webnovel

Bertemu

Semangkuk sup panas menjadi menu sarapan Robi dan Amelia. Sebenarnya rasa mual terus mengganggu Amelia, apalagi dalam sup itu terdapat aneka seafood yang terasa amis saat dimakan.

Makanan itu tadinya memang menu favorit Amelia, tapi semenjak berbadan dua, dia melarang pembantunya untuk memasak menu dengan aroma kuat itu. Masalahnya, kini Robi ada di rumah dan dia sendiri yang memesan makanan itu untuk sang istri tercinta.

"Enak, Mel?" tanya Robi pada istrinya.

"Enak, Mas ...," jawabnya menahan mual.

"Makan yang banyak, aku sengaja suruh Bibi buat sup ini, tubuhmu makin kurus sekarang."

Amelia tak menjawab apa pun, dia kembali melanjutkan sarapannya meski dengan keringat dingin bercucuran di tubuhnya—menahan mual akibat mengidam luar biasa.

Bukan Amelia namanya jika tak bisa bertahan, dia tetap bisa menghabiskan makanannya meski tersiksa sekalipun.

"A-aku ke kamar mandi dulu ya, Mas ... kebelet."

"Iya, Sayang."

Dengan tenang Amelia berlalu menuju kamar mandi, dia tumpahkan kembali seluruh isi perutnya sampai merasa lega. Tubuhnya lemas bukan main, tapi tentu saja Robi tidak boleh sampai curiga jika dia terlalu berlama-lama.

Amelia menghapus bulir air mata di sudut matanya, mencoba menyamarkannya dengan basuhan air di wajah. Setelah dirasa cukup, dia kembali menuju ruang makan.

Robi sedang merapikan alat makan kotor dibantu oleh pembantu mereka, itulah sosoknya yang membuat Amelia merasa sayang padanya.

Amelia merasa dilema, Robi memang memiliki segalanya; kekayaan, tampan dan juga baik hati, tapi dia tak bisa memberikannya sesuatu yang menjadi kekurangannya—keturunan.

Amelia jengah selalu disudutkan bahwa dirinya mandul oleh keluarga besar Robi. Padahal, ternyata dirinya baik-baik saja, buktinya dia bisa mengandung meski bukan anak Robi.

Tapi, justru semuanya bak buah simalakama, Amelia tidak tahu harus berbuat apa. Rasa cinta mulai tumbuh padanya, orang yang menerobos masuk diantara dirinya dan Robi.

"Sial!" gumam Amelia.

Dia menghela napas panjang, mencoba berpikir jernih untuk mencari jalan keluar dari semua masalah rumit yang dia hadapi.

"Mel, nanti sore kita ke rumah Mami."

Belum lagi hatinya tenang, Robi mengajaknya mengunjungi tempat penyiksaan terbesarnya—rumah mertua.

"Tapi, Mas—"

"Ayolah, Mel. Seperti biasa, kita hanya akan setor muka saja. Oma ingin bertemu, aku 'kan sudah lama enggak pulang."

Ya, Amelia bisa apa selain menurut. Dia menganggukkan kepala sebagai respons ajakan Robi, padahal jauh dalam relung hatinya, dia mulai merasakan nelangsa karena harus kembali bertemu dengan orang-orang yang membencinya.

***

Jarak rumah mereka cukup jauh, butuh menghabiskan waktu perjalanan selama hampir satu jam lamanya.

Awalnya, keluarga besar memintanya mengisi rumah keluarga Wijaya. Namun, karena Amelia terus merengek meminta pindah, akhirnya Robi membeli sebuah rumah yang jaraknya cukup jauh.

Hati Amelia sudah tidak karuan sejak mereka pergi meninggalkan rumah, entah apa lagi yang akan mertuanya ucapkan padanya—batinnya.

Setiap kali dia menuduh bahwa dirinya mandul, ingin sekali dia berteriak dan mengakui bahwa sebenarnya sedang mengandung dan yang mandul itu suaminya—Robi. Tapi tentu saja Amelia tidak bisa melakukan itu, dia butuh rencana matang agar bisa mengelabui Robi.

Sedangkan di rumah Mayang, para keluarga berkumpul untuk melakukan pertemuan rutin keluarga besar Wijaya. Mayang kini mengambil alih posisi sebagai kepala keluarga setelah suaminya tiada, menggantikan peran mertuanya yang sudah jatuh sakit.

Mayang merasa gelisah saat Robi belum juga datang, berkali-kali dia mencoba mengintip dari balik jendela untuk memastikan putranya itu tiba.

"Kak Robi pasti datang kok, Mam," ucap Alan.

"Dari mana kamu tahu?"

"Hanya perasaanku saja, tapi aku yakin."

"Halah, kamu tahu apa? Diam saja, anak haram tak memiliki hak untuk bicara, malah bernapas pun kamu tak berhak!" hardiknya.

Ya, Alan adalah adik Robi, anak hasil dari perselingkuhan sang suami saat masih hidup.

Awalnya di menolak saat suaminya mengajak Alan tinggal satu atap, tapi karena saat itu dia diancam akan diceraikan, tentu saja dia memilih bertahan asalkan status Robi sebagai pewaris utama aman.

Mayang tidak habis pikir, bagaimana bisa suaminya tiba-tiba saja mengakui perselingkuhannya. Padahal, sosok Agus Wijaya—almarhum suaminya adalah orang yang amat sayang pada keluarga.

Alan tidak bisa berkata-kata, ucapan menusuk yang Mayang lontarkan begitu tepat mengenai hatinya. Sakit hati? Tentu saja, tapi dia tak bisa melakukan apa pun selain bertahan, setidaknya sampai studinya selesai.

Robi dan Amelia baru saja tiba, suasana langsung terasa menyesakkan dada Amelia yang kini sedang gugup.

Saat Mayang dan anggota keluarga lain menyapa Robi, tidak ada satu pun yang menyapa Amelia.

"Mami kaget waktu Sekretaris kamu bilang kalau kamu sudah pulang semalam."

"Maaf, Mam ... hari ini 'kan spesial, jadi Robi enggak bisa melewatkannya begitu saja."

"Apanya yang spesial, kalau Amelia hamil—itu baru spesial," ledeknya.

Amelia tidak bisa berkata-kata, dia sudah terbiasa mendengar ucapan menusuk dari keluarga suaminya, terutama dari sang ibu mertua.

Bagi mereka, Amelia mungkin hanyalah wanita matre yang beruntung. Bahkan, saat mereka menikah pun, tidak ada yang menghadirinya.

"Doakan saja Amel segera hamil, Mam. Niatnya, aku mau coba inseminasi."

Bak petir di siang bolong, Amelia terkejut mendengar penuturan Robi yang tiba-tiba. Hatinya gelisah, bagaimana jika nanti rahasianya terbongkar? Ini tak boleh dibiarkan—batinnya.

Padahal, sebelumnya Robi selalu menghindar meski dia merengek ingin memeriksakan diri bersama, tapi kenapa ...?

"Bagus kalau begitu. Kalau masih gagal, bagaimana?"

"Ya tinggal coba bayi tabung, Mam."

"Kalau masih gagal juga, ceraikan saja. Jangan kamu biarkan nanti keturunan si anak haram itu yang melanjutkan bisnis kita!"

Robi hanya bisa menelan Saliva yang terasa kering tiba-tiba. Dia paham betul kekhawatiran dari ibunya.

"Mam ... Stop panggil Alan anak haram. Bagaimanapun juga dia anak Papi."

"Dia memang anak papimu, tapi lahir dari seorang simpanan!"

Mayang merasa kesal, jika ingat kembali bagaimana suaminya mengkhianati pernikahan mereka, ingin sekali rasanya dia memuntahkan kekesalannya pada Alan.

"Ah, sudahlah. Kalian temui Oma, Mami mau menenangkan diri dulu."

"Iya, Mam," jawab Robi dan Amelia serempak.

Amelia bisa bernapas lega untuk sesaat. Ya, hanya sesaat karena di dalam sana masih ada; paman, bibi, sepupu dan juga tetua yang paling dihormati—omanya Robi.

Ddrrrttt'

Ponselnya bergetar di dalam tas, Amelia langsung merasa gelisah karena khawatir jika itu pesan yang pria itu kirim untuknya.

"Mas, aku ke kamar mandi dulu, ya."

"Ya sudah, Mas tunggu di sini. Nanti kita temui oma bareng-bareng."

"Iya, Mas ...."

Amelia segera berjalan cepat menuju kamar mandi yang berada di dekat ruang tamu, dengan sigap dia memeriksa ponsel miliknya. Benar saja, itu pesan darinya—batin Amelia.

[Aku rindu kamu ...]

"Argh ... gila, padahal aku sudah suruh dia untuk jangan kirim pesan aneh-aneh selama aku bersama Robi," gumamnya.

[Sudah aku bilang, jangan kirim pesan aneh-aneh, nanti bagaimana jika Robi memeriksa ponselku?!]

[Bukankah lebih bagus jika dia tahu?]

[Jangan gila!]

[Baik, aku akan tunggu sampai kamu siap. Sekarang, cepat keluar dari kamar mandi, aku mau melihat wajah cantikmu]

Ddeghh'

Amelia mulai merasa resah, jika dia tahu bahwa kini dirinya sedang ada di dalam kamar mandi, artinya dia ada di rumah ini juga.

Dengan cepat dia menghapus semua pesan tadi untuk menghilangkan jejak.

Amelia segera keluar, memperhatikan sekitar untuk memastikan keberadaannya. Matanya terbelalak saat melihat Robi sedang bersamanya dengan beberapa orang lainnya, berbincang kecil dengan senyum seringainya.

"Mel ...," panggil Robi.

Amelia melangkahkan kakinya dengan gemetar, rasanya ingin dia berlari sejauh mungkin dari tempat yang terasa seperti neraka baginya.

"Hai, Mel," sapanya.

"H—hai ...."

Amelia beralih menatap matanya, tapi tidak berani bicara apa pun selain menekan rasa takutnya.

Next chapter