6 Tamu mengaku hamil

Pagi hari, di kamarnya Jamal sedang mempersiapkan buku-buku pelajaran yang akan ia bawa ke sekolah. Penampilannya masih sama seperti biasanya. Baju seragam tidak di masukan, bagian lengan digulung, dan dua kancing teratas nya sengaja dibuka.

Meski tidak pintar, akan tetapi Jamal tetap membawa kelengkapan untuk sekolahnya hari ini. Lantaran tidak ingin ada yang tertinggal, Jamal mengecek kembali semua yang sudah ia masukan kedalam tasnya__dianataranya; buku pelajaran hari ini, pulpen, pensil, penggaris, dan yang terakhir kondom.

Kondom?

Ya, kemanapun Jamal pergi ia tidak pernah lupa membawa kondom. Buat-buat jaga aja sih karena biasanya ada cewek yang tidak bisa menolak kalau diajak mendesah bersama.

Banyak cewek yang selalu mengaku sebagai pacar Jamal, kalau sudah merasa dekat dengan Jamal. Apalagi kalau wanita tersebut sudah diajak tidur bersama. Mereka langsung menganggap Jamal cuma satu-satunya miliknya. Padahal Jamal sekalipun tidak pernah menyatakan cinta, apalagi sampai mengajak pacaran sama semua cewek yang ia tiduri.

Mengambil alat kontrasepsi dari dalam tas, kemudian Jamal memindahkannya kedalam dompet. Setelah semuanya siap, ia menyangkolkan tas di sebelah pundaknya. Beberapa saat kemudian, Jamal keluar kamar. Ia berjalan melenggang menuju ruang makan, seraya bersenandung.

"Pagi sayang..."

Suara keibuan mengalun lembut dari wanita cantik bernama Marta__ibu kandung Jamal yang tengah menyantap sarapan pagi. Ada pria yang sudah rapih dengan setelan jas, tengah duduk di kursi kepala keluarga. Pria tersebut bernama pak Wiratama__yang tidak lain adalah ayah kandung Jamal.

"Pagi ma... pa..." balas Jamal. Kemudian ia menarik kursi di dekat ibunya, lalu mendudukan dirinya di sana.

Pak Wiratama menghentikan aktifitas menyantap sarapan paginya. Sorot matanya lurus menatap Jamal, sambil menggelengkan kepalanya heran.

"Jamal," panggil pak Tama.

"Jems pa," protes Jamal. Ia tidak pernah bosan membujuk kedua orang tuanya supaya mau memanggilnya 'Jems'.

"Papa nggak akan pernah ngerubah nama yang udah papa kasih ke kamu!" Tegas pak Tama.

Mendengar jawaban ayahnya, Jamal membuang napas berat sambil memutar bola matanya, malas. "Serah papa aja," ucapnya santai.

"Jamal itu nama keberuntungan sayang, jangan ganti sembarangan." Ucap ibu Marta mengingatkan.

"Kamu sudah SMA, Mal. Tolong rubah kebiasan jelek kamu. Perbaiki penampilan, jangan bikin ulah, dan inget rajin belajar. Kamu satu-satunya harapan buat nerusin bisnis papa. Kamu pewaris tunggal semua perusahaan papa, kalo kamu masih belum berubah papa jadi ragu sama kamu."

Seperti biasa Jamal selalu mengabaikan nasehat yang diberikan dari ayahnya. Lebih tepatnya ia sudah bosan mendengar itu. Hampir setiap pagi pak Tama tidak pernah bosan memberi sarapan nasehat kepadanya. Jamal sampai hapal sama kata-kata yang selalu keluar dari mulut pak Tama setiap paginya.

"Jamal, kamu denger kan papamu ngomong apa barusan?" Tanya ibu Marta.

"Yaela ma, aku tuh belum budeg. Denger. Malah, sebelum papa ngomong aku udah tau papa mau ngomong apa."

Memasukan sendok berisi nasi goreng kedalam mulutnya, dengan cuek Jamal mengunyah. Ia tidak perduli kalau kedua orang tuanya sedang menatapnya heran.

"Permisi, Maaf tuan mengganggu sarapannya."

Suara seorang asisten rumah tangga menghentikan sarapan Jamal. Pak Tama, ibu Marta, dan juga Jamal menatap heran ke arah pembantunya.

"Ada apa bi?" tanya ibu Marta.

"Anu nyonya, ada tamu di depan nyari tuan muda Jems."

Mendengar namanya disebut, Jamal mengerutkan kening. "Siapa bi?" tanyanya.

"Nggak tau tuan, yang jelas orangnya marah-marah. Mereka juga pingin ketemu sama nyonya dan tuan besar."

Jamal dan kedua orang tua nya saling berpandangan. Kemudian secara bersamaan ketiganya mengambil gelas berisi air mineral, lalu menegugnya hingga tandas.

Selesai dengan urusan minum, mereka bertiga meninggalkan ruang makan, jalan tergesa menuju ruang utama.

"JEMS KAMU HARUS TANGGUNG JAWAB SAMA ANAK SAYA!!"

Seorang pria paruh baya langsung murka, ketika melihat Jamal dan kedua orang tuanya sudah berdiri di depan pintu__di hadapan pria tersebut.

"Ada apa ini? Tanggung jawab apa lagi, Jamal?" tanya pak Tama, kepada putranya.

Kalau tidak salah ingat, ini sudah ke lima kalinya pak Tama dan ibu Marta dikejutkan dengan tamu seperti yang tengah mereka hadapi sekarang. Sepertinya kedua orang tua Jamal sudah bisa menebak, alasan apa yang mebuat tamunya sampai begitu marah. Melihat gadis yang sedang merunduk takut__di samping pria paruh bayah itu, sepertinya kasusnya akan sama dengan tamu-tamu sebelumnya. Tapi meskipun begitu, kedua orang tua Jamal tetap merasa panik.

Berbeda dengan kedua orang tuanya, Jamal terlihat sangat santai dan cuek. Mata elangnya menyipit, menatap lurus ke remaja putri yang memakai seragam SMA.

"Maaf pak, bapak ini siapa? Maksudnya tanggung jawab apa?" Tanya bu Marta meminta kejelasan.

"Begini pak Tama, ibu Marta."

Meski orang tua Jamal tidak mengenali tamunya, tapi lantaran mereka terkenal akan ke kekayaannya, sehingga pria paru baya itu sangat tahu siapa pak Wiratama dan istrinya.

"-anak bapak si Jems, sudah menghamili anak saya. Jadi dia harus bertanggung jawab. Kalo bisa mereka harus dinikahkan sekarang juga."

Pak Tama dan istrinya memang tidak terlalu terkejut dengan pernyataan dari tamunya__lantaran sudah sering. Tapi tetap saja, mereka menatap murka ke arah Jamal.

"Apalagi ini Jamal? Beneran kamu udah menghamili dia?" Tanya ibu Marta.

"Tau, lupa," jawab Jamal. Ia terlihat sangat santai dan tenang.

"Maksud kamu apa lupa?!" Kali ini giliran pak Tama yang bertanya.

"Pa, itu cewek dari tadi nunduk terus. Aku mana tau udah bikin dia hamil apa enggak."

Jawaban anaknya membuat pak Tama menggeleng heran. Untung saja ia tidak mempunyai riwayat penyakit jantung.

"Dek jangan takut, coba diangkat wajahnya." Perintah ibu Marta dengan gaya keibuannya.

Dengan perasaan ragu dan takut, remaja berseragam SMA itu perlahan mengangkat wajahnya.

Pak Tama dan istrinya secara bersamaan menatap anaknya, setelah wajah gadis itu dapat terlihat dengan jelas.

Ck! Jamal berdecak, menarik sebelah ujung bibirnya, tersenyum sinis saat ia sudah melihat wajah gadis itu. "Elu rupanya?"

"Maksudnya apa Jamal? Bener kamu udah hamilin dia?" Tegas pak Tama. "Kalo bener, papa nikahkan kamu sekarang juga!"

Mengabaikan pertanyaan ayahnya, Jamal menatap lurus ke arah gadis tersebut. "Eh, beneran lu bunting sama gue?"

"Ki-kita kan udah pernah," gadis itu terlihat gugup, malu dan juga takut.

"Gue tanya sekali lagi! Lu beneran bunting ama gue? Atau_"

"Jamal!" Potong ibu Marta. "Kamu ini apa-apaan tanya kayak gitu. Kamu tinggal jawab. Bener nggak kamu udah hamilin dia?"

"Ma, ni cewek tu bego, makanya aku nanya sama dia. Aku tuh tau dia udah nggak perawan waktu hubungan sama aku. Yang bikin dia bego, bisa-bisanya dia bilang kalo itu anak aku. Padahal dia tau banget aku pake kondom__pake pengaman pas lagi hubungan sama dia." Tegas Jamal sambil menujuk-nujuk gadis tersebut.

Pertanyaan Jamal tentu saja membuat orang tua gadis itu merunduk malu. Ia juga jadi mengetahui aib putrinya. Hal serupa juga dirasakan oleh gadis itu, malu dan juga takut.

"Dan aku bisa yakin banget, kondom yang aku pake itu masih baru. Mereknya juga bagus harganya mahal. Jadi nggak mungkin bocor."

Dari pada harus menikah muda dengan gadis itu, lebih baik Jamal terang-terangan membeberkan semuanya. Yang ia katakan juga benar, jadi ia yakin sekali janin yang ada dalam kandungan gadis itu bukanlah anaknya. Jadi untuk apa ia harus bertanggung jawab?

Sorot mata Jamal kembali menatap gadis itu. Tatapan intimidasi yang membuat gadis itu semakin takut.

"Gue tanya lagi, beneran lu bunting sama gue?"

Manik mata gadis itu menatap satu persatu ibu Marta, pak Tama, dan ayahnya. Kemduian tatapannya berhenti ke arah Jamal. Dengan ragu dan berat akhirnya gadis itu membuka suaranya.

"Bukaaan!"

Setelah mengaku, gadis itu berlari pergi meninggalkan Jamal dan yang lain.

"P-pak Tama, bu Marta, s-saya minta maaf." Suara pria paru baya itu terdengar gugup. Wajahnya terlihat salah tingkah. "Permisi." Pamit pria itu, kemudian ia berjalan cepat menyusul anaknya.

"Jamaaaaal!!"

Murka pak Tama dan ibu Marta.

"Jems, ma... pa..." ucap Jamal cuek. Tanpa beban dan perasaan bersalah.

Sekali lagi, untung saja kedua orang tua Jamal tidak mempunyai penyakit jantung.

tbc

avataravatar
Next chapter