11 CWFJ 11 : Dunia Imajinasi

"Kau sudah selesai membuat keributan apa?" Tanya pria itu. Bahkan, suaranya saja membuat Nea semakin dagdigdug!

Pria itu memiliki postur tubuh tinggi dan tegap. Kulitnya putih bersih. Mungkin tinggi pria itu sekitar 180cm. Ia melihat Nea dengan kepala menunduk. Perbedaan tinggi mereka terpaut 20cm.

Nea masih mengangakan mulutnya. Khas seperti orang bengong yang melihat duit segunung.

Bagaimana tidak bengong? Pria di hadapannya itu adalah serbuk berlian. Bukan!! Lebih tepatnya bongkahan berlian yang berharga. Sangat tampan dan terlihat maskulin.

Kedua mata pria itu tajam seperti elang namun juga terlihat seksi dan membius. Layaknya gambaran tokoh maskulin di dalam komik. Gaya rambutnya adalah Short Blowout with Tapered Sides. Sangat cocok untuk pria tampan yang memiliki sorot mata tajam dan membius seperti sekarang ini.

"Bicaralah atau aku akan menyuruhmu menghirup serbuk keemasan ini." Ancam pria itu yang sudah siap dengan serbuk keemasan yang berada dalam wadah kecil di tangan kanannya.

Nea langsung berkedip dan menutup mulutnya. Gadis itu melangkahkan kakinya mundur satu langkah. "J-jangan. A-aku hanya sempat panik sebentar. A-aku...TIDAK!!! Seharusnya aku di sini yang marah. Mengapa kau mengancamku? Sebenarnya kalian semua ini apa? Ini tempat apa dan berada di mana? Wajar jika aku panik. Dan seharusnya salah satu dari kalian menjelaskanku tentang semua ini. Ini sama saja dengan penculikan!!" Tegas Nea yang kini wajahnya marah dan garang.

Namun pria di hadapannya itu tersenyum miring. Bukannya takut atau semakin marah, Nea malah menelan ludahnya karena melihat senyuman kecil itu.

Kemudian pria itu menunduk dan mendekatkan wajahnya dengan jarak satu jengkal dari wajah Nea.

"Kau berada di dunia khayalanmu." Ujar Pria itu dengan penekanan yang khas.

Nea kembali tak berkedip hingga pria itu menjauhkan wajah darinya. "A-apa maksudmu?" Tanyanya gugup lagi.

"Bawa dia ke ruanganku." Kata pria itu yang malah melengos pergi begitu saja.

Sedangkan dua pria lain berpakaian formal setelan jas hitam putih iti segera memegang tangan Nea kanan dan kiri.

Mereka berdua tidak menekan tangan Nea sedikitpun. Hanya memegang saja, lebih tepatnya menuntun Nea untuk berjalan mengikuti pria tadi entah menuju ke mana.

Tiba-tiba pria tampan tadi yang berjalan sekitar dua meter di hadapan Nea berhenti begitu saja.

Dan dua pria yang menuntun Nea itu juga menghentikan langkah mereka. Kini Nea mau tak mau berdiri lebih dekat di belakang pria maskulin itu.

"Aaaaaaaa...!!!" Teriak Nea ketika lantai awan yang mereka pijak tiba-tiba naik ke atas.

WUUUUSSSHHH!!!

"Huuufftt..huuuffttt.. okee.. tenang Ney.. tenaaaanngg.." ujar Nea yang menenangkan dirinya sendiri. Lantai awan yang ternyata kini berbentuk segi empat ukuran 2x2 meter itu masih menuju ke atas.

Nea serasa menaiki lift tembus pandang yang bahkan tidak ada pegangan apapun. Ah, lebih tepatnya mirip seperti karpet terbang!

Nea menelan ludahnya berkali-kali. Ia seperti sedang menembus ke atas dari langit ke langit. Dan selama proses naik itu, Nea melihat banyak hal.

Layaknya berada di dalam lift dengan kaca transparan, Nea bisa melihat bagian-bagian awan yang ia lewati. Gambarannya seperti sedang melewati setiap lantai gedung bertingkat. Begitulah rasanya. Dan setiap lantai yang Nea lewati itu berisi banyak bangunan kamar per kamar seperti ruangan Nea tadi.

Ada juga lantai yang bersisi para pasangan muda mudi. Dan lagi, ada juga lantai awan yang bersisi banyak sekali orang berlalu-lalang dengan teratur.

Hingga akhirnya lift awan itu berhenti. Berhentinya tepat di depan sebuah pintu besar yang terdiri dari dua bagian pintu.

Pintu itu terlihat sangat kokoh dan tinggi. Berwarna emas dengan ukiran-ukiran indah yang dipenuhi dengan gliter keemasan. Nea menyentuh bagian dari pintu itu ketika ia disuruh masuk. Rasanya ternyata sama seperti pintu biasanya. Ah, mengapa Nea terlihat seperti orang bodoh ya?

Ruangan itu luas. Terdapat enam pillar berwarna silver dengan disertai motif ornamen yang mewah.

Dua orang pria yang menuntunnya tadi menghilang. Ternyata mereka berdua tidak ikut masuk ke ruangan itu bersama Nea. Kini hanya Nea dan pria maskulin itu saja yang berada di dalam ruangan khusus itu.

Dinding yang mengitari ruangan itu bagian atasnya dipenuhi dengan bola-bola lampu aesthetic yang terbalut benang-benang berwarna pastel. Mungkin jika malam, bola-bola lampu itu akan dinyalakan dan tentu saja akan sangat cantik.

Nea tertegun. Ruangan seluas ini beralaskan lantai awan terasa aneh baginya.

Sebagian ruangan itu Nea tidak tahu isinya apa. Karena di bagian tengah ruangan luas berbentuk segi empat itu ada sekat tinggi yang seperti pembatas antar ruangan. Dan kini Nea hanya melihat sebuah meja mewah dan ada kursi empuk yang kalau di dunia nyata, Nea tahu itu semua harganya sangatlah mahal.

Pria maskulin berbadan tinggi tegap dengan menggunakan setelan jas stylist waran gold itu menyuruh Nea duduk di kursi yang disediakan. Kursi yang Nea duduki itu adalah kursi yang menghadap ke meja si pria maskulin itu.

"Kuberitahu saat ini juga, bahwa kau sudah tereliminasi dari sini. Mungkin empat jam kemudian akan ada yang menjemputmu. Dan kau harus menghirup serbuk emas itu mau tidak mau." Tekan pria itu.

"Tunggu, apa maksudmu? Aku bahkan tidak tahu mengapa aku di sini. Memangnya aku ini peserta? Kandidat? Kenapa ada kata tereliminasi? Seolah-olah aku yang ingin berada di sini namun aku juga yang berbuat salah sehingga aku tereliminasi. Kalian semua gila!!" Sembur Nea sambil bersedekap dada.

Pria maskulin itu menghembuskan napas panjangnya. Ia tidak bisa marah. Dan ia tidak duduk sejak tadi, dia hanya berdiri di balik mejanya.

Bukannya menjawab pertanyaan Nea, pria itu malah menjelaskan semua informasi pribadi Nea.

"Nea Adzkiya. Usia 26 tahun 10 bulan. Dua bulan lagi kau akan berulang tahun di bulan November tanggal 17. Dan kau dituntut untuk segera memiliki pasangan atau calon suami oleh ibumu. Kau berwawasan tinggi dan terkenal baik. Namun kekuranganmu hanya satu, yaitu pasangan." Jelas pria maskulin itu.

Nea membulatkan kedua matanya. Ia langsung menegakkan punggungnya dan memegang tangan kursi dengan kedua tangannya sambil menatap pria itu tak suka.

"Dari mana kau tahu namaku? Mengapa kau tahu segala informasiku? Kau ini siapa??!! Kau memasang cctv di apartemenku hah??" Tanya Nea mulai tak suka.

Lagi, pria maskulin itu tak menjawab pertanyaan Nea. Ia malah bertanya hal lain. "Hari Jum'at saat makan siang di meja kantormu. Kamu tidak ingat telah membuat permohonan apa?"

Nea mengernyit. Itu adalah hari di mana sebuah amplop pink itu jatuh di depan wadah bekalnya.

"Benar. Hari di mana ada amplop merah muda yang jatuh di hadapanmu. Dan hanya kamu saja yang bisa melihat amplop itu. Apa permohonan dalam hatimu saat itu?" Kata pria itu lagi yang saat ini seperti tahu isi pikiran Nea.

"Aku membuat permohonan?"

Pria maskulin itu mengangguk. "Coba ingat."

Nea terdiam. Ia ingat. "Aku... menginginkan ada dunia imajinasi yang bisa kumasuki. Dan aku berharap aku bisa mendapatkan kekasih yang sesuai dengan keinginanku."

"Benar. Itulah keinginanmu. Dan aku mendengar keinginanmu yang cukup serius itu. Maka amplop itu adalah undangan otomatis yang dihadirkan untukmu dari dunia ini." Kata pria maskulin itu.

Nea terdiam beribu kata. Mana ada dunia seperti itu? Apa ia masih mimpi sekarang?

"J-jangan bilang....i-ini adalah---"

Pria maskulin itu mengangguk. "Iya. Dunia ini adalah dunia imajinasimu. Aku yang mengendalikan segala sistem di sini. Dan nomor undangan di amplop itu adalah tanggal dan bulan lahirmu. Di sini, kau bisa memilih kekasih yang kau inginkan."

Gila!!! Nea merasa dirinya gila. Tapi ia sudah berada di titik percaya saat ini.

"T-tunggu. Aku masih belum paham. Jika ini dunia imajinasiku, lalu apakah aku sedang---"

"Ya. Kamu sedang terlelap di atas tempat tidurmu sendiri di dunia nyata."

SLAAPP!!

PLAASSHHH!!!

Kedua mata Nea terbuka. Ia langsung mengambil banyak napas dari mulutnya. Tunggu, ia melihat langit-langit kamar pribadinya. Ia kembali di dalam apartemennya.

Ini dunia nyata.

Nea terbangun. Duduk. "G-gue mimpi???" Tanyanya pelan.

*****

avataravatar
Next chapter