37 Sebuah Awal

"No...gak gitu" Jenny mengibaskan tangannya naik turun cepat-cepat "Itu kesalahan gua kayaknya" ia menurunkan nada suaranya.

"Huh? maksudnya?" bersiap mendengarkan cerita Jenny, Tyra menoleh pada Yama yang dengan santai memesan minuman pada waitress yg telah menunggu sejak tadi.

"Itu gak sengaja kejadiannya" Yama sudah selesai memesan dan kembali pada topik pembicaraan tadi. "Gua tu lagi di jalan ke toilet, terus tabrakan ama cewek yang agaknya sudah setengah sadar, gua cuma mau balikin tas dia yang jatuh tapi malah di bawa kemana-mana gua ampe dapat foto gitu sama temannya" panjang penjelasan dari Yama.

"Gua yang salah sih, sorry udah ngerepotin elu" Terdengar tulus permintaan maaf dari Jenny.

"Gua gak masalah kok...Trus elu gimana Tyr?" memutar fokus pembicaraan pada keadaan Tyra, Yama merasa tidak terlalu nyaman dengan membicarakan soal malam di bar itu karena ia tahu bahwa Sima juga berada di sana waktu itu dan terasa tidak tenang dalam hatinya memikirkan jika Sima kelepasan memberi tahu Lika, namun Sima juga belum tahu akan hubungan Yama dan Lika.

"Lumayan membaik dalam beberapa minggu ini... Thanks to you guys, gua janji gua bakal pelan-pelan" raut wajah Tyra terlihat sedikit lega namun juga terlihat sedih.

"Good job sister!" Jenny beranjak memeluk Tyra sebentar lalu kembali ke kursinya. Ia termasuk orang yang melihat kepedihan yang harus di lalui sepupunya ini dan berusaha menyemangati juga.

Yama tersenyum senang melihat vibe positif dari kedua saudara ini.

Mereka bertiga berpisah dari cafe itu sekitar jam 7.13 petang.

*****

keesokan harinya, pukul siang.

Yama menghubungi Lika sejak pagi untuk bergabung bersama dengannya ke turnamen yang masih berlangsung.

Lika awalnya tidak mau namun setelah di bujuk dengan nada memelas oleh Yama akhirnya ia pun setuju untuk ikut, dengan satu syarat.

Ia tidak mau kehadirannya mencolok bagi orang lain ataupun teman-teman basket Yama.

Deal dan sudah waktunya menjemput Lika di rumah.

Berkendara dengan aman ia tiba di depan rumah Lika, dan ternyata Lika pun sudah rapi menunggu di depan rumah, benar-benar tepat waktu.

"Wuih udah siap!" Yama berlari kecil menuju Lika walaupun Lika sendiri sedang berjalan keluar menuju mobil Yama.

"Hi..." Lika menyambut langkah riang Yama dengan pelukan sekejap lalu keduanya masuk ke dalam mobil dan melaju menuju tempat pertandingan.

"Gua beneren ga bikin repot kan?" Tanya Lika khawatir

"Ya enggak lah, gua malah semangat ada elu nonton hari ini" Yama tanpa dusta berkata jujur walau terdengar sedikit klise.

"Yam..."

"Hm?"

"Gua malu"

"Hah! malu kenapa?" Yama memegang tangan Lika erat, kadang Yama tidak bisa menebak apa yang ada di kepala Lika.

"Ha ha ha...Biasalah, gua lagi overthinking aja kayaknya" Lika cepat-cepat mengembalikan moodnya. Menggenggam erat tangan Yama lalu mendaratkan kecupan kecil di bahu terdekat Yama, tanpa Lika sadari ia sudah terbiasa melakukan hal hal kecil seperti ini kepada Yama.

Mendapatkan perlakuan manis dari Lika membuat jantung Yama berdebar kencang. Betapa hebatnya seorang gadis yang menganggap dirinya biasa-biasa saja bisa memberikan ketenangan sekaligus kebahagiaan bagi Yama.

Tak ingin menjadikan momen ini terdengar kekanak-kanakan, Yama menyimpan kata-kata manis yang ingin ia lontarkan karena berpikir itu hanya akan terdengar menggelikan dan membawa genggaman tangan mereka lebih rapat ke dadanya.

Perjalanan sekitar tiga puluh menit mereka tiba di lokasi, menelpon teman satu timnya untuk bertanya di mana area berkumpul.

"Gua bakal ngumpul bareng tim, lu gak apa-apa sendirian?" ia mengelus lembut belakang telapak tangan Lika.

"Gak apa-apa, tar gua cari spot yang biss keliatan sama elu, but hey! main yang bener okay" Melepaskan tangannya dari genggaman lalu menonjok pelan langan Yama.

"Sure!" semangat terlihat di wajah Yama, namun kemudian menghela nafas panjang, Yama menarik pelan Lika kedalam pelukannya " Thank you udah sempatin datang hari ini"

"Hmm...Ha ha ha...gak bisa nafas gua, udah yuk tar lu telat" sedikit mendorong paksa menjauhkan tubuhnya

" See you after the match ya" Sebuah kecupan cepat di ubun-ubun Lika sebelum ia keluar dan mengambil tas olahraga di kursi belakang.

"See you, good luck" Senyuman manis terlihat di wajah Lika, ia juga mengharapkan yang terbaik untuk tim Yama hari ini.

Seperti biasa, setelah beberapa waktu berlalu dengan tetap di dalam mobil. Lika keluar setelah mengecek keadaan di sekitar yang sudah lumayan sepi dari lalu lalang muda mudi yang menyempatkan datang ke pertandingan ini, kerumunan orang sebelumnya sangat banyak dan sekarang sudah berkurang drastis, tampaknya pertandingan yang di nantikan sudah di mulai di dalam gedung olahraga dengan ukuran cukup luas untuk menampung sekitar beberapa ratus penonton.

Walaupun khawatir ia tidak mendapatkan spot tempat duduk yang nyaman untuk menonton Yama, tetap saja ia berusaha mencari setidaknya satu saja ruang kosong di sisi kanan lapangan dan kebetulan tepat di belakang bench pemain terdapat satu kursi kosong.

Lika mendapatkan kursi tersebut dengan nyaman, ia hanya sedikit kikuk karena ini tepat di belakang bench pemain lawan tim Yama pada babak pertama ini dan orang-orang yang berada di sekelilingnya merupakan supporter dari tim lawan juga.

"Gawat...ini kalo gua ketauan teriak nyemangatin tim Yama, bakal di gibahin satu pasukan dah" ucap Lika pada dirinya sendiri.

Berusaha bertahan dengan sikap tenang dan ia pun bertepuk tangan ketika kedua tim memasukkan bola ke ring lawan, entah tom Yama atau tim lawan, Lika hanya harus terlihat seperti penonton netral.

Kembali fokus ke lapangan, Lika yakin bahwa Yama benar-benar membuktikan kata-katanya tadi, tentang bermain dengan baik dan serius. Karena tidak ada satupun momen dimana Lika bisa mendapatkan Yama mencoba mencari dirinya di antara kerumunan penonton, bahkan saat berada di Benchmark sekalipun ia tetap terlihat fokus pada pertandingan.

Bermain baik di putaran pertama, pemain berpindah tempat untuk putaran berikutnya dan saat berjalan bersama timnya, Yama mendapati Lika di antara penonton tepat di belakang bench ini.

Senyuman tipis Yama mengembang, tidak ragu ia melambaikan tangan kepada Lika walaupun tak di balas oleh Lika yang cukup kaget melihat Yama melambai padanya.

"Eh gila woy, gua di lambai sama nomor punggung 13" gadis di samping Lika terlihat kaget dengan arah senyuman dan lambaian tangan Yama tadi. ia kebetulan berada di arah yang sama dengan Lika jadi tidak salah jika ia merasa kalau lambaian tersebut untuk nya.

"Hah? masa? nomor punggung 13 itu kan Yama ya? Keren banget loh mainnya...mana ganteng banget lagi, yakin lu dia ngelambai elu?" sahut gadis di sebelahnya kurang percaya

"Dihhh gak percaya, mana gua tau kalo dia tertarik pas liat wajah cantik gua ha ha ha" gadis tadi berujar lagi

Mendengar jawaban ngawur temannya, gadis satunya lagi menengok ke kiri dan ke kanan seperti mencari sosok mana yang kira-kira di lambai oleh Yama.

Menyadari hal itu, Lika pura-pura sibuk mengetik di handphone lalu memperbaiki letak masker hitam yang ia kenakan.

Selama sisa pertandingan, Lika menonton dengan khidmat dan tenang walau dalam hati ia sangat ingin berteriak memberikan semangat pada Yama, terutama saat Yama di jatuhkan oleh lawan sebelum ia sempat memasukkan bola ke dalam ring.

Lawan mereka kali ini tidak begitu hebat namun permainan mereka sangat tricky. Badan mereka rata-rata 187 cm atau sedikit di bawahnya dan menyulitkan bagi tim Yama untuk melewati pertahanan mereka yang kerap menggunakan kerasnya tubuh mereka menjadi benteng pertahanan.

Banyak suspensi yang di dapat oleh pihak lawan sebab permainan mereka yang banyak mengandung kekerasan di sengaja lalu mereka juga harus menanggung kekalahan lumayan besar dari tim Yama.

Dengan demikian tim Yama dan teman-temannya masih berlanjut lagi ke babak selanjutnya.

Setelah briefing dengan timnya, Yama pamit meninggalkan mereka untuk menyusul Lika yang sudah terlebih dahulu ke mobil.

Lika menyambut Yama penuh senyum di dalam mobil.

Yama duduk di kursi setelah menaruh tas besarnya di belakang, menatap penuh tanya pada lika.

"Kenapa senyum senyum gitu?" tanya Yama.

"Ha ha ha...Keren! tadi keren mainnya... Lutut elu gak apa-apa?" ingat kejadian Yama di jatuhi lawan, Lika mengecek badan Yama dengan matanya.

"Gak kenapa napa kok, tadi sih sakit tapi pas jatoh doang...sisa sakitnya udah gak ingat lagi ha ha" Mengusap-usap lutut dengan bekas luka goresan, ia masih tersenyum senang.

"Lapar?" tanya Lika

"Iya, makan yuk" ajak Yama sambil memilih lagu di smartphone nya yang terhubung dengan perangkat audio mobil.

"Yuk..." santainya mereka mulai terbiasa dengan satu sama lain hingga memutuskan untuk pergi kemanapun sudah tinggal menyesuaikan saja.

Memilih tempat makan tidak terlalu jauh dari tempat pertandingan, mereka berdua memasuki kawasan ruang besar dimana terdapat berbagai macam pilihan makanan, semacam food court dengan pilihan lebih variatif dan juga tersedia indoor space bagi yang menyukai dalam ruangan.

"Mau duduk di dalam atau di luar?" penuh inisiatif, Yama melakukan pengamatan dengan keadaan sekitar dengan cepat.

"Terserah aja, tapi di dalam boleh juga kayaknya, atau di luar juga boleh" Tidak terlalu peduli dengan letak duduk, Lika memeriksa pesan masuk dari mamanya dan di saat bersamaan Yama mengandeng tangan Lika hingga ia pun tampak tidak menyadarinya.

"Ya udah kita di dalam aja kalau gitu" Langkah ringan Yama membawa mereka masuk ke dalam dan duduk bersebelahan tanpa melepaskan pegangan tangannya, Yama melambai pada waitress.

"LOH?! LIKA? YAMA?" setengah berteriak seseorang memanggil nama Lika dan Yama.

Serentak menoleh kearah suara berasal, Lika dan Yama hanya bisa melongo melihat ternyata di meja sebelah kanan dengan jarak satu meja di antara mereka.

Ada Sima dan Rahmad juga beberapa teman kelas lainnya duduk di sana, dari tadi mereka semua mengamati gerak-gerik Yama dan Lika.

"Eh?!" Seketika salah tingkah, Lika kebingungan antara hendak menyapa atau duduk.

Tak seperti Lika yang salah tingkah, Yama malah terlihat senang dan bangga. Ia bangkit lagi dari duduknya dan tetap mengandeng tangan Lika menuju meja teman-teman sekelas mereka.

"Akhirnya aku tidak perlu repot-repot memberitahu mereka bahwa kami berpacaran ha ha ha" ada sebuah kemenangan dalam hati Yama, sejak awal dia memang tidak pernah berniat menyembunyikan hubungan mereka, hanya karena permintaan Lika maka ia pun tidak memaksa untuk publish hubungan mereka ke teman-teman.

"Hai!" sapa Yama dengan santainya ia duduk bergabung dengan teman-teman ini, pelan ia menarik Lika duduk di sebelahnya.

"Yama! Lika! kalian pacaran?!" sambar Sima tak membuang waktu

"Wah, dari tadi udah kita liatin loh...and look at that, pegangan tangan kayak udah di lem gitu ya" Canda Rahmat.

"Udah sejak kapan?" tanya Rio penasaran juga

"Baru beberapa bulan" jawab Yama santai, wajahnya berseri-seri, sangat berbanding terbalik dengan raut wajah Lika yang tegang.

"Lika! Lu kenapa? Jahat banget lu gak pernah cerita ama gua, pantesan dari kemarin lu terima telpon jauh-jauh mulu dari gua" Sima menyenggol lengan Lika, mereka duduk bersampingan.

"Ha ha ha..." hanya tawa canggung keluar dari Lika, dalam canggung dirinya merasakan gejolak dalam dadanya seiring detak jantung memacu cepat, pandangan Lika terasa kabur. Ia melepaskan pegangan tangannya dengan Yama.

Sudah tidak terdengar lagi canda tawa teman-temannya,

"Lika kenapa?" suara Yama sayup-sayup terdengar.

"Gua mau ke toilet..." masih bisa menjawab ia buru-buru berdiri tetapi tangannya di tahan oleh Yama.

"Are you okay?" tangan Lika berkeringat dingin membuat Yama bertanya dan khawatir.

Di balas anggukan kepala, Yama merasa tidak benar membiarkan Lika pergi sendiri.

"Lu kenapa Lika? Hey...baby...are you okay?" Sima ikut khawatir melihat temannya menjadi linglung.

"Gua mau ke toilet" Lika sudah berjalan beberapa langkah

"Gua temanin" sigap berdiri Yama mengikuti dari belakang di sambut sorakan gembira yang lainnya.

Di toilet, Lika muntah beberapa kali di karenakan asam lambung naik tiba-tiba oleh karena rasa cemas berlebihan.

"Mau pulang aja?" saran Yama mengelus belakang Lika.

"No, it's fine... lagipula kita kan emang mau makan di sini, I'm okay" berusaha tenang, Lika dan Yama kembali pada teman-teman yang sudah mendapatkan makanan mereka.

"Lu gak kenapa-napa kan? asam lambung lu kumat ya? sini duduk ama gua" Sadar keadaan temannya itu, Sima dan yang lain mulai tenang dan tidak ada lagi sorakan dari mereka.

"Thanks" Lika memilih duduk sementara Yama pergi memesan di counter, supaya lebih cepat.

Diam-diam melirik pada Lika, teman-teman sekelas mereka yang sekitar enam orang ini merasa senang atas pencapaian Yama dan Lika.

"Kita happy buat kalian..." Rio menepuk pundak Lika "Akhirnya Lika punya gebetan selain oppa-oppa Korea dia"

"Thank you, tapi gak usah pegang-pegang" tangan Rio di singkirkan oleh Yama, baru kembali dari memesan.

"Hahaha... dasar posesif!" sambung yang lain melihat couple baru ini, gemas.

"Tapi gua masih gak percaya loh, kemana aja kalian selama ini?" Jane masih terheran-heran atas hubungan baru ini.

hampir tiga tahun lebih satu kelas, kenapa baru sekarang bertemu dan menyukai satu sama lain. itu pertanyaan besar para muda mudi ini.

Yama dan Lika kompak tidak menjawab pertanyaan mereka mengenai hubungan baru ini. Hanya senyuman terus mengembang di wajah keduanya, sedikit malu juga.

Lelah menggoda keduanya, yang lain kini hanya mencuri pandang kepada keduanya sambil melanjutkan makan, mereka merasa Yama dan Lika sangat imut.

Tak henti-hentinya Sima mengingatkan Yama untuk menjaga Lika dengan baik, jangan coba-coba menyakiti perasaannya karena Sima tahu sifat Lika yang tertutup tentang perasaannya.

Seandainya Sima tahu berbagai kejadian yang telah di lewati Lika sejak dekat dengan Yama, ia pasti akan mengamuk.

"You look so happy" lirik Lika pada Yama yang fokus mengemudi pulang.

"Of course I am! lu gak bisa bayangin bahagia gua...gua lega, lega banget ha ha... sekarang gua bisa kemana-mana bawa elu ha ha ha" bagai memenangkan sebuah pertandingan, Yama tertawa lepas tak peduli sakitnya cubitan Lika di otot perutnya.

"Eh jangan, lagi nyetir gua" pura-pura panik adalah cara Yama melepaskan diri dari cubitan.

Dan cara itu lumayan ampuh menghentikan Lika,

"Asam lambung gua bener-bener bikin masalah dah" ia mengingat kejadian tadi lalu katanya lagi "...tapi gua juga senang, respon mereka juga melegakan" menyenderkan kepala headrest, Lika bernafas lega.

"Ya kan, udah gua bilangin dari kemarin kan, gak usah terlalu di pikirin...malah ribet gak sih kalo sembunyi-sembunyi kayak kemarin?" ujar Yama melirik ke samping sebentar.

" Iya sih, tapi fans-fans elu yang gua khawatir"

"Fans gua? ya ampun Honey...Artis besar juga bukan gua, ngapain kayak gitu di khawatirkan sih?" mengacak rambut lembut Lika, Yama juga mengecup lembut tangan lika yang kini ia pegang.

faktanya Yama memang tidak terlalu peduli pada mereka "fans" nya. ia hanya berlaku baik kepada semua orang sebisanya, bahkan saat ada yang meminta foto bersama.

"Eh gua lupa! mau beli sesuatu di mart itu!" tunjuk Lika seketika tersadar saat mobil mereka memutar di belokan menuju kawasan rumah Lika.

"Eh malah baru ngomong, gua putar balik ya" jawab Yama cepat.

"Gak usah belokannya jauh banget kalo mau muter lagi, gua jalan aja bentar, sini boleh parkir kok" Mengambil tas kecilnya Lika bersiap keluar setelah Yama parkir.

"Gua ikut ya" Yama juga hendak keluar

"Gua aja, beli barang kecil aja kok... silahkan bersabar menunggu ya bapak Yama" canda Lika riang, ia memajukan wajahnya untuk mencium Yama.

Cuph! cuph! cuph!

Tiga kecupan kecil di bibir Yama mampu membuat Yama melting dan berbunga-bunga.

"Be careful honey" serunya pada Lika yang kini sudah berjalan ke zebra cross dengan hati-hati.

Tidak terlalu ramaikan kendaraan lalu lalang di jalan ini.

Perasaan bahagia Yama tidak bisa di ucapkan dengan kata-kata, bisa leluasa menyukai Lika dan melakukan hal kecil tapi menyenangkan sudah sangat membahagiakan buat Yama.

Setelah beberapa menit menunggu, terlihat Lika keluar dari mart, Yama mendapat notice chat di handphonenya.

Sembari menyalakan kembali mesin mobil, ia mengecek chat yang masuk tersebut, nampaknya dari Tim basket tentang jadwal pertandingan berikutnya.

Sibuk mengecek chat, terdengar suara dentuman keras di sertai teriakan-teriakan oleh orang-orang sekitar jalan.

Yama menengadah ke arah kekacauan tersebut melalui kaca spion.

Tiba-tiba jantung Yama seakan berhenti, tidak terlihat sosok Lika yang seharusnya sudah menyebrang jalan, Ia mulai panik.

avataravatar
Next chapter