12 CWFJ 12 : Kesempatan Kedua

"T-tunggu. Aku masih belum paham. Jika ini dunia imajinasiku, lalu apakah aku sedang---"

"Ya. Kamu sedang terlelap di atas tempat tidurmu sendiri di dunia nyata."

SLAAPP!!

PLAASSHHH!!!

Kedua mata Nea terbuka. Ia langsung mengambil banyak napas dari mulutnya. Tunggu, ia melihat langit-langit kamar pribadinya. Ia kembali di dalam apartemennya.

Ini dunia nyata.

Nea terbangun. Duduk. "G-gue mimpi???" Tanyanya pelan.

Sekali lagi, Nea mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Saat ini ia benar-benar sedang ada di tempat tidurnya sendiri. Dia di dalam kamar pribadinya sendiri.

Kamar tidurnya bahkan masih terbuka. Nea ingat tadi ia baru pulang kerja dan langsung mencari amplop pink itu. Ia bahkan belum mandi dan belum makan.

"Yang tadi nyata gak sih?" Gumamnya pelan. Ia masih mengumpulkan nyawanya.

Kemudian Nea melihat jam arloji kecilnya yang ia pakai di pergelangan tangan kiri. Nea membulatkan kedua matanya. Ia benar-benar ingat ia tadi pulang kerja pukul 17:00.

Sampai di apartemennya, Nea juga ingat masih pukul 17:25. Lalu kenapa sekarang masih 17:40?

Yang benar saja??!! Hanya lima belas menit di dalam dunia awan itu? Padahal Nea merasa sangat lama di sana. Mulai dari bangun dari ranjang awan, bertemu gadis muda yang cantik itu, lalu digiring ke kamar rias, menunggu lagi di dalam kamar asing itu, lalu membuat keributan juga, dan ia terhenti ketika sedang berbicara dengan pria maskulin itu.

Nea kemudian panik mencari bekas amplop dan kartu yang berisi nomor 1711 itu.

Ternyata masih ada. Dua benda itu tergeletak begitu saja di atas selimut kasur Nea yang rapi. Nea memegang kartu putih tadi yang memiliki gambar bingkai bunga-bunga krisan berwarna pink dan merah.

Namun, tulisan angka di kartu putih itu sudah tidak ada. Kosong. Berarti Nea benar-benar ada di dunia imajinasi itu tadi. Ia bukan hanya sekedar bermimpi ringan.

Kartu putih yang semula ada angka 1711 berwarna emas dengan serbuk gliter itu sudah kosong. Dan tidak ada bekas serbuk emas yang tersisa sedikitpun. Kasur Nea bersih.

Nea menghela napasnya sejenak dan mengusap wajahnya gusar. Ia memijat pangkal hidungnya dan juga pelipisnya. Ia masih bertanya-tanya mengapa ia tereliminasi? Bukankah pria maskulim tadi bilangnya Nea masih menunggu 4 jam lagi di sana? Lalu mengapa kini dirinya kembali lagi ke dunia nyata?

Entah mengapa Nea jadi ketagihan. Tidak rela saja ia kembali berada di sini lagi.

Gadis itu kemudian memilih untuk segera mandi, masak, dan makan. Nea anti sekali beli makanan online atau order lewat kurir makanan. Lebih baik ia masak sendiri saja karena jadinya lebih banyak dan bisa dimakam berkali-kali.

Nea memilih menyibukkan dirinya sendiri. Setelah masak dan makan, ia langsung membuat matcha latte lagi.

Kebiasaannya selalu teratur. Ia harus tetap memantai Rasyid dan Lita. Setiap sore setelah maghrib begini Nea pasti meminta zoom melalui video call saja karena hanya tiga orang.

Dengan begitu, Lita dan Rasyid selalu bisa memperlihatkan suasana kafe padanya. Setelah itu Nea juga harus memantau laporam data daily dan weekly. Sebenarnya sudah ada jaringan sistem yang dibuatkan IT, tapi jujur saja Nea belum bisa dan belum hafal mengutak-atik hal itu.

Karena ia sudah pusing mengerjakan data-data bank dan customer yang juga dengan sistem bank di komputer. Nea rasanya tidak kuat saja jika harus ditambah mendalami sistem baru.

Tapi mau tak mau ia juga harus segera memahami jaringan sistemnya sendiri. Data input dari admin, entry data pembayaran yang dilakukan kasir, dan juga data input yang selalu bergerak dari manajer kafenya tentu saja Lita dan Rasyid.

Sebenarnya, sejak berdirinya kafe kedua di Depok itu Lita dan Rasyid banyak mengeluh. Mereka berdua kini terpisah dan harus ekstra menjaga kafe tersebut sampai jam tutup.

Nea memang masih memikirkan tentang perekrutan baru dua orang sarjana S1 di bidang akuntasi. Boleh juga lulusan dari jurusan komunikasi dan bahasa. Namun ia masih harus melihat grafik omset, pendapatan, dan bonus yang didapat setiap harinya. Harus dipantau terus.

Jika masih ada ruginya atau minusnya, Nea belum bisa merekrut orang baru. Ia tentu tidak boleh melakukan itu dalam bisnisnya. Lebih baik memiliki kelebihan, dari pada kekurangan.

Mungkin bulan depan saja Nea putuskan harus bagaimana. Mau tak mau Rasyid dan Lita juga harus memiliki partner kerja untuk memantau perkembangan kafe tersebut.

Tapi di samping memikirkan hal itu, Nea sebenarnya juga masih kurang percaya dengan orang lain.

*****

Keesokan harinya. Hari Selasa.

Nea berangkat lebih awal. Karena ada beberapa data customer yang kemarin masih belum ia selesaikan.

Gadis itu segera menempati meja kerjanya dan menyalakan komputer. Sambil menunggu komputernya menyala, Nea mengamati amplop merah muda dan kertas putih kosong di kedua tangannya.

Di samping kesibukannya, ia juga masih penasaran dengan dunia itu. Apa dunia seperti itu benar-benar ada? Nea bahkan lelah sekali menebak apakah itu hanya mimpi atau bukan bukan. Namun angka emas itu benar-benar menghilang tak berbekas. Nea juga masih ingat ia terlelap begitu saja ketika serbuk emas yang membentuk angka 1711 itu membaur di udara dan menjadi aroma yang harum.

Itu benar-benar nyata. Bukanlah mimpi semata.

"Pagi Neeeeyy, ngeliatinnya serius amat. Kertas kosong gitu dilihatin."

Nea langsung menoleh pada Dina. "Kamu bisa lihat dua benda ini Din?" Tanyanya heran.

Dina mengangguk. "Ya bisa lah. Aneh banget pertanyaannya. Masih pagi Ney, belum sarapan ya?"

"Aku tanya beneran. Ini.. amplop pink ini juga bisa kamu lihat?"

Dina mengangguk lagi. Gadis itu juga akhirnya menyemburkan tawanya karena sikap Nea yang aneh pagi ini. "Sarapan dulu Ney, atau minum yang anget dulu. Kayaknya kamu butuh sesuatu untuk menyadarkan kebingunganmu. Hehehe.."

"Aku beneran tauk Din."

"Lah, aku juga beneran. Kamu yang aneh. Ngapain nanya-nanya bisa lihat ini bisa lihat itu. Emangnya benda-benda itu invisible?"

"Iya emaaannggg!!" Sembur Nea kesal.

Dina menoleh pada temannya itu dan memandang Nea dengan tatapan aneh. Dina menggelengkan kepalanya saja. Ia membiarkan Nea berkutat dengan pikirannya sendiri.

Kemudian, datang seorang laki-laki tukang tebar pesona dan cari perhatian.

Gilang.

Pria itu tersenyum lebar dan langsung berhenti di depan meja Nea. "Pagii Ney.."

Nea yang masih serius dengan bekas amplop dan kartu kosong di tangannya itu mau tak mau mendongak. "Eh, iya Gilang." Balasnya dengan wajah kurang ramah.

"Kamu kenapa? Oh iya.. kemarin sore kok udah pulang gitu aja? Lupa ya sama kesepakatan kita?" Tanya Gilang.

"Ah, i-iya Lang. Aku lupa."

"Kesepakatan apa?" Tanya Dina ingin tahu.

Gilang langsung mendengus dan menatap Dina tak suka. "Kepo aja!!" Semburnya.

"Halah!! Situ kalau mau tahu informasi Nea tanya-tanya terus ke aku. Terus kalau aku kepo gini gak boleh? Enak banget hidup kamu!" Sungut Dina.

Gilang nyengir. Kemudian ia menjelaskannya sebentar. "Nea sama aku sepakat pulang kerja bareng. Kan searah gitu pulangnya."

"Terus barusan kamu protes kenapa Nea kemarin gak pulang bareng kamu gitu?"

"Iya. Cuman tanya aja aku." Kata Gilang.

"Hmm, berarti kamu itu belum cukup mengenal Nea!! Nea itu tiap hari senin selalu bawa koper mini. Karna weekend dia balik di rumah orang tuanya. Jadi kalau senin sore waktu pulang kerja, Nea itu harus cepet-cepet bawaannya. Pengen segera balik ke apart. Kalau aku jadi Nea ya gitu. Ngapain harus nungguin kamu." Ketus Dina.

Gilang menatap Dina dengan tatapan menyebalkan. "Terus ajalah Din kayak gitu. Bentar lagi aku juga udah gak di sini."

"Eh!! Maksudnya?"

Saat ditanya Dina seperti itu, Gilang langsung masuk lebih dalam dan bersiap di balik meja Tellernya. Dina jadi merasa sedikit bersalah.

Sedangkan Nea tidak mau tahu dengan keributan pembicaraan yang ia dengar sejak tadi.

Nea tidak mau ambil pusing. Masa bodoh saja dengan kericuhan Gilang dan Dina setiap hari. Ia saat ini sedang tidak mau diganggu oleh apapun. Dan demi neptunus! Nea ingin sekali kembali ke dunia itu. Tapi bagaimana caranyaaa??

Ah, sepertinya Nea harus fokus bekerja. Sudah ada beberapa customer bank yang masuk dan mengambil nomor antrian.

*****

"Ney, kayaknya omongan Gilang tadi kok serius ya. Dia juga gak nyamperin kita siang ini. Kenapa ya sama dia?"

Nea mengedikkan bahunya atas pertanyaan dari Dina. "Gak tahu aku Din."

"Kali aja gitu kamu tahu. Kamu kan yang sekarang deket sama dia."

"Ya tapi kan bukan dekat yang seperti itu Din."

Dina mengangguk paham. "Iya sih. Tapi kamu kenapa sih hari ini? Lesu banget. Itu tadi kamu manggilin para customer juga kayak gak bertenaga dan kurang ramah. Gimana kalau kamu ditegur Pak Rudi?"

"Hmmm, biarin aja. Aku lagi gak mood. Banyak pikiran." Kata Nea lesuh seraya menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya. Ia memang hobi membawa bekal dari hasil masakannya sendiri.

Dina cemberut. "Cerita doonngg.." serunya.

"Lain kali aja deh Din.. aku cerita juga gak bakal kamu percaya." Ujar Nea lemas tampa melihat ke arah Dina.

"Emang apaan sih?"

"Pokoknya lagi gak bisa cerita sekarang. Ntar kamu nyangka aku gila. Simpan aja rasa penasaran kamu itu. Aku lagi mau cari jalan keluar lain." Ucap Nea.

"Astagaa.. iya deh iyaaa. Aku gak maksa kali ini. Dasar!! Hobi banget bikin orang penasaran." Ujar Dina sambil terkekeh.

Setelah mereka berdua selesai makan siang, mereka berdua sama-sama menuju toilet wanita.

Dina hanya butuh mencuci kedua tangannya dan merapikan lipstik. Sedangkan Nea minta ditinggal sendirian saja. Gadis itu berdiam diri sambil mengamati pantulan dirinya sendiri pada kaca toilet yang memanjang.

Kedua tangannya bertumpu pada tepi-tepi wastafel. Nea mengamati bekas amplop merah muda dan kartu kosong itu lagi.

Ia benar-benar dibuat galau dengan hal itu. Ia masih penasaran dengan dunia itu.

Kemudian Nea memegang kartu kosong itu. "Bisa gak sih aku kembali ke sana??!! Urgent taauuukk.. masa iya aku udah dieliminasi? Ah, kamu!! Pria maskulin!! Balikin aku ke sana dooonngg.. kamu kan udah tahu aku dikasih target sama ibuku. Aku gak tahu mau nyari pasangan di mana. Aku gak mau juga bayar orang buat jadi pasangan. Ribet banget!!!" Omel Nea keras-keras.

Tidak ada siapapun di toilet itu. Hening.

Nea mendecakkan lidahnya dan mengetuk-ngetuk kedua kakinya kesal. "Tuh kan. Aku udah kayak orang gila. Mana mungkin sih ini!!!" Gerutunya kesaall sekali.

Jika ada orang yang melihat tingkahnya berbicara sendiri pada sebuah kartu kosong, pasti Nea sudah ditertawakan mati-matian. Nea saja malu sendiri pada dirinya sendiri.

Namun, tanpa disangka-sangka entah dari mana munculnya. Jatuh lagi sebuah amplop merah muda dengan ukuran yang sama.

Nea membulatkan kedua matanya dan mengambil amplop baru itu yang terjatuh di wastafel. Padahal wastafel itu agak basah. Namun amplop itu kering saja. Waterproof seperti maskara.

"Eh, pria maskulin!! Kamu denger yaa? Ini aku diundang lagi nih jadinya??" Tanya Nea. Yang tentu saja tidak akan ada sahutan atas pertanyaannya.

Nea membuka amplop baru itu. Ternyata isinya adalah serbuk emas. Nea tahu cara menggunakan serbuk itu. Ia akan mengunjungi dunia itu lagi nanti malam. Pasti.

Ini adalah kesempatan kedua untuknya.

*****

avataravatar
Next chapter