18 Ogah

Para murid yang sedang melakukan upacara, membubarkan barisannya tanpa di komando oleh Jamal, sebagai petugas pemimpin upacara. Mereka berhamburan ingin mendekat ke arah Rio yang sudah tergeletak pingsan di halaman.

Hanya Jamal yang masih tetap pada posisinya, berdiri mematung di tengah halaman sekolah sebagai pemimpin upacara. Ia hanya mendongakan kepala, untuk melihat Rio yang tertutup oleh siswa dan siswi yang mengelilingi nya. Sebenarnya ia ingin ikut bersama yang lain, melihat langsung keadaan Rio. Namun karena perasaan gengsi yang membuat Jamal merasa enggan untuk melakukannya.

"Kuat nggak, Ru?" tanya guru kepada Heru yang sedang berusaha mengangkat tubuh Rio.

"Kuuuaat bu," ucap Heru ditengah ia sedang mengerahkan seluruh kekuatannya supaya tubuh Rio bisa ia bopong. Namun sayang, usahanya sia-sia. Tubuh Rio sama sekali tidak pindah dari posisinya. "Berat banget si..." keluh Heru putus asa. Kalau tidak salah hitung ia sudah mencobanya tiga kali, namun tidak pernah berhasil.

"Coba gue," ucap Irawan, ia berjalan mendekati Rio, menggantikan posisi Heru. Beberapa detik kemudian, ia mulai mengatur posisi, meletakan tangan kanan di bawah tengkuk Rio, sedangkan tangan kiri di bawah lututnya.

Irawan mulai mengeluarkan kekuatannya, "huuuug... eh... gila berat banget sih," keluh Irawan saat ia tidak berhasil mengangkat tubuh Rio.

"Idih, kalian tuh yah, cowok apa bukan sih masak nggak kuat ngangkat gitu aja," cibir Samsul. Ia berjalan mendekat ke arah Rio, berdiri di samping Irawan. "Sini gue ajah," ucapnya dengan gayanya yang gemulai.

"Eh, jangan," serga Indah sambil menarik lengan baju Samsul__menyeretnya menjauh dari tubuh Rio. "Apalagi elu, nggak akan kuat. Lu kuatnya ngangkat piring. Paling elu cuma mau cari kesempatan pegang-pegang calon cowok gue!"

"Nggak usah kepedean deh," Samsul mengibaskan rambutnya yang tidak panjang.

"Udah-udah nggak usah berantem," ucap seorang guru perempuan yang baru saja, kebetulan menjadi pembina upacara. Sementara guru-guru yang lain masih tetap pada posisi mereka. "Udah buruan diangkat, kasian Rio..." ucapnya panik.

"Berat bu, diangkat berdua aja nggak kuat," ucap Irawan yang baru saja mencoba mengangkat tubuh Rio dengan bantuan Heru, tapi hasilnya masih sama. Tubuh Rio tidak terangkat.

"Coba minta tolong Jems," celetuk Indah yang membuat seluruh pasang mata langsung tertuju ke arah Jamal. "Jems kan kuat, waktu mos aja Rio pernah duduk di punggung Jems pas lagi push up."

"Yaudah, ibu panggil Jems," guru wanita itu melambaikan tangan ke arah Jamal seraya berteriak. "Jems! Sini!"

Jamal mengerutkan kening, menatap heran ke arah guru tersebut. "Ngapain panggil gue?!" Gerutu Jamal. Ia masih tetap pada posisinya, tidak ingin mendekat ke arah Rio.

"Jems!! Buruan ke sini!!"

Teriakan guru tersebut membuat Jems dengan terpaksa melangkah kan kakinya, berjalan malas ke arah mereka.

"Ada apa?" ketus Jamal setelah ia berdiri di samping ibu guru. Manik matanya sekilas melirik ke wajah Rio yang masih tidak sadarkan diri.

"Jems, tolong kamu angkatin Rio. Bawa dia ke UKS kasian dia. Temen-temen nggak ada kuat." Jelas ibu guru.

"Apa, gue ngangkat dia," Jamal menunjuk dirinya sendiri menggunakan telunjuk. Setelah itu ia membuang muka sambil berkacak pinggang. "Ogah....!!" tolak Jamal dengan tegas.

"Jems, kok lu gitu sih... tega. Kasian tau." Ucap Indah.

"Iya Jems, yang lain nggak ada yang kuat. Lu pasti kuat." Imbuh teman yang lainnya.

"Ogah!!" Tegas Jamal kembali.

"Jangan gitu Jems, ayo angkat Rio. Kasian..." bujuk ibu Guru.

"Ayoh lah Jems, kasian."

"No!" Ketus Jamal.

"Tega lu Jems," ucap Indah.

"Apa lu nggak kuat juga?" Cibir Samsul.

"Gue kuat, tapi gue males. Bisa besar kepala entar dia." Ujar Jamal.

"Jems, tolong angkat dia plis, ibu mohon."

Jamal terdiam, menatap malas ke arah Rio.

"Ayo Jems..." ucap Samsul.

"Iya Jems... kasian."

"Jems, ibu mohon angkat dia atau kamu nggak naik kelas?" ancam ibu guru tersebut.

"Ayo, Jems."

"Ayo Jems..."

Terdengar suara para murid bersorak, memohon kepada Jamal. Hal itu membuat telinga Jamal merasa berisik dan terpojok.

"Ayo Jems."

"Ayo Jems."

"Ayo Jems."

Teriakan penuh harap masih terus terdengar, membuat Jamal menjadi tersulut emosinya.

"Oke.... Stoooop!!" teriak Jamal yang membuat para murid-murid, langsung terbungkam. "Gue mau angkat dia, tapi ada syaratnya." Putus Jamal.

"Ya ampun Jems, cuma ngangkat doang pake minta syarat segala." Kesal ibu Guru. "Yaudah, apa syaratnya?"

"Jangan kasih tau dia nanti, kalo gue yang udah angkat dia." Ucap Jamal.

"Oh, cuma itu syaratnya yaudah," ucap ibu guru. Kemudian ia mengedarkan pandangannya kepada murid-murid yang masih berdiri di hadapannya. "Anak-anak, nanti kalo Rio udah sadar, jangan kasih tau dia kalo si Jems yang angkat dia ke UKS."

"Yaaa bu....!" Jawab para siswa serempak.

Akhirnya, meski dengan rasa malas dan separuh hati, Jamal berdiri tepat di dekat tubuh Rio yang masih tergelatak. Beberapa saat kemudian ia mulai berjongkok, meletakkan tangan kanan di bawah tengkuk Rio, sementara tangan kiri ia letakan di bawa lututnya. Rio mengambil napas panjang sebelum ia mengangkat tubuh Rio.

"Huuuuuft...." Jamal membuang napas lega setelah Rio sudah berada di bopongannnya.

"Haah... enteng amat."

"Iya, enteng amat sih?"

Heran para murid saat Jamal mampu dengan mudahnya mengangkat tubuh Rio, lalu berjalan ke arah UKS. Beberapa siswa lain mengikuti Jamal dari belakang. Semenatara itu upacara bendara harus dihentikan sebelum selsesai dilaksanakan.

Sesampainya di UKS, meski Jamal dengan separuh hati mengangkat tubuh Rio, tapi ia terlihat begitu hati-hati saat menidurkan Rio di atas tempat tidur berseprai putih.

Jamal menghirup lalu membuang napas lega, setelah ia berhasil menidurkan Rio di atas dipan. Sorot matanya menatap lurus ke arah wajah Rio yang masih belum sadarkan diri.

Tanpa sadar telapak tangannya yang kasar mengulur ke arah wajah Rio, kemudian ia letakan di atas kening dan membelai nya lembut. "Ngrepotin aja," ucapnya ketus.

avataravatar
Next chapter