15 CWFJ 15 : Kembali Lagi

Setelah mandi, Nea termenung di depan meja rias kamarnya. Gadis itu melamun menatap kosong ke arah permukaan meja riasnya.

Nea masih tidak menyangka bahwa ia tadi begitu banyak bicara tentang dirinya sendiri pada Gilang. Apa Nea sudah berlebihan ya? Lalu keadaan Gilang sekarang bagaimana ya? Apa Gilang baik-baik saja dengan pembicaraan tadi?

Nah kan, sekarang Nea sangat overthinking. Banyak sekali pertanyaan yang mengandung kekhawatiran di pikirannya. Apa Gilang kecewa? Apa Gilang sakit hati? Apa lelaki itu baik-baik saja saat ini? Atau Nea harus menelpon Gilang dan bertanya?

Ah, Nea benar-benar jadi overthinking.

Ia menggelengkan kepalanya dan segera mengeringkan rambutnya dengan hari dryer.

Seraya mengeringkan rambut, Nea juga tampak sedang bertelepon dengan Lita.

"Ta.. gimana kafe Kemang?"

"It's okay kok Mbak. Jalan kayak biasanya. Emm, tapi ada beberapa pelanggan yang komplain sih mbak."

Nea menghentikan pergerakan mengeringkan rambutnya. Ia mematikan hair dryernya. "Hah? Komplain? Kafe yang di Kemang kan?"

"Iya Mbak. Tadi ada pelanggan yang komplain. Kenapa kok masih gak bisa menerima pesanan untuk acara. Mulai banyak nih pelanggan yang request terima pesanan untuk acara ultah, syukuran, atau buat nasi kotak gitu buat konsumsi dan sedekah gitu." Jelas Lita dari sebrang sana.

Nea mengangguk paham. "Aaahh, iya iya.. aku paham kok Ta. Aku rencana mau open itu juga sih. Tapi kan kita gak punya driver gitu. Plus, berarti kita harus nambahin chef ya?"

"Iya Mbak. Chefnya tambahin dua bisa?"

"Eh, kok gitu? Jadi bakal tiga chef dalam satu kafe dong?"

"Ya gimana Mbak. Kafe pusat ini kan udah mau on the way tiga lantai. Chefnya kewalahan tentunya. Umm, aku periksa sih keuntungan kita masih banyak kok Mbak kalau buat gaji chef tambahan. Bisa gak Mbak?"

"Harus segera Ta?"

"He.em.. iya. Masa mau dibiarin Mbak? Perihal kurir nanti rekrut satu aja. Untuk open order pesanan untuk acara ya di kafe pusat ini aja dulu. Yang di Depok jangan dulu." Saran Lita.

Nea diam sejenak. Ia masih berpikir tentang segala kemungkinan yang akan terjadi.

"Boleh gak kalau aku pikirin dua atau tiga hari lagi Ta? Kamu sambil suruh admin kita bikin banner di instagram. Banner pemberitahuan gitu kalau belum bisa terima pesanan untuk acara. Bisanya dine in dan bungkus aja. Kasih maximal order. Kalau minimal ordernya kan gak ada." Kata Nea.

Di sana, Lita mengangguk paham. "Oke deh Mbak. Tapi tolong pertimbangin yah Mbak. Omset kita kan aman. Brand minuman dan camilan yang kolaborasi juga aman-aman aja. Tante sama kakak sepupunya Mbak Nea juga terus investasi. Kita gak kurang apa-apa kok Mbak. Data pemasukan dan pengeluaran bagus. Trafic pelanggan bagus. Punya investor juga. Yang di Depok juga ratingnya naik terus abis grand opening lalu. Gimana?"

"Ya tetep aku pikirin dulu ya Ta.. dua atau tiga harian lagi. Oh iya, aku lagi gak bisa nelpon Rasyid. Kamu aja ya yang tanya-tanyain dia. Aku mau istirahat lebih awal aja. Ini jugs mantau sistem kasir sebentar habis ini tidur." Ujar Nea.

"Ah, iya Mbak. Oh iya Mbak, perihak resign dari bank gimana? Mbak masih straight sama rencana Mbak kan?"

Nea terkekeh mendengar hal itu. Dari suara Lita, sepertinya gadis itu benar-benar menginginkan Nea untuk go publik.

"Hahaha.. iya Lita. November. Dua bulan lagi. Udah ya.. aku tutup telponnya. But, makasih untuk hari ini. Sampaikan ike semua karyawan." Kata Nea ramah.

"Hmm, oke Mbak. See you." Ucap Lita dan akhirnya sambungan telepon itu berakhir.

Nea langsung meregangkan badannya. Kemudian melanjutkan mengeringkan rambutnya. Ia juga sambil memantau jalannya sistem kasir dan data input yang selalu ditangani oleh para admin.

Kegiatan memantau itu berlangsung selama satu setengah jam. Tadi setelah rambutnya kering, Nea juga sambil makan dan memberi kulit wajahnya makanan berupa skincare.

Setelah kegiatannya selesai dan Nea sudah mengganti pakaiannya dengan piyama, gadis itu langsung menuju kasurnya.

Sekarang masih jam setengah sembilan malam. Biasanya Nea tidur di jam sepuluh malam.

Tapi, karena Nea sudah merencanakan sesuatu yang akan membuatnya terlelap begitu saja. Jadi ia memilih tidur lebih awal. Gadis itu sudah menyiapkan amplop merah muda yang berisi serbuk emas di atas meja nakasnya.

Nea mengatur posisinya terlebih dahulu. Pintu kamar sudah tertutup. Suhu AC sudah terasa nyaman. Kemudian ia menyelimuti dirinya hingga selimut itu sampai ke pinggang.

Nea mengambil amplop merah muda itu. Ia membuka amplop tersebut.

Mendadak, Nea bimbang. Isi serbuk emas itu hampir memenuhi amplop. Apa Nea harus menggunakan seluruh serbuk itu? Apa hanya diambil sedikit saja?

Di tengah kebingungannya itu, ada suara yang Nea kenali terdengar begitu saja di ruang kamarnya. Tentu saja ia kaget setengah mati. Tapi suara itu adalah suara si pria maskulin. Nea sangat hafal dengan suara itu.

"Ambillah serbuk emas itu hanya sebanyak dua jari. Gunakan jaru telunjuk dan ibu jarimu untuk mengambil serbuk itu, kemudian letakkan di telapak tangan kirimu. Tiuplah dengan pelan, maka dengan segera serbuk emas itu akan bekerja." Kata suara misterius itu.

Nea menelan ludahnya. Ia sedikit gugup, namun ia melakukan perintah itu.

Nea mengambil sejimpit serbuk dengan dua jari. Ia menaruh sedikit serbuk itu ke telapak tangan kirinya. Kemudian Nea memberi tiupan pelan pada serbuk itu.

Dengan segera, serbuk itu langsung bereaksi menjadi hamburan asap cantik keemasan. Terlihat mengambang di udara dan sangat lembut. Hingga akhirnya asap lembut itu mengeluarkan aroma harum yang membuat Nea sangat nyaman.

Dan perlahan, kedua mata Nea tertutup rapat. Ia sangat amat mengantuk.

Bruk!

Tubuhnya langsung berbaring begitu saja seperti orang pingsan di atas bantalnya sendiri. Nea siap mengarungi waktu untuk masuk ke dunia imajinasinya lagi.

***

SLAP!!

Kedua mata Nea terbuka.

Kali ini, ia tidak berada di sebuah kamar kecil bernuansa pink yang pernah ia tempati waktu itu. Kali ini, Nea berada di ruangan kamar yang lebih luas dan cat temboknya bernuansa gold dan putih.

Ada dua pilar putih dengan motif ornamen berwarna emas yang mewah. Dua pilar itu berada di samping ujung kiri dan kanan tempat tidur yang Nea tempati.

Nea masih berbaring. Ia mengamati langit-langit kamar tersebut yang sangat tinggi. Beda sekali dengan ruangan kamarnya. Pasti jika ia berteriak di sini, suaranya akan menggema karena ruangan kamar ini tinggi sekali bagian atapnya.

Kemudian Nea duduk. Kedua tangannya merasakan kelembutan tempat tidur yang ia tempati.

Tentu saja. Itu tempat tidur awan.

Nea melongo. Mengapa tidak ada yang menyambutnya?

Sepersekian detik, pria maskulin yang terakhir kali ia temui itu langsung menghampirinya dari arah pintu masuk. Badannya tinggi tegap dan tatapannya tajam. Nea menelan ludahnya gugup. Baru kali ini ia melihat kesempurnaan yang tidak bisa ia bandingkan dengan yang lain.

"Sudah bangun?" Tanya pria maskulin itu yang kini suaranya melembut.

*****

avataravatar
Next chapter