2 00.02

*Selamat Membaca*

.

.

Ketika hujan turun sangat cocok dengan kesedihan, tetapi bukan berarti harus selalu sedih ketika hujan. Tapi ada kenangan yang tersimpan di balik air yang jatuh dari langit itu.  Akan selalu ada pelangi setelah hujan. Tapi hujan yang datangnya malam hari akan membuat pelanginya tidak terlihat, tertutup awan mendung.

 

Erin yang tersadar pingsannya, melirik kearah jendela besar kamar tersebut, hujan sedang dengan langit cerah,  Erin segera mengenakan celananya, matanya bengkak akibat menangis, ada sepucuk surat dan sarapan pagi yang telah di siapkan Xavier.

 

Erin yang tidak peduli terus keluar dari rumah mewah itu,  masih terasa sakit ketika dia berjalan, sambil menahan air matanya Erin bahkan meninggalkan skuternya di rumah Xavier,  hujan terus membasahi badan Erin,  dia bahkan tidak peduli akan hidupnya yang telah hancur.

 

Di lain tempat, Gavin yang dari semalam menunggu Erin tidak kunjung datang, lantai 2 dari caffe,  dalam keadaan basah kuyup, Erin sampai di Cafee, dia memberikan uang dan kunci sekuter yang di tertinggal dirumah Xavier.

 

"Rin.....kamu kenapa?"

tanya Rolan yang menjadi rekan kerjanya di cafee.

 

"Aku mau pulang dulu"

balas Erin.

 

Tidak lama Gavin masuk ke pantry dan melihat kondisi Erin,  badannya yang basah kuyup dan menangis, seperti sesuatu telah terjadi kepda gadis berzodiak pisces ini.

 

"Rin...."

Gavin yang menarik tangan Erin,  namun dengan refleks Erin melepaskan dan badannya gemetar ketakutan.

 

"Saya pulang dulu pak"

ujar Erin yang tidak dapat menahanair matanya.

 

"Tapi tolong jelaskan ada apa?"

tanya Gavin yang penasaran apa yang terjadi dengan Erin.

 

Tanpa menjelaskan Erin bergegas pulang,  ke rumah yang membuatnya nyaman dan aman, dia masih tidak bisa lupa, betapa jahatnya orang yang bernama Xavier itu, dengan tega melakukan hal tersebut kepadanya.

 

Gavin tidak bisa diam, dia pun melihat list order, ada alamat terakhir yang sepertinya tidak asing, alamat rumah sahabatnya, Xavier.  Perasaan Gavin sudah tidak nyaman, dia tahu betul Xavier orang yang seperti apa, dia tidak bisa diam, segera Gavin pergi untuk menemui dan meminta penjelasan kepada Xavier tentang Erin.

 

Sementara Erin yang telah sampai di rumahnya langsung berendam, walau tidak ada listrik, air di rumah itu tetap jalan,  Seakan jijik dengan dirinya sendiri, dia terus menggosok badannya,  membersihkan sisa darah yang menempel di pahanya, sambil menangis.

 

Xavier yang merupakan pimpinan sebuah perusahaan besar, sedang rapat bersama dengan dewan direksi,  dia yang di percaya mengelola perusahaan yang bercabang di Indonesia, karena kejadian malam tadi dia tidak fokus akan pekerjaannya, semua di limpahkan kepada assistennya.

 

Sikapnya yang arogan membuat dewan direksi geram, tidak ada rasa menghormati, rapat diisi dengan penjelasan kosong dari sang assisten. Xavier yang di kenal playboy itu baru kali ini dia merasa bersalah,  sebelumnya gadis yang di ajak kencan tidak pernah bersikap seperti Erin si gadis kecil itu.

 

Belum lagi dia telah merusak masa depan gadis tersebut,  dia bingung bagaimana menebus rasa berdosanya, dia berinisiatif ingin meminta maaf dan memberinya uang, mungkin perkara selesai.

 

Belum juga dia pergi dari ruang rapat, Gavin telah menunggu di ruangannya, setelah selesai dia berniat menghampiri Gavin dan meminta kontak si gadis kecil itu,  tampilan Xavier yang dingin tidak ada yang tahu bahwa dia dulu pernah tersakiti oleh sahabatnya yang memilih jadian dengan gadis yang disukainya.

 

"Vin??? ko lu disini?"

tanya Xavier yang baru masuk keruangannya.

 

"Iya, gue mau tanya sesuatu"

sahut Gavin dengan santai.

 

"Kebetulan, gue minta kontak cewek yang kerja di cafee lu"

sahut Xavier tanpa beban.

 

"Ada urusan apa emangnya?"

tanya lagi Gavin dengan pandangan aneh.

 

"Santai bro, gue cuma ada urusan aja"

 

"Urusan? urusan lu sama gue!"

gggbbruuukkk !!!

Gavin sangat kesal akan tingkah Xavier,  dia seakan tidak bersalah memperlakukan Erin tidak sepantasnya.

 

"Apa-apaan sih lu?"

ujar Xavier yang memegang bibir nya yang berdarah.

 

"Gue tahu lu, Erin enggak mungkin seperti itu kalau bukan lu macam-macamin"

teriaknya lagi mengundang keributan.

 

Xavier terdiam, dia tidak bisa mengelak dengan apa yang di perbuatnya,  kali ini dia mengaku salah,  perbuatannya bahkan tidak bisa di maafkan, Gavin sudah anggap Erin sebagai adiknya sendiri, dulu rumah orang tua Gavin yang bertetangga membuat mereka dekat, dia tahu orang tua Erin bangkrut dan sekarang tengah bekerja di luar negeri,  karena sudah masuk kuliah,  tidak mungkin Erin ikut orang tuanya merantau.

 

Gavin iba karena Erin dengan giat bekerja di caffe bahkan Gavin sengaja membuat spagetti banyak agar Erin bisa membawa makanan lebih untuk dirinya, hanya dengan itu Gabin bisa membantunya, sekarang Xavier datang dan merusak hidupnya, hal itu yang membuat Gavin geram.

 

Setelah itu Gavin pamit pulang, dia sementara sangat marah akan kelakuan Xavier, dengan siapapun Xavier asal bukan orang yang di kenal Gavin, dia tidak akan masalah.

Xavier bena-benar mencoreng nama perusahaan di mata karyawannya, dia juga seakan mendapatkan kesialan setelah berbuat hal itu.

 

.

 

.

 

Erin masih termenung sendiri, dia hanya mengelus lembut kucing ras bengal yang tengah makan di pojok kamarnya, hanya baron saat ini dimilikinya, semua keluh kesahnya di ceritakan kepada si baron, bahkan Erin menceritakannya sambil menangis.

 

Rasa pedih masih terasa nyata,  sakitnya seakan membuat hati ini meledak pecah,  Erin terbaring di kasur hanya sebuah lampu stik putih yang menjadi penerangannya, jendela yang sedikit di buka untuk mengganti siklus udara yang keluar masuk di ruangan tersebut.

 

Meringkuk dalam kesedihan,  seorang diri menghadapi perihnya hidup, namun dia harus tetap semangat, tetap melanjutkan hidup walau dirinya tidakkan sempurna,  semakin membuatnya minder kalau dekat teman cowok.

 

Xavier masih mencari tahu di mana gadis itu tinggal, sengaja dia menunggu salah satu karyawan caffe pulang sore itu, agak jauh dari pintu masuk caffe, Xavier  kemudian menghadang seorang wanita yang mengenakan hijab,  keluar dari Caffe, karena Gavin hanya memiliki 3 karyawan.

 

"Maaf....boleh saya nanya?"

Xavier yang mencegat gadis itu.

 

"Pak Xavier ya? ada apa pak?"

 

"Setua itu ya aku?"

sahutnya kesal.

 

"Iya mas, ada apa ya?"

 

"Kamu tahu alamat gadis yang pingsan kemarin?"

 

"Rin? ada apa pak? eh mas? dia udah loundry kan kemeja mas tempo hari"

sahut gadis bernama Anisa.

 

"Bukan itu, ada nomer telepon atau alamatnya"

 

"Oh"

 

Anisa pun memberikan alamat dan nomer telepon Erin, tidak ada rasa curiga di wajah Anisa, dia hanya bilang Erin ijin pulang karena masih sakit.

Setelah mendapatkan info tersebut, Xavier segera melajukan mobilnya menuju sebuah perumahan elit di kawasan barat kota,  dia tidak asing dengan alamat tersebut,  ya dia yakin ini alamat yang sama dengan rumah orang tua Gavin sebelum di jual.

 

Xavier berpikir pantas saja Gavin sangat protektif terhadap Erin, dia mengenal Erin atau mungkin orang tua Erin menitipkan anaknya kepada Gavin, membuat Gavin sangat marah terhadap dirinya.

 

.

 

.

 

(Bersambung)

 

 

avataravatar
Next chapter