2 Sahabat?

Sepuluh tahun yang lalu.

Pada saat itu, aku benar-benar tidak paham dengan situasi yang terjadi. Yang ku lihat hanya bunda yang menangis tersedu saat ayah berjalan keluar, aku terdiam menatap kedua orangtua ku dari ambang pintu. Ntah kenapa tiba-tiba aku merasakan ada dorongan untuk melangkah turun menghampiri bunda yang masih menangis dengan isakan pelan.

"Bun, bunda kenapa?"

Ya, kalimat pertanyaan itu yang pertama kali ku lontarkan. Aku berdiri dihadapan bunda, bunda yang mendengar suaraku langsung menghapus air matanya. Ia tersenyum, lebih tepatnya tersenyum paksa. Aku melihat mata bunda yang penuh dengan luka.

"Bunda tidak apa-apa. Nak, maaf ya bunda mengganggu mu belajar."

Ucapan bunda yang mengatakan kalau dia baik-baik saja adalah ucapan yang pertama kali tidak ku percaya. Sangat tidak percaya.

"Tidak kok, Bun," jawab ku dengan tersenyum.

"Ya sudah, kamu sekarang lanjut belajarnya ya." Aku menggeleng cepat.

"Aku ingin menemani bunda," ucapku dengan memegang pipi bunda yang terasa basah.

"Bunda ingin istirahat, kamu sekarang naik. Lanjut belajar, setelah itu tidur," perintah bunda dengan suara lembut. Aku tersenyum mengangguk.

"Iya, bunda."

Kaki ku melangkah naik ke tangga dan meninggalkan bunda. Namun, langkahku terhenti. Aku menoleh ke bawah melihat bunda yang mematikan lampu ruang tengah dan masuk ke dalam kamar.

"Kenapa ayah jahat sama bunda?" gumamku. Aku melanjutkan langkahku sampai atas kamar. Aku menyandarkan tubuhku di pintu kamar.

"Kenapa mereka selalu saja bertengkar? Apa aku yang membuat mereka selalu bertengkar?"

Aku memejamkan mataku, aku duduk di depan pintu dengan badan tetap bersandar. Tanpa terasa air mataku terjun begitu saja, aku memeluk kedua lututku dan menenggelamkan wajahku di lutut.

***

"Sayang, kenapa tidur di luar kamar? Kenapa tidak masuk di kamar kamu. Kalau kamu demam bagaimana?" Suara lembut itu membangunkannya dari tidurnya. Ia mengerjapkan matanya.

"Nghh, bunda. Udah pagi ya?" tanyanya dengan mengucek kedua mata.

"Iya, tugas kamu sudah selesai?" tanyanya dengan membuka pintu kamar. Gadis kecil itu hanya cengengesan.

"Belum, bun." Bunda hanya menghela nafas.

"Ya sudah, sana mandi. Bunda siapin sarapan," ucap bunda beranjak berdiri.

"Bun."

"Kenapa sayang?"

"Apa ayah bakal pulang?

"Bunda tidak tau nak," ucap bunda yang langsung berjalan turun ke bawah, bahkan saat menjawab bunda tidak menatap gadis kecil itu.

Flashback off

Sejak saat itu, gadis itu tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Bahkan ia mungkin sudah lupa dengan wajah ayahnya itu, dan gadis itu sangat membenci ayahnya. Ia tak peduli lagi dengan ayahnya itu, yang ia pikirkan hanyalah cara membahagiakan bundanya. Ia tak pernah menanyakan keberadaan ayahnya lagi, dan ia pindah ke Kota Jakarta. Baginya, rumah itu hanyalah meninggalkan memori kelam yang tak pantas untuk di ingat.

***

Nama gadis itu adalah Varena Angelina, saat ini ia berumur enam belas tahun. Dan besok adalah hari pertama ia masuk ke SMA Bina Garuda. Ia sangat menantikan esok hari, memakai seragam yang seperti di drama yang ia tonton setiap hari.

SMA Bina Garuda adalah sekolah yang bisa dibilang sangat elite, seragamnya berbeda dengan sekolah lainnya. Dan alasan Rena memilih sekolah itu karena seragam, dan gedung sekolah yang sangat besar. Bahkan, murid diperbolehkan masuk ke rooftop. Untung saja Maryln – Bunda Rena – langsung menyetujuinya.

Saat ini ia sedang duduk di sofa depan televisi dengan menikmati secangkir coffee kesukaannya dan menunggu bundanya pulang. Ia menyalakan televisi untuk mengusir keheningan di ruangan itu, saat mendengar suara notif dari ponselnya, ia melirik ponsel yang ada di sampingnya. Gadis itu menghela napas melihat banyak notif di ponselnya.

Rena meletakkan cangkir itu ke meja, dan meraih ponselnya. Ia membaca pesan dari bawah, dan banyak teman SMP-nya yang mengirimi ia pesan. Bisa dibilang Rena adalah murid populer di SMP-nya, bukan karena hanya kecantikannya saja, tapi juga kecerdasan yang dimilikinya. Rena sering mengikuti olimpiade matematika, atau IPA.

Selesai menjawab semua pertanyaan temannya itu, ia kembali meletakkan ponselnya. Matanya bergerak melihat jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore.

"Udah jam lima, kenapa bunda belum sampai? Apa bunda pulang telat?" pikir Rena.

Beberapa detik kemudian, ia mendengar suara mobil yang masuk ke rumahnya. Rena tersenyum dan melihat ke arah pintu, menunggu bundanya masuk ke dalam.

"Maaf ya bunda pulangnya telat, tadi antrinya panjang banget," ucap bunda yang ternyata masuk dari pintu belakang. Rena menghela napas, ia lupa kalau bunda langsung memasukkan mobil ke garasi, itu berarti ia masuk ke pintu belakang.

"Bunda beli apa?" tanya Rena yang melihat bundanya membawa banyak plastik berukuran sedikit besar.

"Ini bunda bawa martabak kesukaan kamu, ada jus, buah-buahan, dan beberapa bungkus camilan kesukaan kamu."

Rena tersenyum lebar, dan bangkit dari duduknya. Ia mengambil bungkusan camilan itu, dan satu kotak martabak. "Aku bawa ke kamar ya, Bund."

"Iya, tapi inget, sampahnya langsung di buang!" peringat Maryln.

Rena menyengir. "Iya, bunda. Siap!"

"Ini jusnya juga di bawa."

Rena mengangguk, dan langsung membawanya dengan kedua tangannya. Ia langsung berjalan menuju kamarnya. Ia meletakkan camilannya di laci yang khusus untuk snack, padahal snack di kamar Rena masih banyak, terutama chiki, dan permen coklat.

Ia duduk di meja dengan mengambil potongan martabak dan memakannya. Ia juga menyeruput jus mangga kesukaannya.

"Renaaa, jangan dihabiskan martabaknya, kamu belum makan malam. Bunda bawa cumi-cumi favorit kamu," teriak Maryln dari luar kamar.

"Iya, bunda."

***

"Ren, bangun. Ini hari pertama mu masuk setelah libur panjang, masa iya baru pertama masuk terlambat?" ucap Maryln dari luar kamar dengan terus mengetuk pintunya, dan membuat gadis itu terusik. Rena membuka matanya perlahan dengan menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.

"Iya, aku udah bangun."

Ketukan itu seketika terhenti, dan Rena mendengar suara langkah kaki yang pergi dari kamarnya. Ia menguap lebar dengan merenggangkan ototnya yang terasa sedikit kaku.

Setelah niatnya terkumpul, ia beranjak dari kasurnya dan berjalan gontai menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

Selang beberapa menit, ia keluar hanya terbalut dengan handuk saja, rambutnya ia gulung menggunakan kucir rambut.

Prakk! Prakkk!

Terdengar suara batu krikil yang mengenai tembok kamar gadis itu, dan gadis itu hanya mendengus dan segera memakai seragamnya dengan cepat. Setelah itu, ia membuka tirai kamarnya, dan Rena memutar bola matanya malas ketika melihat cowok yang berdiri di balkon sebrang dengan senyuman juga tatapan matanya.

"Lama bener, Ren? Abis ngapain si?"

"Abis mandi, kenapa?"

"Mau ngajakin berangkat bareng, lo mau?" tanya cowok itu dengan tersenyum menatap Rena.

avataravatar
Next chapter