1 1

Rofi namamu, Sudah terlalu lama nan selalu indah wajah itu. Pada malamku tak ada jenuh membayangkan sosokmu. Kita telah jauh terpisah meradang dan menahan sembilu rindu yang semakin bisu. Kini, aku semakin tau bahwa mencintai adalah hal rumit. Memberi segala laku dan menerima bait-bait sendu.

Oh Rofi, adakalanya pertemuan nanti. Berilah sedikit waktu, korbankanlah segala aktivitasmu untuk berjumpa denganku di Stasiun atau Kampus. Aku juga belum tau kapan waktu temu akan tiba, diam-diam semua rindu telah terkantongi dalam sendu. Kau tak akan sadar hal itu.

Mungkin sekarang pertemuan masih di ujung praduga. Dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Semua orang tau tentang hal itu, ada virus yang mewabah dan berukuran sangat kecil, ia adalah corona yang telah merenggut berjuta nyawa. Orang-orang sedang ketakutan mengisolasi diri di dalam rumah. Peperangan tanpa musuh; tanpa rusuh telah terjadi. Begitulah suasana hari ini Rofi.

Aku sedang di taman, Rofi. Dan pelbagai pohon kota adalah bukti, ia menaungiku melampiaskan rindu. Kadang kala duduk termenung adalah cita-cita yang lalai. Tapi apa daya, ketika semua luapan ini mengalir tanpa ujung.

"Kamu tau pohon di depanku?"

Ia tak kasat mata merintih, menangis dan merindukan ranggas daunnya yang jatuh di bulan Desember. Rindunya terhadap daun adalah bentuk kasih sayang. Ia tak mau daun-daun yang dicintainya termakan ulat. Ia lebih merelakan daun itu: jatuh, kering, dan hilang. Sementara, relanya daun jatuh dan menahan perih adalah pengorbanannya supaya pohon tetap utuh. Meregenerasi daun baru, merimbunkan dan meneduhkan keadaan. Bukankah itu menyakitkan. Tapi, keduanya sama-sama memahami. Semoga sama halnya kita, Rofi.

Pertemuan setiap hari hanya akan mengguncang hati menuju kebosanan; kebisingan. Maka jarak telah berbaik sangka, meregenerasi kita menuju hati yang penuh rindu dan akan mempertemukan dengan kondisi baru. Menyelamatkan kebosanan dan meniadakan perpisahan.

Setelah aku melamun di bawah pohon, ada seseorang yang datang menjemput. Ia bertubuh gemuk dan tinggi. Orang-orang di desa biasa memanggilnya Jayen, dengan alasan hanya karena tubuhnya tersebut. Sebenarnya, nama aslinya adalah Naja dan ia saudaraku.

"pulang sekarang?", ujarnya.

"Yuk!"

Pada perjalanan menuju rumah, tak henti-hentinya jayen mendongeng dari mulai kisah A sampai Z. Sebenarnya, ia bukan tipe orang yang suka mendongeng. Mungkin karena ia yang baru saja bertemu denganku dari kepulangan dua hari lalu, semenjak terjadi penyerangan wabah virus corona.

Sejatinya, kepulangan ke kampung halaman tidak menjauhkan ku dari penyerangan. Malah semakin menambah beban yang mungkin saja juga dirasakan banyak orang, yaitu kerinduan. Lagi-lagi rindu. Sialan.

"Kenapa hal itu bisa terjadi?"

Menurutku cinta bukan virus, tapi kenapa bisa lebih mengerikan dari virus. Walaupun ia tak membunuh nyawa secara langsung, tapi ia membunuh jiwa yang tak pernah sanggup ku ungkapkan dengan kata-kata, ia telah membunuh bahasa.

Bahasa manusia yang setiap saat berubah arti. Ketika aku berkata "rindu", setiap manusia menafsirkan itu dengan makna yang berlipat-lipat. Jauh dari kata yang hanya sekedar "temu", "jarak" dan "waktu". Tapi Rofi, aku memaknai rindu adalah semata-mata bentuk lakuku ingin menjumpaimu pada romantika kehidupan. Bukan dengan cintanya manusia kalap di pinggir pantai, melihat senja atau yang sengaja jika malam datang mematikan lampu jalan untuk bermesra.

Walaupun kadang hal itu juga terjadi pada kita, tapi aku tidak bermaksud soal hal itu. Semua lakuku adalah romantika kehidupan. Aku tidak hanya memaknai cinta itu "menyatakan", tapi aku memaknai cinta itu "perlakuan". Perlakuan untuk segala lakuku dan rasa gila yang tak pernah ku pahami.

avataravatar
Next chapter