webnovel

Sebuah kebodohan.

"Lo suka ke pantai kan sama Ardo?" celetuk Karang seraya meneliti penampilan Pelita yang terlihat tak sinkron dan lucu dari ujung kaki sampai kepala, terutama rambutnya yang dicepol, terlihat lebih menggemaskan.

Pelita diam, dari mana Karang tahu hal itu? Matanya menyipit menatap Karang curiga. "Kakak suka ngintip orang pacaran yah?" tuduhnya seraya melipat tangan di dada, ia alihkan pandang pada debur ombak yang masih sibuk berkejaran, masih saja merayu agar sepasang kaki masing-masing sudi menapak hingga tenggelam.

Karang berdecih, dia tersenyum miring. "Ngapain gue ngintipin lo sama mantan lo? Mata gue banyak."

"Jadi Kakak suka mata-matain aku?" Ia memutar bola matanya, ternyata karakter Karang benar-benar menjengkelkan, ia miliki watak penguntit juga rupanya.

"Kalau iya, kenapa? Hak gue dong."

Pelita membuang muka, kini rasa ibanya berubah jadi rasa kesal lagi, rasa kesal yang kerap kali datang setiap berada di dekat Karang. Mau seperti apa Karang itu tetaplah sebuah batu—yang akan selalu keras dan teguh pendirian.

"Malem-malem kenapa pakai celana robek, hm?" protes Karang menatap ripped jeans yang Pelita kenakan.

Seringaian muncul dari wajah cantik itu, ternyata Karang baru sadar jika dirinya memang mengenakan baju yang kurang sedap dipandang mata, hal yang ia tunggu-tunggu akhirnya terjadi. Pelita sedang menerka-nerka apa yang akan Karang lakukan setelah ini?

"Kenapa? Jelek yah?" terka Pelita santai, tak acuh dengan tanggapan Karang.

Tanpa diduga tiba-tiba Karang meraih pinggang gadis itu dan mengangkatnya dengan kedua tangan, menggendong Pelita ala karung beras di bahu kirinya. Membawanya menjauh dari area pantai, dia tak peduli jika gadis itu terus meronta agar diturunkan saja seraya memukuli punggung Karang menggunakan kedua tangannya. "Kakak lepasin aku! Turunin!" pekik Pelita meski sama sekali tak dipedulikan sang kekasih.

"Mending lo pake daster sekalian, kalau ngegoda gue jangan setengah-setengah. Gue suka nggak kuat," celetuk Karang.

Pupil mata Pelita melebar, dia tak lagi memukul laki-laki itu. Maksud ucapannya apa? Apa seseorang bisa horny hanya karena melihat lututnya? Karang itu aneh, selalu begitu.

Kini Karang membuka pintu mobilnya, mendudukan gadis itu di jok penumpang dan memakaikannya seat belt, Pelita hanya diam sambil memikirkan ucapan Karang tadi.

Setelahnya dia mengitari kap mobil dan duduk di balik kemudi sebelum menutup pintu sisi kiri rapat-rapat, lantas diam. Menoleh pada Pelita yang melamun. "Heh!" tegur laki-laki itu.

Pelita menoleh. "Apa?"

"Lo mau pakai apa juga tetep lucu, lo nyamar jadi pemulung juga gue bakal kenalin elo."

"Nyamar jadi Valak tetep kenal nggak?"

"Paling gue bekap sampai pingsan terus masukin kamar."

Pelita memutar bola mata jengah, ada saja jawaban menyebalkan dari laki-laki itu. Pelita mengusap lehernya yang terasa gatal, andai dia tahu saat ini perbuatannya tengah memicu adrenalin seorang Karang yang menatapnya tanpa berkedip, menatap leher putih gadis itu, belum lagi saat Pelita menurunkan resleting jaket hingga tulang selangkanya terlihat jelas.

Karang yang kehilangan kendali mendekat pada gadis itu lalu meraih lehernya hingga wajah mereka begitu dekat, membuat Pelita benar-benar terkesiap. Kedua tangan Karang sudah membingkai wajah Pelita, degup jantung gadisnya terpompa dengan cepat, tubuhnya terasa panas, andai Karang tahu bahwa Pelita mulai merinding sekarang—apalagi Karang kian mendekatkan wajahnya.

Ibu jarinya mengusap pelan bibir Pelita, tatapannya berganti pada bibir dan eboni gadis itu. Pelita sudah menggodanya malam ini dan Pelita harus bertanggung jawab akan hal itu.

"I wanna kiss them," ucap Karang memberi kode.

Pelita menelan saliva, dia tak bisa memberontak, jaraknya sudah begitu dekat, bahkan bibir mereka sudah saling bersentuhan—hanya saja Karang tak melakukan pergerakan lain, dia diam. Dia senang bisa merasakan embusan napas hangat milik gadis itu, dia bisa menukar udara dengan miliknya. Karang tersenyum menatap iris cokelat Pelita, perempuan yang lama ia inginkan—sekarang berada dalam genggaman, jika seseorang sudah menerbangkan layangan dengan baik, maka tugas selajutnya adalah tetap memegang erat tali agar tak terlepas dan menghilang sejauh mungkin.

Pelita memejamkan mata, tak sanggup ditatap seperti itu terus-menerus, untunglah jantungnya masih sanggup berdetak. Tatapan Karang turun ke bawah, tepat pada leher Pelita yang sudah menggodanya.

Wajah Karang meluruh menghampiri leher Pelita, gadis itu membuka matanya. Ia pikir aksi gila Karang sudah berakhir, tak cukup seperti itu. Seperti Vampire yang haus darah Karang langsung menciumi leher Pelita, membuat gadis itu menarik napasnya dalam-dalam. Bahkan bibir Karang menyesap leher gadis itu sambil sesekali menggigitnya, menciptakan sensasi berbeda hingga membuat tubuh Pelita menggelinjang kegelian.

Namun, Karang tak mau berhenti. Dia terus melanjutkannya, Karang begitu menikmati perbuatan gilanya, kedua tangan Pelita meremas sisi jok mobil, dia menggigit bibirnya menahan hisapan Karang.

"Ah ...." Tiba-tiba gadis itu mendesah, Pelita langsung menutup mulutnya. Karang tersenyum mendengar desahan Pelita, jelas gadis itu mulai bernafsu sekarang.

"Udah, Kak. Berhenti ...," ucap Pelita bersusah payah, dia meringis menahan perih pada lehernya, Karang benar-benar menyiksa.

Hingga Pelita mencengkram lengan laki-laki itu barulah Karang berhenti, wajahnya menjauh dari leher Pelita yang kini berwarna merah kehitaman pada bagian tertentu, sikapnya begitu liar malam ini, semua salah Pelita.

Pelita langsung menarik ikat rambut dan membiarkan rambutnya terurai menutupi bekas bibir Karang, dia memalingkan wajah dari laki-laki itu. Karang juga diam setelahnya, dia memilih menghidupkan mesin mobilnya dan melaju keluar dari area pantai.

Kebisuan mereka terus berlanjut hingga tiba di depan rumah Pelita, tanpa berkata apapun Pelita turun begitu saja dan beringsut membuka gerbang rumahnya sendiri. Dia menatap Karang sekilas sesaat setelah menutup pintu gerbang, dilanjutkan melangkah di halaman dan masuk ke dalam rumah, setelah itu sosok Pelita sudah tak terlihat lagi.

Karang masih diam tanpa berniat menyalakan mesin mobilnya, ada perasaan bersalah datang merasuk setelah semua itu terjadi. Seharusnya dia tak melakukan hal gila itu pada Pelita, seharusnya Karang bisa lebih mengontrol dirinya, Karang sadar jika Pelita adalah sesuatu yang lama ia inginkan, tapi setelah mendapatkannya bukan berarti Karang bisa berbuat sesuka hati pada gadis itu, melakukan kebodohan seperti yang baru terjadi.

Kepalan tangan Karang memukul dash board berkali-kali, meluapkan emosinya, sekarang seperti apa perasaan gadis itu?

Tangan lain membuka pintu mobil, ia turun dan menghampiri gerbang yang telah terkunci itu, ada mobil milik Mona yang terparkir di halaman.

Matanya menatap ke setiap jendela, lantai satu dan dua tapi semuanya gelap. Jika esok hari gadis itu tak mau bicara lagi dengannya bagaimana?

Brengsek! Bajingan! Cowok macem apa gue, umpat Karang dalam hati, dia benar-benar menyesal telah melukai miliknya.

Karang menatap jendela di lantai dua dengan lampu yang baru menyala, ada bayangan di jendela, mirip postur tubuh Pelita.

"Maaf," gumam Karang lirih. Dia kembali masuk ke dalam mobilnya dan bergegas pergi dari sana, entah akan seperti apa hari esok, tapi Karang tetap harus menghadapinya.

Next chapter