1 Prolog.

Kaki jenjangnya terus menapak trotoar yang dingin tanpa alas kaki dengan begitu cepat, rambutnya bergerak mengikuti ritme derap kaki yang naik-turun, terlihat siluet gadis itu di bawah lampu temaram jalanan nan sunyi. Mereka banyak, tapi tak saling menyapa, setiap waktu dipenuhi kebisuan, tak sudi berbagi keluh kesah menjadi saksi bisu malam ini.

Pelita tak peduli jika keringat mulai mengucur dari pelipisnya, jika bukan karena taruhan malam ini—tak mungkin pukul satu dini hari dia keluar dari rumahnya dan nekat menerobos gulita yang pekat nan kejam. Suara lolongan anjing seolah siulan merdu yang membuat bulu kuduk Pelita meremang, tapi rasa cemasnya lebih bertahta hingga ia putuskan terus bergerak tanpa peduli bahaya lain yang mungkin mengintai.

Masih jauh, arena balap liar itu masih cukup jauh, mau sampai berapa lama ia membiarkan kakinya diselimuti ruam merah akibat lupa mengenakan alas kaki. Meskipun hanya mengenakan piyama tidur juga ia tak peduli, yang penting untuknya adalah Karang tidak boleh menang, harus Ardo yang menang.

Kadang Pelita merasa miris kenapa harus punya pacar seperti Ardo yang punya sifat over pede tingkat Monas, inginnya ketika Ardo pamer ini dan itu Pelita mengecil jadi kutu saja, dia sama sekali tak suka dengan sifat angkuh laki-laki itu. Meski lama bersama, tapi sulit mengubah sifat yang sudah mendarah daging dalam diri Ardo, Pelita angkat tangan, dia menyerah.

Sesekali Pelita yang tergopoh-gopoh itu berhenti sekadar mengatur napasnya yang terengah, dia takut jika tiba-tiba keblabasan dan semuanya hilang, ah lebay. Gadis itu menyentuh perut sisi kiri yang mulai nyeri, sengkil, dan semua itu gara-gara Ardo! Terkutuk kau Ardo!

Dia putuskan melangkah saja, perutnya terasa begitu sakit. Bersyukur matanya sudah menangkap kumpulan cahaya dari lampu motor bagian depan milik orang-orang, kini kakinya kembali bergerak cepat, rasa nyeri perutnya seolah luntur saat helaan napas lega bisa Pelita loloskan.

Banyak gadis berpakaian seksi seperti rok mini dan tank top di sana, mencetak lekuk tubuh mereka nan indah. Pelita berdecak, sudah jam satu malam masih banyak gadis berkeliaran. Lalu dia sendiri pantas disebut apa?

Semua gara-gara Ardo!

"Ardo!" seru Pelita sesaat setelah mata bulatnya menangkap sosok Ardo bertengger di atas motor merah miliknya, laki-laki terlihat murung.

Ardo menengadah, mendapati kekasihnya malam ini datang. "Pelita? Lo ke sini?"

"Iya gue ke sini sampai kayak kuntilanak lari-larian jam satu malem kayak habis dikejar pocong, sekarang pulang!" Tangan Pelita menarik telinga kanan laki-laki itu.

"Maaf," ucap Ardo dengan suara yang agak serak.

"Udah gue maafin, cepat pulang!"

"Gue kalah," akunya seraya menunduk, ia mulai takut menatap bola mata Pelita, kini benar-benar seperti pecundang setelah gugur di medan pertempuran.

"Ya udah emang kenapa kalau kalah, bagus malah lo nggak bisa pamer sekarang," cibir Pelita seraya menyeringai.

"Kita putus." Lontaran kata yang agak gila itu meluncur tanpa penghalang, mulus seperti air terjun.

Pupil mata Pelita melebar, ada rasa tak percaya menghampirinya. "Putus? Lo putusin gue karena kalah balapan?"

Ragu, tapi Ardo memberanikan diri menatap wajah Pelita. "Iya, gue kalah taruhan dari Karang."

"Taruhan apa, hm?"

"Taruhin pacar masing-masing."

Detik berikutnya Pelita memelotot bersamaan rasa tak percaya yang semakin membesar. Apa yang sedang terjadi benar-benar konyol dan sulit dipahami saat ia susah payah keluar dari rumah tanpa izin pada sang ibu di pagi buta hanya karena seorang Ardo, lalu kini kilatan petir seolah menyambar di sekitarnya, seakan hanya Pelita yang bisa mendengar kekacauan di langit yang sebatas imaji semata.

"Sabar, Ta, sabar." Ardo menarik napasnya, bersiap untuk melontrakan dialog selanjutnya. "Jadi gini, gue kira itu taruhan duit sepuluh juta makanya gue ikut. Pas gue udah sampai sini malah Karang bilang taruhin pacar, gue mau nolak tapi gimana yah, Ta. Gue udah telanjur ke sini, kalau mundur malu dong." Nada bicara Ardo terdengar santai seolah semua yang diucapkannya adalah perkara mudah, harusnya Pelita sudah menenggelamkan Ardo di bak mandi sejak lama, atau memberikan santet agar laki-laki itu menuruti keinginan Pelita. Nyatanya, sekarang nasi telah menjadi bubur, harapan yang Pelita impikan harus terkubur saat Ardo telah gugur.

Kedua tangan Pelita terangkat seraya mengepal, giginya gemretak di depan Ardo. "Lo itu ngeselin banget yah, gue itu cewek! Bukan barang yang bisa lo persembahin buat kemenangan seseorang."

Plak!

Satu tamparan mendarat mulus di wajah Ardo, jika laki-laki itu sanggup ber-orasi dengan mudahnya, maka Pelita sanggup eksekusi sesuai keinginannya. Deal, kan?

"Sakit, Ta." Ardo meringis usapi wajah yang terasa panas, ia tatap Pelita yang pamerkan raut merah padam, tak bisa disanggah kalo gadis itu pasti sangat marah dan kecewa, siapa yang akan terima jika dianggap seperti barang—lalu dipertaruhkan?

Pelita menghela napas guna meluruhkan kadar kekesalan, ia meraup wajah sebelum luruhkan tangan hingga menyentuh lutut dan berakhir terduduk lemas di dekat motor Ardo. Ia merasa masalah besar menggelayut manja di bahu, menertawai Pelita seolah itu lucu.

"Lo itu pacar paling laknat, Ardo!" Pelita menarik lutut hingga menekuk, ia menenggelamkan kepalanya di sana, kepala terasa begitu sakit kala pening tiba-tiba menghunjam tanpa permisi.

"Pelita." Ardo putuskan turun dari motor, ia berlutut di depan gadis itu. "Gue minta maaf, ini emang kesalahan besar, tapi gue bisa apa, Ta? Semua udah—"

"Mending lo diam!" sergah Pelita bersamaan kepalanya yang terangkat, ia edarkan pandang memperhatikan banyaknya orang di sana hingga bola mata itu terkunci pada sosok yang bertengger di jok motornya, seorang gadis kenakan dress abu-abu yang dipadukan cardigan warna senada berdiri di sebelah laki-laki tadi seraya merangkul bahu, ia terus berbicara meski kekasihnya justru membalas tatapan Pelita.

Buru-buru Pelita alihkan pandang dan beranjak, ia takkan sanggup jika menghadapi Karang lebih lama—terutama ditatap tanpa kedip seperti itu, seumur-umur baru kali ini Pelita rasakan hidupnya terancam seolah berdiri di bibir sumur yang cukup dalam, sedangkan di belakangnya adalah jurang, ia tak punya jalan untuk pergi ke mana-mana. Pelaku utama atas bencana yang menimpa Pelita adalah Ardo! Bolehkah sekarang Pelita memanggil ibu peri dan membuat permintaan agar Ardo dikutuk jadi monyet saja?

"Ayo anter gue pulang," perintah Pelita saat Ardo tak kunjung berdiri, "nggak pakai lama, Ar!"

"Tapi—"

Pelita mendelik tajam, malam ini dia sudah mengaktifkan mode cerewetnya, tapi Ardo masih saja sok polos dan enggan mengalah meski salah.

"Antar gue pulang! Cepetan!" Gadis itu buru-buru duduk di belakang Ardo saat bola matanya kembali menangkap tatapan katatonik Karang yang menghunusnya tanpa ampun, meski buksn sosok hantu, tapi berhasil membuat Pelita merinding ketakutan.

Pelita hanya tahu kalau Karang adalah spesies batu.

avataravatar
Next chapter