webnovel

Jodoh

Sudah lama aku menduda. Sudah hampir 5 tahun mungkin. Kuhabiskan waktuku hanya kerja dan kerja.

Salah satu anak buahku, tiba tiba datang ke rumah ku. Dengan membawa istri dan putri satu satunya mereka.

"Ada apa nih pak Parjo? Tumben datang ke rumah."

"Kalau Bapak bersedia, tolong menikah dengan anak saya."

"Huk huk." Aku terbatuk batuk mendengar perkataan anak buaku.

Aku lihat wajah pak Parjo dan istrinya. Mereka serius. Aku lihat anak mereka. Masih muda dan cantik.

"Pak. Saya sudah menjelang 50 tahun. Anak Bapak mungkin baru 25 tahun. Jauh sekali Pak. Terus kenapa harus saya. Yang kedua apakah anak Bapak mau dengan duda yang sudah berumur."

"Itu Iren sendiri yang mau dan bersedia. Saya hanya menyatakan permintaannya."

Aku seorang laki laki yang biasa saja. Hartaku juga biasa saja. Tapi aku sangat dekat dengan seluruh anak buahku. Terutama Pak Parjo ini Jadi mereka semua tahu sekali tentang aku dan anak laki-laki ku yang masih berusia 10 tahun.

Perceraian ku dulu dengan istri, karena memang mungkin sudah tak saling cinta. Istriku bekerja karir yang sedang menanjak. Dan aku hanya punya pabrik kecil.

Perhatian, cinta dan harta. Tiba tiba menjadi masalah besar.

Akhirnya aku menikahi Iren dan bahagia. Karena tak lama kemudian Iren langsung hamil.

Sembilan bulan berselang dan saat melahirkanpun tiba. Aku takut sebenarnya ke RS. Takut sekali tertular covid-19. Tapi tak mungkin pula melahirkan di rumah.

Selama persalinan Iren dirawat 5 hari karena Sectio Caesaria. Selama di RS aku tetap jaga jarak dan masker terus. Sengaja ambil kelas VIP. Biar tak ada orang yang masuk. Kecuali dokter dan perawat tentunya dengan masker.

Sampai di rumah. Tiba tiba anakku Zaid menjadi kuning dan harus dirawat di ruang intensif khusus bayi.

Aku dan istri terpaksa bolak balik ke RS dan hanya bisa menunggu di luar saja. Selama 5 hari. Saat itu mungkin disitu kami lengah. Masker kain terlepas saat tertidur. Atau kelengahan yang lain seperti jaga jarak dan cuci tangan.

Pagi itu saat Zaid baru berumur 10 hari. Tiba tiba badanku panas tinggi, dan mulai tenggorokanku sakit parah. Penciuman juga mulai terganggu.

"Mas, ke RS saja. Aku antar. Zaid kutitip pada ibu. Biar aku yang nyetir."

"Ren, kalau aku kena covid gimana?"

"Makanya ke RS. Biar pasti."

Demamku semakin tinggi. Dan kata Iren bicaraku sudah mulai ngelantur.

Sesampai di RS. Aku di periksa bermacam macam tes.

"Mas, Alhamdulillah rapid test kamu negatif." Kudengar Iren sepertinya agak teriak. Karena mulutnya terpasang masker.

Aku mulai sadar sepertinya setelah infus masuk.

"Tapi mas. Mas tetap masuk ke ruang isolasi. Karena hasil Labor yang lain ke arah covid-19."

"Kamu nggak bisa nungguin aku dong. Tapi kalau nunggu aku, Zaid sama siapa ya?"

"Gimana mas. Aku tandatangan ya Mas."

Aku hanya mengangguk lemah. Karena tubuhku seperti di pukul pukul. Tenggorokan ku bertambah sakit.

Bersambung