1 1. TIGA PEMBURU MUDA

Ketiga pemuda itu berlutut di balik batu berukuran sedang yang tertutupi semak belukar. Damar, pemuda yang termuda di antara mereka berusia lima belas tahun. Alis mata hitam bertengger di atas pupilnya yang juga berwarna hitam, rambutnya coklat tipis bergerak-gerak tertiup angin.

Hans yang paling tua berusia dua puluh, rambutnya hitam berminyak seperti jerami basah, hampir menyembunyikan kedua matanya yang biru. Kumis dan janggut tumbuh memberikan kesan dewasa. Ia mengawasi di sela-sela celah ranting semak. Will yang berusia tujuh belas, berwajah lebih sigap dan tirus, sorot matanya seperti elang.

Mereka adalah sahabat berburu Damar semenjak mereka tinggal pinggir di Desa Vardelle. Orang-orang pusat desa kerap kali menyebut para pemburu sebagai orang dekil. Para pemburu terkesan akrab dengan bau darah dan pencabut nyawa, selain itu mereka jarang mandi. Tetapi mereka punya sumbangsi yang besar terhadap perayaan festival tahunan di pusat Desa.

Biasanya setiap satu tahun sekali di akhir musim dingin, para pedagang nomaden dari selatan Farland akan singgah di Vardelle. Mereka mengunakan perjalanan panjangnya untuk berpesa di desa terujung di utara. Sebetulnya mereka tidak berniat berdagang di Vardelle karena mereka tahu selera penduduk Vardelle sangat rendah.

Mereka tidak mempunyai emas yang banyak, hidup terlalu sederhana, dan jauh dari jangkauan pengaruh Kerajaan Meriandor ataupun Kerajaan Gallard. Namun satu hal yang pasti adalah, mereka senang dengan para pendatang yang membawa cerita-cerita menakjubkan tentang negeri di selatan. Kisah-kisah tentang buah manis yang selalu berbuah, sungai-sungai yang hangat. Terkadang mereka menganggap kisah penyerbuan Wildster (para mahluk buas kuno penghuni asli Benua Farland), Perang merah, kisah si raja peri bijak Eldrin Thoridan sebagai dongeng.

Tepatnya besok sore, Vardelle akan merayakan pesta yang sangat besar. Kembang api di buat, para pemburu berlomba-lomba mencari rusa segar untuk dijual dan diolah sebagai sajian pesta, para kedai meliburkan diri, menyumbangkan anggur-anggur terbaik, walaupun rasanya sangat jauh dari anggur di Selatan.

Hari ini Damar, Will dan Hans sangat bersemangat untuk berburu. Tujuan mereka hanya satu, mendapatkan rusa gemuk yang sedang sial. Tentu rusa yang gemuk dan segar akan terjual sangat mahal untuk keperluan pesta. Setidaknya cukup untuk kebutuhan mereka selama seminggu kedepan.

Will, menggenggam busur kayu, mencoba membidik sesuatu yang bergerak.

Mereka bertiga berpakaian lusuh, di pinggangnya masing-masing menggantung belati kecil bergagang tulang. Belati kecil mereka sangat tajam untuk menebas semak, rumput dan jenis tumbuhan penghalang lainnya selama perburuan dilakukan.

Langit kala itu membiru dengan kapas awan melayang di badan perbukitan sekitarnya. Salju kecil seperti kristal menutupi lumut-lumut dan aroma angin dingin segar bertiup menyentuh pipi mereka, sebentar lagi seharusnya musim semi.

Damar berlutut di belakang Will, menjaga dirinya tidak tertinggal saat dua sahabatnya bergerak gesit. Langkah kaki mereka bergerak sangat cepat, berpindah dari satu petak ke petak lainnya. Mengamati kemungkinan apapun terhadap buruan yang muncul kapan saja.

"Jejak ini baru," kata Will, jarinya menyentuh rerunputan yang terinjak. "Masih basah."

"Kau benar sekali, dan apapun hewan yang menginjak itu ada di depan kita sekarang," kata Hans menunjuk, ia tersenyum lebar.

Siluet nampak dari kejauhan, namun menjadi semakin jelas saat cahaya yang tertutup awan mulai menembus tajuk hutan. Berdiri seekor rusa jantan berwarna kecoklatan, bertubuh sedang namun kekar. Tanjuk tajamnya mencuat mengakar, melebihi batas punggungnya. Ia tersembunyi diantara pepohohonan yang berdiri kokoh.

Rusa itu nampak tenang dan memakan rerumputan yang tersembunyi di balik salju. Lahapnya rusa itu adalah tanda bahwa ia tidak menyadari kehadiran si pemburu muda dari kejauhan. Damar nampak terpesona, Pertanyaan muncul dalam benak kecilnya. Bagaimana seekor rusa jantan nan gagah, berdiri jauh di hadapannya, selamat dari hewan buas manapun di hutan tanpa satupun bekas luka di tubuhnya.

Hans mengawasi dan melangkah pelan, "Katakan apabila saat ini adalah jarak termudah untukmu membidik rusa itu."

"Aku bisa, cahaya membatu memperjelas bentuk tubuhnya, yang kubutuhkan hanya sepuluh detik," jawab Will percaya diri.

Will bersiaga, diambilnya anak panah yang tergantung di punggungnya, terikat dengan tali rotan yang mengelilingi bahu sampai ke pinggul. Nafasnya memberat, dan jarinya menegang. Ditariknya anak panah tajam itu sampai siku kurusnya menggetar.

"Tunggu!" kata Damar tiba-tiba.

Suara itu bagai lecutan, Will kaget dan melepas anak panah itu tanpa disadari. Anak panah melesat melewati pepohonan willow seperti peluru dan meleset beberapa senti dari perut si rusa. Anak panah itu menancap bata batang pohon dengan suara debuman keras. Rusa itu melompat dan hilang dalam semak yang rimbum.

"Kau sadar apa yang kau perbuat?" kata Hans, suaranya nyaring.

"Ka..Kalian tidak mendengarnya?" Cetus Damar.

"Oh ya! Aku mendengar, dan sangat jelas sekali," Hans menjawab dengan nada mencibir. "Aku mendengar suara rusa itu sekarat. Tapi, mana rusa itu? Ah sudah hilang!"

"Bukan, Hans, sungguh, suara itu bergema," Damar melanjutkan, wajahnya masih kebingungan.

"Ayolah, tidak ada suara apapun selain suara yang membuat Will gagal membidik rusa itu," kata Hans tidak sabar. "Benar kan Will? Memangnya ada suara apa sih?"

Sejenak suara Hans mengambang di udara, membuat Will diam dan berpikir, ia tau siapa yang harus dibela saat ini. Ia kemudian memasukan anak panahnya kembali ke sarung di punggung dan berkata, "salahku tidak mengenainya tepat sasaran, hans."

Will lalu menatap Damar penasaran.

"Memang suara apa yang kau dengar?"

Damar merenung, sambil mengingat, "samar-samar, dia berkata, menetas dan berwana perak! Mungkin kira-kira itu."

Hans menahan tawa, "kau bahkan tidak meminum anggur sama sekali, tapi kuakui leluconmu sungguh mengesalkan."

Sejenak Damar ingin berdebat, ia dapat memastikan pendengarannya tidak salah, sesuatu seperti berbicara dan bergema dalam kepalanya. Sewaktu dia sadar bahwa Will pun tidak mendengar apapun, ia menyerah dan meminta maaf.

"Besok perayaan tahunan dimulai. Kurasa kau sudah cukup pintar untuk mengetahui kawanan rusa, semakin sulit mungkin terlihat lagi di Vardelle. Pemburu semakin rakus. Mereka lebih banyak mati daripada beranak. Aku tidak ingin pulang dengan buruan kosong, sekarang sudah hampir sore hari dan kita harus mendapatkan kembali apa yang hampir kita dapatkan," kata Hans menatap Damar dan memicingkan matanya.

"Rusa itu mengarah ke dalam hutan Vardelle, memaksa kehendak kita untuk mengejar rusa itu bukanlah hal yang tepat. Bahkan, pemburu Vardelle tidak pernah berani membangun kemah di hutan pedalaman. Kau pasti tau tentang kisah-kisah, Wildster bisa menyergap kapan saja." Kata Will.

"Itu hanya kisah dongeng, mereka sudah lama punah, raja-raja Gallard sudah membersihkan wilayah timur pada jaman dahulu. Ayolah, aku sudah membicarakannya dengan kalian, aku keturunan Gallardian. Kisah itu sudah menjadi makananku sehari-hari sewaktu aku kecil."

Will, mulai berjalan, "Tapi tidak dengan kisah bagaimana kau bisa memilih tinggal di Vardelle."

"Aku tidak berminat menceritakan itu."

"Aku tahu ini salahku, dan aku siap mencari kembali rusa atau hewan apapun, untuk mebayar kesalahanku," kata Damar.

"Benar, kau sudah menjadi laki-laki sejati!"

"Pendapatmu bisa benar, tetapi berbeda apabila kita mencoba masuk ke Vardelle lebih dalam," potong Will.

"Apapun itu, aku masih tidak menerima, ini pertama kalinya buruan kita lepas hanya karena seseorang yang berteriak di saat hewan itu hampir terbunuh," lanjut Hans. Ia kemudian melangkah ke arah hilangnya rusa itu. Mengawasi hutan yang semakin dalam di depannya. Hans kemudian menengok ke belakang memandang Damar dan Will dengan wajah sewot dan berkata, "kita belum bisa pulang sampai mendapatkan minimal seekor rusa!"

"Apa sih yang kalian takutkan? Wildster tidak ada!" Cetusnya. "Ayolah, besok perayaan besar, jangan lupakan itu. Vardelle akan meriah besok!"

Will dan Damar saling bertatapan, berusaha mencerna keadaan dengan kepala dingin. Will mengangkat kedua bahunya pasrah. Raut bersalah tersirat jelas di wajah Damar, Namun dia merasa apa yang dikatakan Hans masih ada benarnya. Mereka membutuhkan daging untuk perayaan besok.

Mereka bertiga kemudian melanjutkan langkahnya, menelusuri eloknya pepohonan pinus dalam Vardelle yang semakin rapat dan dingin. Berusaha sejenak melupakan apa yang telah terjadi dan mengadu nasib barunya sebelum cahaya matahari mulai hilang di hari itu.

avataravatar
Next chapter