14 Bab 14. Kegigihan Anna (2)

Padahal sudah sangat jelas, bahwa wanita yang ada di depannya saat ini sangat membutuhkan uang. Menolak cek itu, jika bukan aneh lalu apa?

Mendengar ancaman pria itu, Anna terdiam tak tahu harus berkata apa lagi sebab yang diucapkannya adalah benar.

Ia mengambil barang-barang milik pria itu tanpa sepengetahuan empunya

"Kalau begitu, aku simpan di sini. Jika berubah pikiran kamu bisa mengambilnya tanpa harus memberitahuku," ucap Devan ketika tak mendapat respon dari Anna, ia kemudian meletakkan cek itu di atas nakas tepat di sebelah Anna.

"Terserah," ucap gadis itu.

"Hhhmm.. Kamu istirahat di sini dulu. Aku mau keluar," ujar Devan berbalik melangkah mendekati pintu.

"Kemana?"

"Aku ada acara sebentar lagi," balas Devan tanpa menoleh.

"Dimana?"

"Hotel Ruffles," jawab Devan.

"Aku ikut," ujar Anna berhasil membuat langkah Devan terhenti.

"Kamu mau ikut ke acara ulang tahun temanku?" tanya Devan dengan salah satu alis terangkat.

Anna diam sejenak kemudian mengangguk, sebenarnya ini bukan niatnya. Entah hanya kebetulan saja atau memang karena keberuntungannya.

Hotel Ruffles berada tidak jauh dari tempat Anna bekerja. Jika ia ikut bersama pria itu, siapa tahu saja kondisinya mulai membaik jika istirahat di mobil saat perjalanan ke sana. Dengan begitu Anna bisa segera langsung masuk kerja tanpa mengeluarkan ongkos sepeserpun untuk ke tempat itu. Lumayan untuk menghemat pengeluarannya. Dengan pemikiran seperti itu, Anna berani bertaruh pada dirinya sendiri. Jika tidak, maka ia akan kehilangan semua pekerjaannya dan kemudian mati. Entah karena mati kelaparan atau karena mati di tangan para debt collector.

Anna tidak ingin mati konyol seperti itu.

"Dengan keadaanmu seperti ini? Jangan bercanda Anna," ujar Devan menghembuskan napas kasar.

"Aku baik-baik saja. Lagipula tidak ada yang mengetahui kondisi tubuhku selain diriku sendiri."

"Tapi, kamu mungkin saja tidak akan betah di sana," ucap Devan lagi.

"Jangan mengkhawatirkanku," balas Anna.

"Baiklah jika kamu memaksa, bersiaplah," ujar Devan lagi.

"Aku sudah siap," balas gadis itu lagi sesekali melirik jam di atas nakas.

Devan terpaku di tempat mendengar ucapan gadis itu. Sedetik kemudian senyum smirk terbit di bibirnya.

Pria itu segera mendekati Anna dan mengangkat tubuh gadis itu, membawanya ke dalam gendongannya.

"Apa yang kamu lakukan? Aku bisa jalan sendiri," ucap Anna berusaha berontak.

"Dan terjatuh lagi?"

"Aku tidak mau masuk penjara hanya karena kamu mati di rumahku," tambah Devan lagi.

Mendadak Anna menjadi tenang dan diam mendengar ucapan pria itu.

Devan tersenyum samar merasakan tidak ada lagi penolakan dari Anna yang berada di gendongannya.

"Tunggu di sini sebentar," ucapnya meletakkan tubuh Anna di sofa lantai bawah dengan sangat hati-hati, kemudian berlari kecil menaiki tangga, menuju sebuah ruangan yang ada di lantai dua.

Hanya sekitar tiga puluh menit dan Devan kembali keluar dengan setelan dan style yang baru. Sebuah tote bag hitam menggantung pada tangan kirinya.

Anna yang menunggu pria itu di sofa sudah sangat gelisah. Hari sudah gelap dan pikirannya tidak pernah lepas dari pekerjaannya.

"Ayo," ujar Devan kembali menggendong tubuh gadis itu menuju ferrarry hitamnya.

Padahal Devan bisa saja membawa Anna keluar dari kamar setelah bersiap, namun entah apa yang ada di benak pria itu sehingga membuat dirinya kerepotan seperti itu.

"Kita berangkat sekarang?" tanya Anna bersandar pada kursi mobil.

"Emm."

"Sudah jam berapa?" tanya gadis itu lagi.

"Pukul 07.00," jawab pria itu setelah melirik ke jam rolex di pergelangan tangannya sembari memutar kemudi.

Mendengar hal itu, Anna menghela napas kasar. Sisa satu jam lagi dan ia harus kembali bekerja.

Memejamkan matanya sejenak dan sebisa mungkin ia mencoba merilekskan tubuhnya.

***

Tiba-tiba tubuhnya terangkat, Anna terperanjat dan segera melihat siapa pelakunya.

Devan kembali menggendongnya tanpa aba-aba.

Berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya, Anna mengejap-ngerjapkan mata. Ternyata ia ketiduran selama perjalan tadi.

Devan membawanya memasuki sebuah gedung bernuansa merah muda, mendudukan Anna pada salah satu deretan kursi yang berada tepat di depan cermin yang begitu lebar.

"Rubah dia dan kenakan gaun ini padanya," ucap Devan datar sembari menyerahkan tote bag hitam pada seorang wanita yang berdiri di belakang Anna.

Gaun itu sebenarnya Devan peruntukkan bagi wanita yang akan ia pilih secara acak untuk menemaninya ke pesta. Namun, mendengar Anna menawarkan dirinya, jadilah gaun tersebut untuk gadis itu.

Sementara di sisi lain, ketika Anna melihat sekelilingnya, kening gadis itu berkerut samar. Bukannya mereka akan ke hotel? Mengapa ke salon?

"Apa yang kita lakukan di sini?" tanya Anna menoleh ke arah Devan, bahkan ia melihat sebuah kain panjang melilit pinggangnya terus menjuntai ke bawah, menutupi pahanya yang sebelumnya terekspose sebab pakaian yang ia kenakan hanya kemeja pria itu yang sedikit kebesaran di tubuhnya.

"Aku tidak mungkin membawamu ke sana dengan penampilanmu yang seperti ini."

Anna terpaku di tempat mendengar penuturan pria pria.

'Siapa juga yang ingin ke sana? Aku ingin bekerja,' batin Anna.

"Sekarang jam berapa?" tanya gadis itu kemudian.

Kening Devan berkerut, ini adalah yang ketiga kalinya Anna menanyakan hal yang sama dalam durasi waktu hanya tiga puluh menit.

"Mengapa terus menanyakan hal itu?"

"Sudah, duduk saja dan diam di sana."

"Tolong urus dia," ucap Devan lagi kepada wanita yang nampaknya adalah seorang beautician di salon itu.

Devan kemudian melangkah menuju ruang tunggu, mencari tempat yang pas untuknya bersantai di ruangan itu sembari terus memainkan ponselnya.

Sementara di sisi lain, Anna yang ditinggal sendiri oleh pria itu menekuk wajahnya.

Ia kemudian berbalik menoleh ke arah wanita yang memakai seragam merah muda di belakangnya.

"Maaf. Kalau boleh tau, sekarang sudah jam berapa ya?" tanya Anna.

"Setengah delapan, Nona."

Oh tidak, waktunya hanya tersisa tiga puluh menit lagi.

"Sekarang, ini dimana?" tanya Anna panik.

Sedang wanita itu dibuat kebingungan dengan pertanyaan Anna yang menurutnya sangat tidak jelas.

"Baiklah. Aku akan memulainya," ucap wanita itu perlahan melepas kain yang menutupi paha Anna.

"Tidak, jangan," tolak Anna langsung berdiri dari posisinya.

Pening yang dirasakannya sebelumnya sudah berkurang, dan hanya terasa sesekali menyerang kepalanya.

Tentu saja beautician itu terperanjat mendengar suara Anna yang meninggi.

"Dimana pintu belakangnya?" tanya Anna memindai seluruh ruangan.

"Tapi, suami Nona tadi memi....."

"Dia bukan suamiku! cepat katakan dimana pintu belakang. Toloonnnggg," bentak Anna di sertai rengekan dengan muka memelas.

Wanita itu menghela napas kasar. "Baiklah, di sebelah sana. Masuk keruangan itu, belok kiri dan pintu belakang ada di sana," ucap wanita itu menujuk ke arah yang dimaksud.

"Baiklah, terima kasih," ucap Anna segera berlalu meninggalkan wanita itu yang kebingungan.

Dengan langkah cepat, Anna menuju pintu yang dimaksud wanita pekerja salon itu, tanpa memperdulikan keberadaan Devan yang mungkin saja sedang menunggunya.

Tidak ada yang lebih penting selain pekerjaannya saat ini.

Mendekati pintu belakang, langkah gadis itu semakin cepat.

Menyentuh gagang pintu dan kemudian membukanya. Namun sekuat apapun Anna mencoba, pintunya tidak bergerak sedikitpun.

TERKUNCI

Helaan napas kasar lolos dari bibirnya. Ia harus kembali ke wanita itu untuk meminta kuncinya lagi.

Segera gadis itu berbalik.

"Butuh ini?" ucap sosok yang saat ini sedang berdiri tepat di hadapan Anna, salah satu tangan pria itu memegang kunci sembari digerak-gerakkan di depan wajah gadis itu.

Dia adalah Devan.

____________________

Note:

Beautician merupakan profesi yang berkaitan erat dengan layanan kecantikan mulai dari perawatan rambut, kuku, makeup hingga kulit. Ilmu yang mempelajari perawatan kecantikan sering disebut juga dengan kosmetologi.

avataravatar
Next chapter