1 Prolog

"Kau baik-baik saja? Kenapa kau berjalan sendirian? Ke mana gadis yang selalu bersamamu? Sudah kubilang, jangan berjalan sendirian. Jika kau ingin berjalan sendirian dengan tenang, berhentilah bertindak sesuka hati," protes seorang lelaki berbadan atletis pada Ramora yang masih menundukkan kepalanya. Bahu gadis itu bergetar, tanda bahwa gadis itu sedang menangis dalam diam.

"Cukup. Aku tak ingin dengar apapun lagi darimu!" Ramora pun mengangkat langkah seribu. Menuju gerbang keluar yang terletak beberapa meter dari lorong.

Lelaki itu mengikutinya. Langkah seribu yang diambil Ramora tak membuatnya bersusah payah untuk mengejar. Hingga akhirnya langkahnya terhenti bersamaan dengan langkah Ramora.

Ramora terdiam sesaat. Melihat ke kanan dan ke kiri untuk menyeberang jalan. Akan tetapi, matanya menangkap sesuatu. Benda unik dan cantik yang tergeletak di tengah zebra cross seolah menghipnotis pikirannya. Ia berjalan dan mendekati benda itu.

"Sebuah arloji lipat kuno. Cantik," gumam Ramora sembari mengambil arloji lipat kuno itu.

"Ramora! Awas!"

Samar namun pasti. Ia mendengar teriakan dari sahabat kecilnya —lelaki itu. Namun, terlambat. Tubuhnya telah terpental beberapa meter. Mendarat mulus di aspal hitam dan meremukkan beberapa tulang di tubuhnya. Hingga ia merasa seluruh tubuhnya mati rasa. Pendengarannya mendengung. Pandangannya menggelap. Hingga akhirnya ... ia tertidur di genangan cairan merah kental berbau anyir.

Gelap.

Sunyi.

Sepi.

Saat suara dan teriakan histeris itu menghilang, tiba-tiba terdengar dengungan yang melengking. Hingga akhirnya ...

Ramora sontak membuka mata. Hamparan langit biru yang membentang luas menjadi pusat perhatiannya sejak kedua mata terbuka. Setelah semua kesadaran terkumpul, Ramora mengangkat tubuhnya yang tergeletak di rerumputan yang terpotong rapi. Ada yang aneh dengan pakaiannya. Tiba-tiba berubah serba hitam. Dress selutut warna hitam, topi bundar warna hitam, hingga heels yang membalut kakinya pun berwarna hitam. Kepalanya terasa pening dan akhirnya tersadar akan hal lain.

"Di mana aku?" Itulah yang pertama kali muncul dalam benaknya.

Matanya berkeliling ke sekitar. Menengadah ke langit dan mengerjapkan mata berulang kali, namun masih tak mampu mengenali di mana dirinya menginjakkan kaki.

Ramora mengedarkan pandangan menyusuri taman yang indah namun tak ada satu pun manusia lain selain dirinya. Bunga bermekaran dengan ceria. Harum nektar tersebar menyeruak hingga ke hidung. Terlihat beberapa kupu-kupu yang terbang penuh semangat melahap nektar. Rerumputan tumbuh hijau sehijau rumput tetangga dan terpotong dengan rapi. Dilengkapi dengan air mancur yang mengalir jernih dengan patung Cupid berdiri indah di tengahnya. Ah, sungguh sempurna. Ramora merasa, tempat ini bukanlah tempat yang menyeramkan. Tetapi sendirian juga membuatnya sedikit takut.

"Ramora Vangeline."

Seketika angin berhembus tepat di telinganya. Menyerukan dengungan suara berat yang terkesan manly memanggil nama Ramora. Suara itu terdengar dekat di telinga. Namun, Ramora tak melihat satu pun orang di sekitarnya. Dengan takut Ramora mencoba melontarkan jawaban, "Siapa itu?"

Bola matanya tak mampu berhenti bergerak kesana-kemari mengelilingi taman. Masih mencoba untuk menemukan sosok yang menyebutkan namanya tadi. Namun, nihil. Ramora tak menemukan adanya makhluk lain selain dirinya.

"Untuk kembali bersama mereka, kau harus menjadi seorang pemanah cinta."

Lagi. Suara itu lagi. "Ah! Dari mana suara itu berasal?" Ramora memekik dalam hati.

Tapi apa yang sosok tak berwujud ucapkan tadi membuat Ramora tak mengerti.

'Mereka? Apa yang dia tuju adalah keluargaku?'

'Lalu, pemanah cinta? Apa itu seperti ... Cupid?'

"Jika dalam 300 hari kau tak mampu menyelesaikan tugas sebagai pemanah cinta —" ucap sosok tak berwujud itu kembali menggema di telinganya. Menggantungkan kalimatnya seolah ingin membuatnya penasaran.

"Apa yang akan terjadi jika aku tak mampu menyelesaikannya? Apa saja tugasku? Siapa kau? Kenapa kau tak memunculkan wujudmu?" celoteh Ramora penuh dengan tanda tanya. Ia memang benar-benar tak mengerti dengan keadaan ini.

'Di mana aku?'

'Siapa dia?'

'Kenapa aku bisa ada di sini?'

'Tempat apa ini?'

'Apa yang terjadi?'

'Kenapa aku tak ingat apapun selain namaku sendiri?'

'Ah! Berpikir membuatku frustasi.'

Hingga sosok tak berwujud melanjutkan kalimatnya, "Jika dalam 300 hari kau gagal, kau akan selamanya berada di sini. Sendirian."

"Hah? Tidak. Aku pasti dipermainkan. Aku yakin ... ini-pasti-MIMPI! Dan aku ... harus segera bangun!"

Rasa takutnya memuncak. Ia berharap semuanya adalah mimpi. Ramora pun bergegas mengangkat langkah seribu menuju sebuah terowongan yang ada di sudut kanan pandangannya.

Hingga akhirnya, ia terkejut dan membungkam mulutnya sendiri. Terowongan itu membiarkannya melihat sebuah penampakan yang tak mampu dideskripsikan dengan kata-kata.

"Aku sungguh tak mengerti. Apa yang terjadi padaku?"

▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️

avataravatar
Next chapter