2 Chapter 2

Sang ayah melihat seorang anak kecil laki-laki seumuran putri kecilnya.

Anak tersebut tengah berlari menjauhi seorang perempuan yang mengejarnya dari belakang .

Seolah tak menghiraukan apa pun yang ada di depannya anak itu tengah dekat ke jalanan lalu lalang mobil.

Dilihatnya sebuah mobil hitam yang melaju kencang dari depan, sedang

Jalanan begitu licin karena hujan semakin deras membuat pandangan si pengendara agak kabur. Sialnya anak itu sudah berada persis di jalur yang akan di lewati mobil hitam itu.

Sang ayah pun buru-buru membuka pintu toko, berlari sekencang -kencangnya menuju si anak yang tengah berada dalam bahaya. Mobil yang melaju kencang itu sudah sekitar satu meter lagi dari si anak, ia pun melompat ke arahnya membuat si anak terdorong terhempaskan ke pinggir jalan , sedangkan si sopir terlambat menginjak rem.

"Derr..." Mobil itu menabrak sang ayah. Menghempaskan tubuhnya ke tengah jalanan, mengucurkan darah segar dari kepala sang ayah yang malang.

..

Di saat yang bersamaan, di tengah hujan deras di temani angin kencang bergemuruh terdengar suara petir menyambar membelah langit yang pekat.

"Duar" sang ibu terperanjat dari kantuknya, dilihatnya sang putri kecilnya yang telah ia baringkan di kamar bersama kakaknya yang terlelap.

Firasat buruk kembali menghantui. Entah kenapa bayangan suaminya tiba-tiba mengganggu pikirannya begitu saja. Rasa khawatir, cemas dan takut terjadi apa-apa terhadap suaminya bercampur menjedi kemelut yang berkobar membakar hatinya.

"Sayangku kau sedang apa sebenarnya?"

...

Sang anak kecil yang ia selamatkan menghampiri dirinya lalu duduk termenung memandangi orang yang menyelamatkan nyawanya tersebut, ia berucap dengan berulang kali menyebutkan nama putri kecilnya.

"Aluna Aluna Aluna"

Anak itu mendekatkan telinganya di depan mulutnya untuk memperjelas apa yang di ucapkannya.

"Aluna Aluna Aluna"

Sampai pada nafas terakhirnya.

Nama itu kontan tersirat melekat jauh di dalam sanubarinya akan terus tertanam di benaknya sampai ia dewasa kelak. Darah berceceran di atas aspal, sesaat ia memperhatikan boneka beruang kecil bersimbah darah di pelukan korban tabrakan maut itu. Bonekanya masih terbungkus rapi dengan sepucuk pesan bertuliskan.

"Untuk putri kecil kesayangan ayah, Aluna love (tanda hati) ayah."

Orang-orang tengah ramai berkumpul mengerubungi jasad korban, para polisi dan tim medis sudah tiba disana pula. Police line telah terpasang di sekitar TKP membatasi para kerumunan orang-orang di sana. Identitas dan nomor penting keluarga korban telah didapatkan mereka.

Seorang ketua tim penyelamat langsung menelpon nomor yang di dapatkannya.

..

"Krining krining krining"

Di tengah larutnya malam itu, kegundahan yang menyelimuti sang  istri terpecahkan oleh panggilan telpon dari ruang tamu.

Ia beranjak dari buaian terhadap anak-anaknya.

Rambut panjangnya yang menghalangi telinga di usapkannya lalu di selipkan di belakang telinga putihnya.

Agak ragu ia untuk menempelkan telpon di telinga.

"Ha.. halo.." nada pelan di ucapnya.

"Halo selamat malam, Apa ini dengan keluarga bapak Feri Ariawan?"

"I.. iya saya istrinya, ada apa ya?"

"Kami dari petugas kepolisian mendapatkan informasi bahwa bapak Feri Ariawan mengalami kecelakaan lalulintas tepatnya di jalan.. bla bla."

Waktu seakan berhenti sesaat mendengar keterangan polisi yang masih berbicara di teleponnya,

Kilatan petir di luar seakan menyambar hati, membakar jiwanya.

Ia terpaku tak sanggup untuk berkata. Dadanya sesak seketika, uraian air matanya tak terbendung lagi, namun masih berusaha untuk menggapi pembicaraannya.

"Baik pak saya segera pergi ke sana"

Begitu ia menutup telponnya, seketika itu pula ia ambruk.

Air mata mengalir deras di balik tangan yang menutupi paras lesu pucatnya. Menangis sejadi-jadinya. Hatinya berteriak meronta-ronta merasakan hantaman kepedihan teramat dalam.

Suara tangisnya membangunkan sang kakak, anak sulungnya melangkah pelan menghampiri. Ia segera merangkul anak pertamanya itu, linangan air mata segera membasahi pundak sang anak. Tanpa tahu apa yang terjadi pada ibunya, sang kakak hanya diam di dekapan ibunya.

..

10 tahun berlalu.

Seorang pria berbadan tegap tinggi nampak gusar dalam tidurnya.

Bayangan itu kerap menghantui mimpinya, selama sepuluh tahun berlalu ia tak pernah merasakan nyenyak terlelap damai dalam tidurnya. Bayangan seorang ayah yang sedang sekarat di mimpinya memanggil-manggil  sebuah nama mungkin itu adalah nama seorang yang berarti di hidupnya. Membuat malam-malam si pria tak tenang, ingin sekali ia menjumpai orang yang di sebut-sebut namanya itu.

"Hah hah hah" nafas selalu tersengal bila terbangun dari mimpinya yang berulang-ulang kali terjadi.

Tangannya segera meraih anggur yang selalu membantu dirinya untuk terlelap.

"Legk legk legk" ia sudah sampai menghabiskan ber-krat-krat botol anggur di seluruh hidupnya.

"Prang"

Di lemparkannya botol anggur yang telah habis ke sembarangan tempat, pecahan kaca bertebaran di lantai kamar tidurnya. Dengan begitu ia pun bisa meneruskan tidurnya.

..

Matahari tengah malu-malu menyembunyikan sinarnya di balik pohon-pohon yang melambai di terpa angin sejuk pagi hari.

Sang ibu dari putri kecilnya yang kini beranjak dewasa tak sempat membuatkan sarapan untuknya. ia telah berangkat ke kantornya lebih dulu.

Sang ibu kini menjadi tulang punggung bagi keluarga sepeninggal ayah, serta di bantu oleh anak sulungnya Nathan yang sudah bekerja di sebuah cafe.

Nathan tidak melanjutkan jenjang pendidikannya ke perguruan tinggi, bahkan ia tidak menamatkan sekolah SMA nya. Waktu itu Ia tidak tega melihat kondisi ibunya yang seharian bekerja dari pagi sampai malam. Rasa sayang terhadap ibu memaksa ia bekerja di usia belianya. Lantas ia pun menyuruh sang bunda tercinta untuk berhenti dari pekerjaannya.

Nathan adalah sosok pelindung bagi kedua wanita cantik di rumahnya. Selalu melindungi, menyayangi dan mencintai keduanya di balik sikap dinginnya.

Lambat laun seiring berjalannya waktu, pada akhirnya sang ibu mendapatkan pekerjaan layak dan tidak terlalu menguras tenaga dan menyita waktunya. Ia tidak enak hati hanya dengan mengandalkan Nathan sebagai sumber pemasukan di keluarga.

..

Aluna menggendong tas sekolah yang penuh dengan buku-buku pelajaran. Tak lupa memasukkan benda keramat yang hampir seumur hidupnya tak pernah ia tinggalkan.

Boneka beruang peninggalan mendiang ayahnya selalu menemani kemanapun ia pergi, boneka sakralnya ikut memenuhi tas sekolah yang di gendong di punggungnya.

Sesekali saat di rumah ataupun di luar ketika tak ada orang di dekatnya Aluna mengajak bicara boneka mungilnya itu.

Sang ibu dan kakaknya terkadang khawatir atas kelakuan anak gadisnya yang tengah asyik bercengkrama dengan boneka beruangnya. Trauma mendalam masih menghinggapi dirinya yang masih tak terima dengan kepergian ayahnya.

"Ayah antar aku kesekolah yuk, hari ini aku sudah SMA, ayah senangkan liat seragam baru aku?"

Senyumnya tersungging di bibir tipisnya.

Gadis itu tidaklah gila ataupun sudah tidak waras lagi, meskipun ia suka berbicara dengan bonekanya.

Itu ia lakukan di saat momen- momen penting atau di saat kerinduan pada sang ayahnya melanda.

.

.

.

.

Cilincing 21 juni 2022 03:12 AM

avataravatar
Next chapter