5 CWFJ 05 : Target Baru Dari Sang Ibu

Hana merengut. "Iya, aku tarik omongan aku. Tapi aku tuh kesel sama dia. Masa belum juga punya pasangan?"

Kemudian Dika mengelus tangan kanan istrinya. "Kamu gak inget apa perjuangan Nea buat kita? Kamu yang hanya dosen, dan aku yang hanya seorang mandor di pabrik. Kita bisa pensiun awal karena siapa? Kita bisa duduk manis di rumah sambil merawat ibu kamu, juga karna siapa? Berhasil punya rumah masuk ke perumahan residence, karena siapa? Punya motor, sepeda, dan mobil. Karena siapa? Semua itu karena Nea, Maa.. kita cuman punya satu anak perempuan aja tapi dia udah mengangkat derajat kita. Perihal usia menikah? Harusnya kamu jangan bikin Nea tertekan. Iya kalau Nea punya pasangan, setidaknya ada alasan untuk mendesak agar dia menikah. Nea belum ada pasangan atau calon. Bisa kasih dia waktu? Dia anak kamu loh. Anak kita berdua dan dia anak satu-satunya kita. Tega nyakitin perasaan dia cuman karena usia ideal menikah?"

Hana terdiam dan ia merenungkan kembali apa yang sudah ia ucapkan pada putrinya tadi.

Maklum saja, memang perihal usia menikah bagi anak perempuan itu adalah hal yang sangat sensitif juga untuk sang ibu. Rasa khawatir yang ada pada perasaan Hana sangat bertolak belakang dengan apa yang Nea rasakan.

Hana memang menikah di usia muda, yaitu 22 tahun. Di jamannya itu, menikah di usia muda memang sebuah hal yang diharuskan.

Dan sekarang usia Hana sudah 49 tahun dan Dika sudah 51 tahun. Usia mereka hanya beda dua tahun saja. Dan usia pernikahan mereka sudah terjalin selama 27 tahun. Karena Hana baru mengandung Nea saat usianya 23 tahun.

Mengapa Nea anak tunggal? Karena Hana memiliki penyakit di rahimnya, yang akhirnya mengharuskannya angkat rahim. Dan tentu saja ia tidak bisa memiliki anak lagi. Dan Dika pria yang sangat setia selalu mendampingi Hana dalam hal apapun.

"Kita dulunya memang nikah muda, tapi tolong jangan targetkan itu pada anak kita. Nea itu sabar banget loh, Han. Dia pernah minta sesuatu sama kita? Nggak loh. Sejak kuliah dia mandiri dan jalanin usaha kecil-kecilannya itu secara bertahap. Mau bebanin dia sama usia ideal menikah?" Tanya Dika.

Kemudian Hana menggelengkan kepalanya. "Aku takut saja, Pa. Nikah terlalu tua juga gak baik. Punya anak kecil di usia tua itu capek. Aku cuman pengen aja lihat Nea punya keluarga kecil dan rumah tangganya harmonis. Ada yang jaga dia, dia punya sandaran lain selain kita berdua, dan dia gak kesepian terus kayak gini. Itu maksud aku."

Kini Dika memahami keinginan istrinya. Pria itu terkekeh pelan sambil mengelus lengan istrinya. "Kalau seperti itu keinginan kamu, harusnya cara menyampaikan maksud kau itu tadi ya seperti itu. Bukan menyangkut ke masalah telat nikah sampai perihal menopause. Itu jelas Nea sakit hati dengernya. Dia pastinya juga ada keinginan menikah, tapi dia itu mungkin lagi selektif milih pasangan. Dia gadis yang cerdas. Nea tentunya juga gak ingin salah memilih pasangan. Dia tentunya juga punya impian punya keluarga kecil dan bahagia."

"Ya terus sekarang gimana? Anaknya ngambek itu."

"Hahaha.. ya kamu tenangin sana. Kita sebagai orang tua itu juga punya salah. Minta maaf sana sama Nea."

"Iya. Tapi Pa, gimana sama ajakan dari keluarga Mas Ginanjar?"

Mendengar pertanyaan itu Dika termenung. Satu minggu yang lalu, sahabatnya yang bernama Ryan Ginanjar itu menemuinya. Dika akrab menyapa sahabatnya itu dengan nama belakang, yaitu Ginanjar.

Satu minggu yang lalu Hana dan Dika memang tidak sengaja bertemu dengan Ginanjar dan istrinya. Mereka bertemu di sebuah acara seminar kampus dan Hana mendatangi acara itu dengan mengajak Dika.

Keluarga Ginanjar yang terkenal kaya dengan banyak usaha di mana-mana itu memang kenal baik dengan Hana dan Dika. Ginanjar adalah teman Dika saat SMA.

Dan Ginanjar mengajukan permintaan pada Dika dan Hana. Tentang persetujuan mempertemukan anak mereka yang sama-sama masih single untuk dijodohkan. Dan permintaan itu masih Hana pikirkan sampai sekarang.

"Memangnya Nea apa gak marah jika kamu setuju dengan perjodohan itu?" Tanya Dika.

"Tapi anaknya Mas Ginanjar ganteng. Masa Nea gak mau. Mas Ginanjar sama istrinya juga udah tahu Nea. Mereka yang minta terang-terangan loh Pa.. berarti kan Nea terlihat cantik di mata mereka."

"Aku paham.. tapi Nea masa mau? Tega kasih dia opsi perjodohan?"

Hana tersenyum tipis. "Gimana kalau kita kasih target?"

"Hidup kamu emang penuh target aja dari dulu, Ma.. emang apa?" Tanya Dika yang akhirnya penasaran.

"Sekarang kan pertengahan September. Dua bulan lagi kan Nea udah ulang tahun ke 27 tahun. Kalau sampai hari ulang tahunnya itu dia belum bisa bawa calon, kita suruh ketemu sama anaknya Mas Ginanjar gimana?"

"Emang Ginanjar mau nunggu sampai dua bulan? Ada-ada aja kamu, Ma.."

"Ih, kamu gak denger waktu itu? Istrinya aja bilang kalau mau nunggu sampai kapan aja. Soalnya, anak mereka itu masih single dan sama-sama susah nyari pasangan sampai sekarang. Mirip Nea kan.. gimana?"

Dika mengangguk paham. Jika seperti itu, tidak ada salahnya juga dicoba. Nea pasti juga akan merenungkan hal itu.

Pria itu mengangguk. "Ya udah sana. Bilanginnya pelan-pelan. Jangan lupa minta maaf." Peringatnya.

Hana tersenyum dan bangkit dari duduknya. Wanita itu kemudian masuk ke dalam kamar putrinya.

Klek!

Hana masuk dan melihat Nea tengah duduk di kursi kerjanya sambil menyesap matcha lattenya meskipun sudah tak hangat lagi.

"Maafin Mama ya Ney.. marah banget ya?" Tanya Hana sambil memeluk putrinya dari belakang.

Nea memang sangat sabar. Ia langsung mengusap kedua tangan Hana yang berada di bawah lehernya. "Dikit.." ujarnya sambil terkekeh.

Hana langsung mengecup kepala putrinya agak lama. Kedua matanya juga melihat ke layar laptop Nea yang menampilkan excel yang terisi banyak kolom dan angka.

"Lagi ngerjain datanya omset kafe kamu yah?"

"Iya, Ma.. kafe kedua ngelonjak banget padahal masih lima hari. Grand openingnya terakhir hari Minggu ini. Aku bikin grand opening kali ini seminggu full, pelanggan Depok yang request grand openingnya diadain satu minggu full."

"Ah gitu.. terus kamu mau ke Depok?"

Nea mengangguk. "Rencananya besok. Kafe di Kemang aku tutup dulu dua hari. Dan berangkat ke Depok sama Lita. Boleh kan?"

"Iya.. Mama bolehin deh.."

Kemudian Nea membalikkan kursinya dan memeluk ibunya. "Makasih.."

"Sama-sama sayang.. sekali lagi Mama minta maaf ya sama ucapan Mama yang mungkin udah kelewat batas tadi."

Nea mengangguk di pelukan Hana. "Iya.. Nea paham kok. Nea maafin."

"Tapi Nea, Mama masih boleh gak sih kalau Mama kasih kamu target?"

"Apa Ma?"

"Dua bulan lagi dari sekarang kan pertengahan November kamu ulang tahun yang ke 27 tahun. Mama mau kamu sedikit usaha dalam waktu dua bulan itu kamu akan bisa bawa pasangan. Mama sama Papa udah bicarain ini. Tapi, jika kamu tidak kunjung membawa pasangan sampai hari ulang tahun kamu.. kamu harus mau ya ketemu sama anaknya sahabat Papa. Ketemu aja. Kalau kamu nolak dia juga, abis itu Mama sama Papa gak akan maksa apapun lagi. Tapi Mama minta kamu nya juga jangan sengaja diem aja. Buka hati itu harus, Nea. Ya?"

Nea masih diam dan sedikit berpikir. Dua bulan? Dalam waktu dua bulan itu memangnya ia bisa mendapatkan siapa coba?

Tapi akhirnya Nea menganggukkan kepalanya pelan. Target baru dari sang ibu. Target berupa mencari pasangan.

Dalam waktu dua bulan. Hmm, Nea bisa atau tidak ya? Sekarang saja pikirannya sudah ke mana-mana. Bahkan pikiran Nea sudah terisi tentang siapa saja lelaki yang ada di circle kehidupannya.

Dan mengapa circle kehidupannya itu-itu saja? Nea rasanya sedikit menyesali lingkup hidupnya. Mengapa jajaran lelaki yang ia kenal hanya itu-itu saja dan semua lelaki itu ia rasa tidak ada yang akan sejajar untuk ia jadikan pasangan hidupnya. Huft!!

*****

avataravatar
Next chapter