5 Chapter 5

"apa wajahmu masih sakit?"

Aluna menatap kesal setelah tau Bastian yang menghentikan langkahnya.

"Eughh lepaskan ..!!!" Mencoba menarik tangan di cengkraman kuatnya.

"Hey, tunggu dulu. Ayo kita ke rumah sakit obati lebam di pipimu"

"Gak usah sok-sokan perhatian kak, uuughh lepasin!"

"Ayolah, aku sangat bersalah jika tak mengobatimu. Atau aku panggilkan ambulans saja?"

Di pikirannya untuk apa sampai memanggil ambulans segala, apa mungkin itu alibi untuk menyakitinya lagi, ia semakin takut pada pria yang masih mencengkeram erat lengannya.

Atau mungkin itu adalah ejekan halus pada dirinya yang masih kekanak-kanakan.

"Eugh..!" Aluna berhasil menarik lepas tangan di cengkramannya, sedikit linu di pergelangan karena cengkraman itu sangat kuat.

Berlalu meninggalkan Bastian di tengah jalanan sekolah.

Ah baru kali ini ia di acuhkan oleh seorang wanita, tak terima dengan sikap acuh Aluna ia kembali mengejar. Namun orang yang di kejarnya malah mempercepat jalannya lalu berlari.

Saking paniknya ia berlari sambil sesekali menoleh Bastian di belakang yang mengejarnya.

Tiba-tiba ada tiang listrik yang sudah berdiri di depan hidungnya. Aluna tak bisa mengelakan tubuh kesamping untuk menghindar.

"Hey awas !!" Teriak Bastian

"Brakkk"

Wajahnya menabrak sang tiang listrik yang tak terduga ada di depan matanya.

Lagi-lagi ia kena apes, dahinya benjol tepat di tengahnya. Hidung mancung mulus mengkilap mengucurkan darah dari lubangnya.

"peuuh??" Bastian sedikit terkekeh geli melihat kekonyolan si wanita yang terlalu ceroboh. mulutnya tak tahan ingin sekali mengeluarkan gelak tawa di waktu yang tak tepat ini. untunglah Bastian berhasil menyembunyikan gelak tawanya.

"Eeuugghhh!!! Cukup!!" sang wanita dengan raut wajahnya yang sudak tak karuan, mulai emosi ia mengangkat telunjuk pada Bastian yang khawatir atas insiden yang kembali terjadi. Tangan kiri menyeka darah segar rembesan hidungnya.

"Jangan ikuti aku lagi, aku mohon kak, sudah cukup sial aku hari ini tolong jangan tambah lagi."

Rasa bersalah Bastian bertambah parah, ia tak tahu apa yang harus di perbuat nya sekarang. Aluna telah menyalahkan semua yang di deritanya. meski kejadian barusan adalah kesalahannya sendiri.

"Oh tidak, aku hanya ingin menebus semua kesalahanku."

"Baiklah bila kakak ingin menebusnya, diamlah di sana biarkan aku pergi sendiri "

Bastian hanya terpaku di tempatnya, menyaksikan Aluna berlalu memegangi hidung malangnya.

..

Sebuah motor "jantan" terparkir di depan pagar dinaiki oleh Nathan.

"Tiyyd tiyydd" memberi isyarat lokasi tempat ia berada.

Aluna berlari kecil menghampiri, di kangkangkan kaki menaiki kendaraan milik kakaknya.

Tangan merangkul tubuh dari belakang, di sandarkan dada hangatnya ke permukaan punggung kekar.

Menghela nafas panjang, membuang sekelumit permasalahan yang terjadi pada tadi.

"Ngeng ngeng wuoorr" di gas kencang motor itu meninggalkan tempat penderitaan yang barusan ia lalui.

..

"Dug dug dug, dug dug dug"

Pukulan bertubi-tubi di lancarkan Bastian.

"Duugg..duugg" begitu kedengarannya mengenai samsak tinju.

Pukulan kerasnya kembali di lesakkan. Semakin kesal hatinya semakin keras pula pukulannya.

"Siapa wanita itu?, Bahkan aku tak tau namanya, dan tak penting juga aku tahu namanya. berani sekali ia mengacuhkanku.atau Apakah aku yang terlalu merendahkan diri padanya? Hah, dasar wanita tak tau diri. Aku sudah mempertaruhkan kehormatanku di depan banyak orang, tapi ia malah begitu. Awas kau, sebentar lagi kau akan tau siapa aku sebenarnya. Euuggghh.." pungkasnya pada diri sendiri sembari memukul mundur samsak di depannya.

Sikap kasar dan keras hati selalu mendampingi hidupnya.

Sifat sombong, angkuh tak mau kalah dari siapa pun menjadi ciri khas yang selalu ia terapkan di setiap tingkah laku. Itulah Bastian.

Anak pemilik sekolah swasta sederhana yang menjadi tempat belajarnya.

Ada sebuah kisah yang melatarbelakangi ibunya menyekolahkan ia di sana. Bastian pernah mencicipi pendidikan di sekolah bertaraf internasional, maklum ia adalah anak pengusaha tajir melintir.

Namun sikap kasar dan egoisnya selalu menyertai.

Setelah sering kali membuat kegaduhan-kegaduhan lagi dan lagi, sering bertengkar, membully teman-temannya bahkan sampai menyiksa sampai harus di rawat intensif di rumah sakit. Pihak sekolah tak sanggup lagi untuk mempertahankan dirinya demi nama baik.

Berbekal catatan-catatan buruk yang ia miliki, tak ada lagi sekolah yang mau menerima dirinya sebagai murid.

Tak mau kehabisan akal orang tuanya sampai mengakui sisi sebuah sekolah swasta demi kelangsungan pendidikan sang anak.

Lanjut,

Aluna telungkup di atas ranjang berkain merah muda.

Mengenakan Kaos putih longgar panjang sampai menutupi setengah paha putihnya. Lebam di wajahnya masih terlihat namun ia tutupi rambutnya. Permukaan hidung di tutupi hansaplast.

Asyik bercengkrama dan sesekali cekikikan di temani boneka beruang kesayangan.

"Ayah aku sudah punya beberapa teman baru, mereka sangat baik sekali. Bahkan ada sampai mentraktirku. Orangnya lumayan tampan sih,, hihi"

Sedikit menoleh pintu kamar yang sedikit terbuka, berharap tak ada orang yang melihat tingkah konyolnya ini. Padahal orang -orang di rumahnya sudah tahu akan kebiasaan anehnya ini. Ia melanjutkan percakapan dengan si boneka.

Tanpa ia sadari Nathan sudah pulang ke rumah, mendengar pembicaraan "mereka".

"Ayah, tau gak? Pipi aku masih sakit." Memamerkan lebamnya pada si boneka, tangan boneka berbulu lembut itu ia gerakkan untuk mengusap lebamnya itu.

"Ssstt aw.. masih sakit ayah.!!, Aluna sangat benci orang itu, tapi Aluna juga takut kakak tau akan hal ini."

Deg.

Omongan yang keluar dari mulut adiknya terasa menyayat hati.

Sorot mata Nathan menajam mengira-ngira siapa orang yang berani menyakiti adik perempuan tersayangnya. ia akan menguliti orang itu hidup-hidup.

Perlahan Nathan menjauh dari ambang pintu kamar Aluna, berjalan ke arah kamarnya menaiki tangga.

..

Seperti pagi-pagi sebelumnya sang ibu berangkat kurang dari jam enam pagi takut terjebak macet.

Aluna masih belum beranjak dari tempat tidur masih asyik berselimut hangat tebal di atas kasur empuk, tetapi nafasnya agak cepat keringat di dahinya keluar sebesar biji jagung.

"Aluna, cepat bangun atau kau akan kesiangan !?" Panggil Nathan.

"Aluna.... Hadeuh apa yang terjadi, woy Aluna." Ia penasaran adiknya tak kunjung datang juga.

Padahal Kamarnya paling strategis dekat ke dapur dan ke ruang tengah masa panggilan Nathan dari dapur tak terdengarnya.

Pasti ada yang gak beres.

Bergegas menuju ke kamar Aluna,

Klek

Gagang pintu setelah memutar, pintu terbuka. Nathan mendapati adiknya tengah menggigil di balik balutan selimut. Benjolan di dahinya membiru begitu juga lebam di pipinya membengkak agak parah.

Ia tak kuasa menatap kondisi sang adik, menunduk berusaha memalingkan wajahnya yang tak kuasa meneteskan air mata.

Di gendong tubuh dewasa Aluna di pangkuan kakaknya.

Panik, amat sangatlah panik. apa yang telah di lakukan orang itu hingga membuat sang adik harus di rawat. Dan kini telah dalam perjalanan ke rumah sakit.

Nathan menelpon ibu memberi tahu kondisi Aluna yang kini di rawat.

"Ngeet ngeeeet ngeett" getar telpon di atas meja kerja tanpa suara hanya getaran saja.

Melihat ke layar ponsel yang bergetar bercahaya, nama "kakak" muncul di layar ponsel.

"Tumben si kakak nelpon"

"Iya kak, ada apa?"

"Mah, Aluna demam tinggi sekarang kita ada di rumah sakit "

"Ya tuhan, kenapa sama adik kamu nak?, Baiklah Mama segera kesana"

Raut putih cantik mirip sang bungsu versi dewasa kini memerah, tegang mengkhawatirkan kondisi anak perempuannya.

.

.

.

.

Cilincing 24-06-2022 02:28 am

avataravatar
Next chapter