webnovel

Miss, Ardo.

Pelita begitu terburu-buru menyelesaikan tugas mata kuliahnya untuk dikumpulkan pagi ini, semua orang di kelas juga melakukan hal sama. Namun, sesuatu mengusik urusan belajarnya, ponsel dalam saku celana terus saja bergetar, sekadar memberi tanda notifikasi chat masuk, hanya saja si pemilik masih sibuk bergulat dengan jawaban di kepala.

Nyatanya, semua tak berhenti begitu saja. Notifikasi lainnya berdatangan, seperti meminta balasan pasti. Gadis itu berdecak sebelum merogoh saku celananya, sesekali ia melirik dosen yang terlihat sibuk dengan sebuah buku tebal di permukaan meja. Ada beberapa chat masuk, dua di antaranya dari nomor Ardo dan Karang.

Jemari Pelita ingin menyentuh keypad sekadar membalas pesan Ardo, tapi akal sehatnya membuat ibu jari itu berhenti, ia tak mungkin ingkar janji terhadap ucapannya kemarin malam, apalagi Karang sampai mengancam.

Satu chat lagi masuk dari nomor Karang.

Manusia batu :

Istirahat gue tunggu di area belakang kampus.

Pelita berdecak, Karang selalunya memaksa. Ia masukan lagi ponsel ke saku celana, lanjutkan tugas yang belum selesai, lanjutkan lagi menggila dengan segudang soal serta jawaban di kepala. Chat dari Karang ternyata membuat semua semakin runyam.

Dua puluh menit lekas berlalu, beberapa orang sudah tinggalkan kelas setelah menyerahkan lembar jawaban pada Pak Roger. Pelita sendiri masih menyisakan satu soal lagi, beberapa kali ia menggaruk kepala—bahkan menggigit ujung kuku saat kebingungan melanda, Pelita masih dilema dengan jawaban di kepalanya.

"Ta, psst—" Sebuah tepukan pelan mendarat di bahu Pelita, pelakunya adalah Anggi, gadis itu duduk di belakang Pelita. Jika Anggi sudah sampai ke tahap menggoyang-goyangkan kursi Pelita, sudah jelas ia pusing dengan jawaban soal pagi ini.

Kesal, Pelita menoleh. "Apaan, Nggi? Gue lagi mikir, satu lagi nih," ketus Pelita.

"Tiga nomor lagi dong, Ta, gue juga mau ketemuan nih sama Angga."

"Oh iya, kembaran yang lo jadiin pacar itu yah." Pelita terkekeh pelan mendengar ejekannya sendiri.

"Sialan lo, nama pacar gue emang Angga. Kebetulan, eh jodoh kali yah," ujar Anggi berbangga diri.

"Terserah, nomor berapa?"

"Tiga nomor terakhir, Ta."

Pelita mengecek kertas tugasnya, dia kembali menoleh.

"A sama D, yang terakhir lagi gue pikirin." Ia kembali memusingkan jawaban terakhir, bola matanya sesekali memperhatikan Pak Roger yang masih setia dengan buku tebalnya.

Lima menit berpikir lebih matang untuk jawaban terakhir akhirnya berlalu, Pelita sudah selesaikan semua soal. Ia beranjak seraya gendong ranselnya, membawa kertas jawaban pada Pak Roger yang kini alihkan pandang dari buku tebal.

"Sudah?" tanya Pak Roger seraya menatap Pelita.

"Udah, Pak." Pelita berikan lembar jawabannya, ia pun beringsut keluar kelas tanpa memedulikan Anggi yang justru tak sadar kalau temannya baru saja keluar dari kelas, ia terlalu sibuk memikirkan jawaban.

Pelita merogoh ponsel seraya melangkah pelan di koridor utama, ia buka lagi roomchat dan hapus semua pesan dari Ardo, jika ketahuan Karang tetap saja berbahaya, bukan? Sekalipun Pelita tak lagi membalasnya, ia hanya ingin setiap hal yang terjadi selanjutnya berjalan baik-baik saja. Ia langsung ingat pada perintah Karang tadi, mereka perlu bertemu di area belakang kampus setelah kelas Pelita berakhir. Segera Pelita mempercepat langkah hampiri tempat tujuannya, ternyata benar jika hubungan backstreet bisa serumit itu, ia terpaksa kucing-kucingan dari semua orang agar mereka tak tahu, layaknya maling.

Begitu sampai di tempat yang dituju Pelita memelankan langkahnya, dia sudah melihat Karang tengah duduk seorang diri pada sebuah kursi besi panjang bercat putih yang sengaja disediakan oleh kampus di tempat itu, meskipun jarang ada mahasiswa yang datang ke sana, hanya segelintir—salah satunya Pelita dan Karang karena memang terpaksa.

Pelita langsung berdeham usai ia berdiri tepat di belakang Karang.

"Sini duduk," perintah Karang tanpa menoleh.

Gadis itu mengikuti perintahnya, duduk di sebelah Karang dengan jarak dua jengkal, membuat si laki-laki mengernyit heran.

"Kok jauhan? Lagi marah?" tanya Karang.

Pelita menoleh. "Enggak." Dia menyelipkan anak rambutnya.

"Kalau gitu deketan sini."

Pelita mengumpat dalam hati, ia alihkan pandang saat ekspresi kesalnya tercipta. Kini jarak mereka telah terpangkas, gerakan tangan yang tak terbaca membuat sesuatu kembali merengkuh bahu Pelita.

"Jangan ditepis!" pintanya sebelum Pelita sempat melakukan, ternyata dia sudah paham situasi.

Pelita mendengkus, dia sudah lebih dulu ditegur sebelum akan memulainya. Gadis itu mencoba terbiasa meski sulit, Karang masih terasa asing untuknya. Mereka sama-sama diam seraya menatap kolam ikan di depannya. Saat Karang mulai sibuk dengan urusan ponsel, Pelita justru semakin diam manakala pikirannya terbang jauh pada masa lalu.

Biasanya jika kelas usai Pelita akan pergi dengan Ardo, sekadar nonton atau menikmati suasana kota Jakarta di dermaga pantai berdua, datang ke Mall untuk melompat di atas trampolin seperti anak kecil. Pelita mulai merindukan masa-masa itu lagi, terkadang Ardo memang childish, tapi bagian itulah yang membuat Pelita nyaman bersamanya, awal putus dia tak merasakan sakit tapi lambat laun semuanya gugur juga. Sejatinya tak ada yang baik tentang sebuah perpisahan, mungkin hal itu datang menjadi bagian akhir, sedikit menyiksa sebelum benar-benar lupa.

Pelita mengulas senyumnya ketika mengingat salah satu kenangan mereka, kenangan saat pertama kali jadian. Mereka pertama kali bertemu saat awal masuk kuliah, tepat ketika masa OSPEK sedang dilangsungkan. Siang yang terik itu tiba-tiba seorang laki-laki menghampiri Pelita, ia tengah duduk seorang diri di sisi lapangan seraya meneguk isi air mineralnya hingga habis, pemandangan di depan mata justru jauh lebih ramai, beberapa kelompok melingkar bersama seorang senior OSPEK yang duduk di tengah lingkaran.

"Nama lo Pelita, kan?" tanya Ardo yang tiba-tiba berdiri di depan Pelita, ia buru-buru berjongkok ketika gadis itu menatapnya.

Pelita meletakan botol kosong di sisi kiri, ia tatap uluran tangan Ardo, meski ragu—tapi tetap membalasnya. "Iya, lo siapa?"

"Gue Ardo, diinget ya namanya Ardo." Balasan Pelita hanya seulas ukiran tipis di wajah, ia canggung menghadapi orang asing itu.

"Eh, iya gue dapat hukuman dari senior," ucap Ardo.

"Terus?"

"Disuruh nembak cewek, ya gue milih dong."

"Terus?"

"Gue mau nembak lo sekarang, mau nggak?"

"Hah?" Pelita melongo, mereka bahkan baru berkenalan beberapa detik yang lalu, tapi Ardo langsung melesatkan panah asmaranya. Hal konyol macam apa itu? Pelita merasa ia tak memimipikan apa pun semalam.

Ardo mengeluarkan sebungkus permen karet dari saku celanannya. "Ini, katanya suruh kasih ini ke elo kalau lo terima gue. Kalau enggak gue bisa—"

"Bisa apa?"

"Bisa disuruh ngepel kamar mandi selama seminggu, lo mau ya terima gue. Urusan putusnya nanti aja, oke?"

Pelita terdiam, dia menatap manusia ajaib di depannya sekilas. Lumayan, Ardo cukup tampan. Namun, Pelita bahkan belum mengenalnya.

"Mau ya, Pelita. Demi kemanusiaan, daripada gue dihukum loncat dari Monas lebih parah lagi. Mau ya?" Ardo terus mendesaknya.

Akhirnya Pelita memilih anggukan, meski sebenarnya dia juga tak mengerti kenapa mau menerima Ardo yang belum jelas kehidupannya itu.

"Benar lo terima gue?" tanya Ardo memastikan.

"Iya."

"Mantep, selfie dulu buat jadi bukti ke senior, oke?"

"Boleh."

Ardo duduk di sebelah Pelita seraya membuka ponselnya, memilih kamera depan untuk selfie mereka. Pelita memaksa senyum semanis mungkin bersama laki-laki aneh itu.

Ckrek!

"Makasih, Pelita. Gue mau ke senior dulu, eh lupa ini permennya jangan lupa dimakan."

Pelita meraih benda itu saat Ardo beringsut pergi. Pertemuan pertama mereka menjadi salah satu kenangan lucu bersama Ardo, dia aneh tapi manis, kadang suka menyombongkan diri sebagai laki-laki paling tampan satu kampus. Kekanakan, tapi menyenangkan.

Next chapter