webnovel

Part 5. Polisi

Emilia dan Dario diam. Dario melirik takut-takut ke arah Emilia yang kini sedang membereskan obat-obatan dan meletakkannya pada kotak di samping nakas kamar Dario.

Dario sedikit meringis karena ujung bibirnya sobek dan tadi di beri alkohol dan minyak tawon oleh Emilia, awalnya cowok manja itu merengek tidak mau karena alesan minyak tawon itu bau tapi melihat Emilia memasang wajah garang Dario hanya diam menurut.

"Lia ...," panggilnya pada Emilia yang kini memegang hp nya dan membuka aplikasi game.

Dia menarik ujung seragam Emilia. "Lia," cicitnya takut.

"Lo marah ya?"

Jelas lah goblok!

"Maafin ya?"

Enak banget lu.

"Ish Lia. Maafin Rio sih!" lama-lama, cowok itu kesal sendiri.

Emilia berdeham. "Ngobrol sama siapa lo tadi?"

"Hah?" Dario tidak konek. Emilia bertanya dengan tiba-tiba dan terkesan ambigu. Tapi di detik selanjutnya Dario membulatkan mulutnya. "Oh itu, tadi Cecilia. Anak IPS, seangkatan juga sama gue, trus tadi dia mau nanya tentang eskul basket sama gue, katanya dia minat masuk."

"Dih," Emilia sewot. "Ngapain pake bilang ke lu segala? Emangnya lo siapa? Sok penting banget, heran."

Bukannya tersinggung, Dario malah tertawa ngakak dan sedikit maju untuk menoel pipi mulus Emilia. "Gak tau apa, Dario kan ketua tim basket, sayang," katanya sambil mengedip lucu.

Emilia mengelap dengan kasar pipinya yang tadi di sentuh oleh Dario. "Najis, lo? Ketua tim basket? Ewh!" balas Emilia meremehkan. Dario mendengkus dan mendekap Emilia dengan erat sampai Emilia memekik dengan keras.

"DARIO ANJING, LEPAS!"

"Gamau, lu imut banget sih kalo marah."

"Setan lo!"

***

"Yang? Lama banget sih?" Dario menunggu dengan bosan, tadi saat Emilia marah dengan paksaan Emilia minta di temani ke salon oleh Dario dan Dario hanya pasrah menurut. Dari pada nanti Emilia marah lagi.

"Bacot banget si lu. Kalo gak betah balik aja sana, tar biar gue minta temenin sama cogan di mall ini kalo ada yang nganggur. Lo mah cuma seupil doang."

Mendengar perkataan Emilia, Dario mendengkus dengan malas. Cowok itu akhirnya mengalah dan beralih memainkan lagi ponselnya. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan saat ini Dario sudah mengantuk.

Cowok yang menggunakan t-shirt hitam dan menunjukkan dengan jelas bentuk tubuh atletisnya itu berpikir jika Emilia sangat menyayaginya. Ia tersenyum membayangkan bagaimana Emilia membelannya tadi. Dan Emilia menangis untuknya. Sebenarnya Dario bisa saja melawan, namun cowok itu enggan menunjukkannya di hadapan Emilia.

Di belakang Emilia, diam-diam Dario mengikuti kegiatan ilmu beladiri dan olahraga secara rutin. Ia manja dan kekanakan? Justru itu memang sifat aslinya. Ia seperti itu hanya kepada orang yang ia sayang.

Dario mengakui jika kemarin ia payah, tapi dirinya mati-matian untuk tidak melawan Firman saat depan Emilia. Ia berpura-pura takut agar dirinya tidak mau di pandang kuat oleh orang lain. Di sana ada Emilianya, dan ia tidak mau di puji di hadapan gadisnya.

Karna hanya Emilia yang pantas memujinya.

Bunyi ponsel Emilia menyadarkan lamunan Dario dan membuat cowok itu menoleh dengan cepat ke arah Emilia yang sedang di warnai rambutnya, Dario mengernyitkan dahinya dalam. Merah?

"Li—"

"Cabut ke rumah, sekarang," perkataan Dario terpotong saat dengan tiba-tiba Emilia bangun dan kebetulan ia sudah selesai dengan urusan salonnya. Ia membayar dan langsung berjalan mendahului Dario dengan terburu-buru.

"Kenapa, sih?" Dario menyamai langkahnya dengan Emilia dan menatap gadisnya itu dengan pandangan cemas yang kentara. "Lia, kenapa?"

Emilia berhenti dan memejamkan matanya sambil menghembuskan napasnya guna menenangkan pikirannya. Ia membuka mulut, "Orang tua bajingan itu ke rumah, bawa polisi."

***

"Pokoknya kami ke sini hanya ingin menuntut anak Anda yang sudah membuat anak kami masuk rumah sakit. Beberapa tulangnya patah dan wajahnya sangat babak belur, apa perlu saya berikan hasil visumnya?"

Rachel duduk dengan anggun dan santai, Ibu muda yang kini memakai kaos abu-abu dan celana jeans itu menatap para tamunya dengan santai. Di sampingnya ada Marchel yang kini juga sedang duduk tegap menatap tamunya.

Ia mulai membuka mulut, "Apa anak saya benar-benar bersalah?" tanya Marchel pada kedua polisi yang kini duduk di sofá sebelah kanannya.

Salah satu polisi itu mengangguk, "Ini perintah tuntutan, segala kejelasannya harus menunggu pelaku dan semua bisa di jelaskan di kantor. Kami hanya menjalankan perintah untuk menangkap saudari Emilia atas tuntutan penganiayaan terhadap saudara Firman."

"Kalo anak gue gak salah gimane?" celetuk Rachel yang dihadiahi senggolan di lengannya oleh Marchel dan gelengan kepala oleh Emilio yang duduk di sofá depan TV. Sedangkan mereka duduk di sofá ruang tamu.

Nyokap gue limited banget.

"Ya jelas anak Anda salah, sudah membuat anak saya masuk rumah sakit. Apa itu masih belum jelas, Nyonya Alfaro?" tanya Ibu Firman sedikit menggebu.

"Buset, keren amat, Nyonya Alfaro katanye," Rachel menjawab dan hal itu menimbulkan kekehan dari Emilio yang masih setia mendengar sambil memainkan rubiknya. Ia santai saja karena saudari kembarnya akan di tangkap oleh polisi, toh, sudah biasa.

Suara pintu terbuka dan muncullah dua remaja yang kini berjalan bersisihan. Memangnya siapa lagi jika yang satunya bukan Emilia si gadis bar-bar.

"Ni, biang keladinye dateng."

"Ada apaansi? Ganggu tau gak. Orang lagi nyalon."

Marchel menegur Emilia dan menyuruh anak gadisnya itu untuk menyalami kedua orang tua Firman.

Dengan enggan Emilia menyalami dan ikut duduk di sebelah Rachel. Sedangkan Dario memilih untuk ikut duduk bersama Emilio dan menyapa kakak dari gadisnya itu. "Hei, gimana kabar?"

Emilio melirik sambil memainkan rubiknya. "Baek, Om Kelvin udah sehat?"

Dario mengernyit, "Emangnya Bokap gue sakit apa?"

"Lah, bukannya dari dulu Bokap lo kagak sehat?"

Emilio tertawa dan Dario ikut terkekeh.

Sementara itu, di ruang tamu Emilia masih duduk dengan santai. Ini pertama kalinya ia di tangkap di rumah. Biasanya polisi akan menangkapnya di sekolah atau ia sedang berada di luar rumah. Ia sering tertangkap saat sedang tawuran di luar atau tertangkap saat sedang balapan. Emilia selalu menanggapinya dengan santai seolah tak terjadi apa-apa.

Tidak dengan Dario yang selalu mengkhawatirkannya, bahkan terkesan berlebihan.

"Jadi gimana ni? Mau damai aja apa gimana? Ayolah, anak gue masih sekolah, intinya aja, mau berapa?" Rachel pun lama-lama jengah juga karena orang tua Firman yang bertele-tele.

Tapi sang polisi menyanggah perkataannya. "Tidak bisa, seharusnya sebelum ini jika kedua belah pihak ingin damai. Kasus ini sudah harus di tangani oleh polisi karena pihak penutut sudah lebih dulu melaporkannya kepada polisi.

"Udah lah Li, ngikut aja sana sama Bapak polisi. Pusing juga gue liat lu di rumah. Kali-kali kek jalan gitu sama polisi ke penjara. Cari pengalaman."

Emilia memutar bola matanya sedangkan Marchel menatap Rachel tajam yang di balas cengiran oleh istrinya itu. Orang tua Firman pun sampai heran bagaimana tipikal orang tua Rachel sebenarnya. Ibunya aneh, pikir Ibu Firman.

"Ya elah Mi, udah sering gue ke kantor polisi."

"Udah ah sana, ngikut aja. Gue ngantuk mau tidur, bye!"

***