat .... Jadi ..., aku putuskan segera membawa jiwamu ke tempat ini untuk segera memulai takdir barumu. Untuk menambahkan komponen yang masih belum lengkap," ucap Violence.

Sekilas sang Dewi sekilas memalingkan pandangnya dari Robert. Dewi penguasa konsep kehidupan dan kematian itu entah mengapa menampakkan sorot mata dan ekspresi wajah yang terlihat sedikit sedih.

"Membawa ... jiwaku ...? Jalan takdir?" Robert merasakan hal tidak enak dari perkataan Dewi itu.

"Ya .... Mungkin ini terdengar tidak masuk akal, tepi asal engkau tahu, sebenarnya yang membuat takdir kejam di akhir hidupmu itu adalah diriku ... akulah yang memberikanmu penyakit yang memperpendek usiamu."

Saat mendengar apa yang dikatakan olehnya, seketika Robert dipenuhi amarah dan langsung menyerang Violence tanpa berpikir panjang.

"Sialan kau!! Jalang!!"

"Menyedihkan ...."

Creet!!

Tanpa bisa menyentuh sehelai pun rambut Violence, seluruh tubuh Robert seketika langsung tertusuk belasan galah hitam yang keluar dari dalam genangan air.

"AAKH!!"

Rasa sakit itu terasa sangat jelas, tetapi anehnya tubuh Robert sama sekali tidak mengeluarkan darah setelah terkena tusukan tersebut.

"Galah Ilahi, senjata yang digunakan untuk menghukum para pendosa di neraka .... Senjata ini hanya memberikan rasa sakit pada tubuh, tapi tidak menimbulkan luka fisik .... Dengan kata lain, ini adalah senjata yang digunakan untuk menyiksa jiwa .... Jika engkau tidak berniat mendengarkanku dan hendak menyerang lagi, diriku akan dengan senang hati menusukmu lagi dan lagi sampai engkau menurut."

Violence menatap tajam ke arah Robert, dan seketika belasan galah yang menusuk tubuh pria itu menghilang menjadi butiran debu. Sambil memasang ekspresi sedih lagi, Dewi itu memalingkan wajah dengan mata berkaca-kaca.

Itu membuat Robert terdiam dengan ekspresi bingung tanpa tahu harus melakukan apa. Pria itu berlutut, memasang ekspresi datar dan tatapan waspada akan sosok Violence dan para malaikat yang masih terbang mengawasi mereka dari atas.

"Dengar, ... walaupun diriku bilang bahwa diriku ini yang memberikan takdir kejam itu pada engkau, tapi kenyataannya semua yang menimpa dirimu itu adalah kesalahan engkau sendiri. Keberadaan ini sebagai seorang Dewi hanya membimbing saja, engkau yang memilih takdirmu sendiri. Engkau juga yang paling sadar akan hal itu, bukan? Setelah mengalami kematian, dirimu pasti menyadarnya, ... takdir bukanlah jalur tunggal, melainkan sebuah jalur kehidupan dengan potensi yang tak terbatas. Penderitaan yang engkau alami adalah salahmu sendiri ..., paham?"

Mendengar hal itu, anehnya Robert tidak memiliki kata-kata yang tepat untuk membantahnya. Dalam hatinya Ia merasa bahwa yang dikatakannya memang sangatlah benar, semuanya yang dialami adalah salahnya sendiri.

"Ya ..., aku tahu. Tapi, kalau ... memperpendek umurku ... itu maksudnya apa?" tanya Robert dengan nada gelap. Ia berdiri dengan kepala tertunduk, dengan raut wajah gelap yang terlihat tidak peduli dengan sekitarnya. Saat ia mengangkat wajah, sorot mata kosong diarahkan ke depan. Violance terdiam mendengar itu, Ia menatap balik Robert dan kembali memasang wajah yang terlihat bersedih.

"Tentu saja supaya lebih cepat membawa engkau datang ke alam kematian ini. Semua itu ... untuk memudahkan diriku mereinkarnasi jiwamu ke dunia lain ...."

"Dunia lain? Berati kamu benar-benar dewa dunia lain ya?" tanya Robert.

"Ya, lebih tepatnya diriku adalah perwujudan dari Konsep Kehidupan dan Kematian semestaku. Karena beberapa alasan, para makhluk di sana menyembahku dan menjadikanku Dewi. Atas perjanjian dengan Sang Maha Kuasa di duniamu, diriku mendapatkan izin untuk membawa satu jiwa saja masuk ke duniaku. Mungkin ini terdengar kejam, tapi dengan kata lain kamu menjadi semacam tumbal untuk menghindari perselisihan antar semesta. Diriku rasa ini juga semacam hukuman bagimu atas seluruh yang telah engkau perbuat semasa masih hidup."

Demi itu menutup wajahnya dengan tangan kanan. Ia tersenyum gelap dan arogan, kemudian tertawa gelap seraya merentangkan kedua tangan dan memperlihatkan sifat aslinya sebagai perwujudan Kehidupan dan Kematian.

"YA!! MANA MUNGKIN PENDOSA SEPERTIMU MENDAPAT AKHIR SEINDAH ITU!! KHAHAHA! Jujur saja diriku hanya ingin menyeretmu ke semesta ini!"

Tawa itu begitu menjijikkan di mata Robert. Kesan suci dan mulia yang ada pada dirinya langsung lenyap. Dalam sorot mata pria itu, sosok Violance lebih mirip seperti Iblis dari pada seorang Dewi. Tatapan kebencian terpancar dari mata Robert, dam membuat tawa itu sejenak terhenti, dan digantikan dengan senyum lebar merendahkan.

"Heh ...!"

"Kau ... mempermainkan hidupku hanya karena alasan itu? Semua kerja kerasku .... Kehidupanku!! Karena kau, semuanya...."

Robert mengangkat kepala dengan mata berkaca-kaca. Bagi pria yang selalu tenang dan bermartabat seperti dirinya, sekarang mungkin adalah saat di mana dirinya begitu rendah, bahkan lebih dari gelandangan di jalanan yang selalu dihinanya dalam hati.

"Menangis? Ternyata orang seperti dirimu juga bisa melakukannya, ya. Tenanglah manusia, diriku melakukan ini demi kebaikan dirimu. Semasa engkau di dunia itu, dirimu selalu dimanfaatkan oleh sekelilingmu! Diriku tidak tega melihatnya, jadi terpaksa diriku putuskan untuk memilihmu dan segera membunuhmu!! Takdir yang engkau miliki seharusnya lebih kejam dari itu. Tidak ada alasan bagimu untuk dendam atau membenciku, wahai manusia yang menyedihkan."

Sekali lagi perkataannya meredakan amarah Robert. Pria itu sadar kalau apa yang dikatakan Violence benar. Semua orang di sekelilingnya dulu memang hanya memanfaatkan dirinya untuk kepentingan mereka, bukti dari itu adalah tidak adanya seorang pun yang berada di sampingnya di saat terakhir hidup Robert.

"Wahai anak manusia, ... asal engkau tahu .... Pada dasarnya perwujudan dari konsep dunia ⸻ dengan kata lain dewa-dewi kayangan itu bukan maha kuasa seperti di semesta dirimu berasal, diriku tidak bisa mengendalikan takdir seseorang secara menyeluruh, yang bisa diriku lakukan adalah membuat faktor pendorong yang menyebabkan takdir seseorang masuk ke dalam rute takdir tertentu," ucap Violence dengan tatapan gelap dan kosong.

Robert tertunduk sambil kembali berpikir. Mengingat semua penyesalan semasa hidup dan kesempatan yang ada saat ini. Menyalahkan sesuatu karena kegagalannya sendiri bukanlah sifat Robert. Sesaat dirinya mengingat semua kenangan berharga semasa hidupnya, dan memikirkan langkah berikutnya untuk sekarang. Anehnya, rasa sesal yang selalu dirasakan menghilang, bahkan amarah yang sebelumnya membara sekarang padam tak tersisa.

"Semua apa yang telah aku alami adalah kesalahanku sendiri dan buah yang harus aku petik, aku akui itu memang kenyataannya. Oleh karena itu Dewi, ... tolong beri aku kesempatan satu kali lagi. Kali ini ... aku berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang sama," ucap Robert dengan tatapan penuh ambisi.

Mendengar itu, Violence, sang Dewi kehidupan dan kematian tersenyum lebar kepadanya. Ia melangkah mendekati Robert dan menatapnya dari dekat. Saat melihat wajah tenang pria itu, Ia mengambil beberapa langkah ke belakang seraya berputar seakan menari bahagia.

"Haha! Kalau begitu, sebagai balasan atas perbuatanku memperpendek umurmu dan hukuman atas perbuatanmu sendiri saat masih hidup, engkau akan diberi kesempatan kedua atas namaku ini," ucap Violance. Dewi ini memantapkan kedua kakinya yang berdiri di genangan air dan menatap tajam ke arah Robert.

"Sebelum direinkarnasikan, engkau akan diberi kesempatan untuk memilih [Berkah] yang akan kamu dapat. Silakan! Kamu ingin apa? Kekuatan maha dahsyat? Bakat yang melimpah? Senjata legendaris? Silakan pilih sesuka hatimu! Atau menjadi Raja? Kebetulan di sana ada kesempatan yang terbuka sangat lebar," lanjutnya dengan kebahagiaan yang tidak Robert pahami.

Mendengar itu Robert tersenyum kecil seraya menatap sang Dewi dengan tatapan tulus dan penuh keikhlasan. Senyuman itu benar-benar membuat Violance bingung. Dewi itu tahu kalau itu bukanlah dibuat-buat, begitu murni dan berasal dari lubuk hati pria itu. Karena itulah yang membuat pria itu diluar ekspektasi.

"Dia ..., tidak, memang dari awal jiwa ini memang ...." Wajah Violance bertambah bahagia dari sebelumnya. Ia mengulurkan kedua tangan ke depan seraya berkata, "Sebutkan permintaanmu, wahai anak manusia!"

"Kalau begitu, tolong berikan aku kesehatan. Biarkan aku selalu dalam kondisi prima supaya aku tidak sakit seperti itu lagi. Dan terakhir, jauhkan segala hal seperti penyakit dari diriku. Aku tidak ingin mati dan ditinggalkan seperti itu lagi .... Melihat semua orang meninggalkanku di saat tidak berdaya, ... itu lebih buruk dari kematian. Itu seperti siksaan sendiri bagiku."

Seketika Violence tercengang mendengar permintaannya. Ia sangat tidak menduga permintaan seperti itu yang akan muncul darinya. Meskipun dulunya pria bernama Robert itu semasa hidupnya rakus akan harta, jabatan, dan kekuasaan, sekarang Ia malah meminta sesuatu yang sangat sederhana seperti kesehatan.

"Engkau ..., sungguh ingin hal semacam itu? Engkau tahu, diriku bahkan bisa memberimu kerajaan atau menjadikan kamu pahlawan. Bukannya menarik? Apa kau yakin hanya meminta itu?" tanya Violence.

"Ya, aku yakin .... Sangat yakin. Menjadi pahlawan atau menjadi raja tidak menjamin aku mendapat ketenangan. Harta dan jabatan hanya menambah kewajiban saja. Kali ini aku ingin menjadi biasa, menjadi orang baik yang sering ditemukan di banyak tempat, saling membantu dalam keterbatasan. Aku ingin menebus semua penyesalan dan dosaku," jawab Robert dengan senyuman.

"Engkau bisa mendapat harta, bakat, dan kemampuan yang bisa kamu gunakan untuk kehidupan barumu! Yakin Engkau hanya memilih itu?" Violence mulai terlihat sangat panik.

"Tidak usah. Aku telah mendapatkan banyak berkah di kehidupan sebelumnya, semua itu hanya menyesatkan. Jadi paling tidak, kali ini aku ingin hidup sederhana ..., aku ingin merasakan kehidupan di mana aku bisa bersyukur untuk apa yang aku dapat."

Mendengar perkataan Robert, sang Dewi memasang wajah terpana. Sekilas dia tersenyum kecil dan memberi tatapan senyap pada Robert. Violence mengubah selendang yang Ia kenakan menjadi bola kristal berwarna putih keemasan, dan melakukan pengaturan ulang atas Berkah yang diinginkan Robert.

"Baiklah, kalau itu kemauan dirimu. Tubuh dengan kesehatan terbaik, ya ... itu mudah sekali. Karena kapasitasnya masih longgar, jadi sekalian diriku beri beberapa Berkah lainnya ... sebagai bonus. Anggap saja ini sebagai hadiah karena membuatku terpesona," ucap Violence sambil mengatur bola kristal.

"Tidak ..., tidak usah berlebihan ... tubuh sehat saja cukup," ucap Robert.

"Tidak usah sungkan. Diriku sedang berbaik hati, jadi terima saja dengan bangga! Engkau berkata seperti itu dengan tulus, dengan melihat jiwamu saja diriku sudah tahu itu. Atas sikapmu itu, diriku beri engkau beberapa Berkah kebanggaanku padamu. Awalnya memang ragu, tapi engkau memang pantas mendapatkan kekuatan ini ...."

Dewi Violence tersenyum manis dan bergumam, "Sudah aku duga, dirimu sangat berbeda .... Mungkin kali ini, semuanya akan berubah."

Robert mendengar hal tersebut, tetapi dirinya tidak menanyakan apa yang dimaksud dari perkataan tersebut. Pada akhirnya, tanpa bisa menolak, Robert menerima Berkah lebih dari apa yang dijanjikan sang Dewi, atau lebih tepatnya terlalu berlebihan.

Dalam garis besar, Robert menerima tiga Berkah Utama untuk bekal di kehidupan barunya yang antara lainnya adalah:

[Berkah Tubuh Terbaik]

Sebuah berkah yang membuat pemiliknya kebal terhadap berbagai jenis penyakit dan kelainan, dan juga membuat tubuh selalu dalam kondisi terbaik serta memiliki kekuatan fisik di atas rata-rata.

[Karisma Penguasa Mutlak]

Sebuah berkah karisma yang sangat kuat. Saking kuatnya, pemilik berkah ini bisa mendapat kepercayaan orang lain dalam waktu yang singkat.

[Perlindungan Dewi Violence]

Berkah khusus yang diberikan Dewi penguasa kematian dan kehidupan.

Setelah mendapat berkah-berkah tersebut, Robert direinkarnasikan ke dunia lain dengan tugas sebagai Utusan di bawah nama Dewi Penguasa Kehidupan dan Kematian.

.

.

.

Sesaat setelah sang Dewi Penguasa konsep Kehidupan dan Kematian mereinkarnasi Robert, sang Dewi itu mulai menari di atas genangan air dangkal. Setiap langkahnya di atas genangan itu membuat air semakin menggelap, dan dalam hitungan detik genangan air di sana mulai menguap habis dan hanya menyisakan lantai putih polos tanpa dekorasi.

Violence terus menari, langkah kaki tanpa alas terus memijak permukaan putih mengikuti melodi yang hanya bisa didengar olehnya. Saat dirinya berhenti dan mulai mengulurkan kedua tangannya ke atas, para malaikat yang terbang di langit sana perlahan mulai menunjukkan sosok aslinya.

Mereka terbakar, wajah tanpa ekspresi para malaikat mulai meleleh bersama seluruh kulit dan dagingnya. Saat semuanya telah selesai, yang ada di langit tempat itu hanyalah sekelompok tengkorak yang melayang di udara.

"Eternal of Reanimation .... Sebuah kebangkitan dari kematian yang mendatangkan perubahan. Kali ini, momen ini, apa yang akan dibawanya ke dunia itu? Apakah engkau akan mengubahnya, seperti halnya apa yang engkau lakukan padaku saat itu ...?"

Violence menurunkan kedua tangannya, lalu kembali berputar dan menari mengikuti alunan melodi yang hanya bisa didengar dirinya. Saat berputar dan senyum manisnya terlihat jelas, tengkorak-tengkorak yang melayang jatuh menjadi seperti taburan kelopak bunga dalam suatu pertunjukan baginya.

"Euphoria ...."

Perlahan pakaiannya terbakar, kulitnya terbakar, dan terakhir seluruh tubuhnya dilahap api ungu gelap. Ketika api itu mulai padam, sosok asli sang Dewi mulai terlihat dalam siluet di balik kobaran api yang terang. Tubuhnya terangkat ke udara, gaun hitam berenda miliknya berkibar dalam api ungu yang menyala. Rambutnya berubah seputih salju dan kulitnya memucat seperti mayat. Saat Ia melayang di udara seraya memasang ekspresi kegembiraan yang seakan tak berdasar, kornea matanya berubah menjadi semerah darah.

Itu adalah wujud nyata Sang Dewi Penguasa Konsep Kematian dan Kehidupan, lambang dari penciptaan dan kehancuran makhluk hidup. Sosok yang menjanjikan kematian kepada semua yang hidup.

"Akhirnya, akhirnya diriku bisa menggapai dan bertatap mata denganmu kembali. Entah apa yang akan dilanggar nantinya, sekarang aku akan⸻"

Kata-katanya hilang tertelan kobaran api yang menyala-nyala, menyelimuti tubuhnya tanpa membakarnya.

avataravatar
Next chapter