2 CWFJ 02 : Gilang dan Strategi Barunya

Waktu pulang kerja pun tiba. Meskipun molor empat puluh lima menit. Hal itu sudah biasa bagi Nea. Ia sendiri juga tidak pernah terburu-buru pulang karena tidak ada yang menunggunya pulang.

Nea tinggal di apartemen. Dia tinggal sendirian selama dua tahun terakhir ini.

Padahal rumah kedua orang tuanya itu tidak jauh juga dari kantor bank, namun Nea memang suka tinggal sendiri dan hidup mandiri. Kedua orang tua Nea sehat dan baik-baik saja di rumah.

Nea itu adalah anak tunggal. Namun kedua orang tua Nea tidak tinggal berdua saja. Masih ada nenek Nea yang berusia 80 tahun di sana. Dan juga ada Om dan Tante Nea yang satu rumah bersama orang tuanya.

Mereka memang sengaja tinggal bersama untuk merawat sang nenek yang sudah tua. Dan suasananya sangat hangat dan harmonis.

"Ney.."

Panggilan itu membuat Nea menoleh ke belakang. Gilang lagi Gilang lagi. Nea hanya bisa menahan kerisihannya.

"Eh, ada apa Gilang?"

"Ck, kenapa sih kalau bicara sopan banget? Santai juga gapapa kali Ney. Kan udah selesai kerja. Kita udah kerja bareng dan kenal selama dua tahun. Lima hari dalam satu minggu selalu ketemu. Jangan kasih batasan yang tinggi banget dong.." celoteh Gilang.

Gilang itu memang asik orangnya. Supel dan suka bicara. Lelaki itu tampan dan wajahnya kurang lebih mirip Park Seo joon. Dan Gilang memang sedikit tengil dan suka bercanda.

Postur tubuh Gilang tinggi, tegap, atletis, dan pelukable banget. Tapi kenapa Nea tak suka ya?

Mendengar celotehan itu, Nea lagi lagi meringis kecil. "Hehe aku memang biasa gini, Lang. Lebih suka formal sih."

"Ck, ya masa gitu terus maupun di luar kerja?"

Nea hanya menanggapinya dengan dengusan pelan dan senyum tipis.

"Ayolah, aku anterin sesekali. Kamu tinggal di apartemen dekat sini kan?"

"Iya. Tapi makasih Gilang, aku bisa---"

"Udah berapa kali sih Ney nolak terus? Ajakan nganterin kamu pulang itu gak melulu soal modus. Aku paham kok kalau dinding batasan kamu itu tinggi dan kokoh banget. Tapi bisa gak sih lunak dikit? Ada kalanya kamu bersikap santai." Kata Gilang serius.

Nea terdiam saat Gilang berani menyela kalimatnya yang belum selesai. Keduanya berpandangan sejenak. Kemudian Nea agak kikuk dan memandang ke arah lain sambil menghembuskan napas panjangnya.

Pegangan tangan Nea pada tasnya sedikit mengerat. Kuku ibu jari gadis itu jadi sedikit bermain menggaruk pegangan tasnya sendiri yang berbahan kulit ular.

Rupanya gadis itu diam seraya menimbang jawaban.

Klek!

Ternyata Gilang sudah membukakan pintu mobil bagian jok depan sebelah kiri. "Ayo masuk. Taksi lama ditungguin." Keukeuh Gilang.

Nea menggigit bibir bawahnya. Di kepalanya terus mengulang dua kata, yaitu 'masuk, enggak. masuk, enggak. masuk, enggak.' Hmm ada kah yang punya sifat seperti Nea ini?

Suasana depan kantor sudah sepi tentunya. Para karyawan lain termasuk Dina juga sudah pulang masing-masing.

Ini semua karna nasib Nea sendiri. Nea tidak bisa berkendara sendiri. Ia tidak bisa mengendarai motor maupun mobil. Dari dulu ia selalu diantar-jemput oleh ayahnya. Kalau bukan ayahnya, pasti naik mobil pribadi bersama sopir.

Perlahan, akhirnya Nea menggerakkan langkah kakinya. Menuju mendekat pada Gilang.

Ya. Nea hari ini tidak bisa lagi menolak kemauan Gilang yang kuat. Apalagi Gilang tadi sudah berkata menggunakan nada serius. Nada tegasnya terdengar keren dan nyaman di telinga.

Kini Nea sudah duduk anteng di jok samping kiri Gilang. Suasana hening di dua menit pertama setelah mobil Gilang bergabung ke tengah jalan raya.

"Laper gak Ney?" Tanya Gilang ramah.

"Langsung pulang aja Lang. Aku ada stok makanan kok di rumah." Kata Nea kaku.

"Rumah? Bukannya di apartemen?"

"Iya. Apartemen itu udah dibeli. Jadi sama aja itu udah jadi rumahku."

Gilang mengangguk paham. "Oh gitu.." tanggapnya singkat.

Setelah itu hening lagi. Gilang fokus menyetir, sedangkan Nea tak bergerak sama sekali dan hanya menatap ke depan.

Kemudian Gilang menoleh dan tersenyum pada Nea selama beberapa detik. "Susah juga ya Ney mau deket sama kamu. Maaf deh kalau ketahuan modusnya." Ucapnya.

"Ah, iya gapapa."

"Aku tahu dari Dina. Kalau kamu gak bisa nyetir motor ataupun mobil. Baru tahu beberapa hari ini sih. So, setelah ini kamu boleh kok bareng sama aku. Hal itu gak ngerepotin sama sekali karena jalan pulang kita satu arah. Dan sebagai catatan, aku gak akan punya maksud lain lagi. Janji. Cuman pengen anterin kamu aja." Kata Gilang dengan tulus. Kali ini ia ingin mencoba mendekati Nea dengan cara yang berbeda.

Gilang punya strategi baru. Nea sangat sulit didekati, jadi Gilang pikir bahwa dirinya harus bisa menjadi teman baik Nea. Sehingga Nea bisa terbiasa dekat dengannya.

"Eh, gak perlu Lang. Aku lebih bebas naik taksi aja. Kalau pengen mampir ke mana-mana jadi bebas aja." Tolak Nea.

"Aku tahu itu bentuk penolakan lagi, Ney. Kali ini aku beneran nawarin tumpangan aja kok. Serius. Lagi pula sekarang musim hujan. Aku sering lihat kamu kedinginan nungguin taksi lewat. Sendirian. Cuman anterin pulang aja deh.. kamu berangkat sendiri seperti biasa it's okay. Aku gak akan maksa ngajakin berangkat bareng."

Nea masih diam. Rasanya risih sekali kalau sudah agak dipaksa begini.

Tapi Nea sebenarnya juga sudah sadar diri dengan umurnya dan sikapnya selama ini. Nea memang terlalu tertutup dengan semua pria. Jadi selama ini memang tidak ada pria yang berhasil menembus dinding kokoh yang Nea buat itu sebagai perisai untuk dirinya.

"Emm, ya udah deh kalau gitu. Tapi jangan maksa buat mampir makan atau hang out ya Lang. Aku masih gak nyaman soal itu." Ujar Nea pelan.

Gilang langsung berkata YES! dalam hatinya. Betapa senangnya ia ketika akhirnya Nea mau diantarnya pulang setiap pulang kerja.

Itu saja sudah cukup bagi Gilang. Dan hal itu berpeluang sangat besar untuk bisa membuka pintu hati Nea.

"Nah gitu dong.. oke deh siap. Thanks ya udah mau aku anterin pulang kerja." Kata Gilang senang.

Nea tersenyum lebih lebar kali ini. Kemudian ia terkekeh pelan. "Aku yang makasih, Lang. Kan aku yang nebeng di mobil kamu." Ujarnya kalem.

"Hehehe iya sama-sama. Mau dengerin musik gak?"

"Boleh."

"Request judul apa?"

Selanjutnya mereka mulai sedikit demi sedikit mengobrol. Gilang memang lumayan pintar dalam mencari topik demi topik meskipun sepele. Contohnya menanyakan musik tadi.

Ah, begitulah usaha cowok yang ingin melakukan pendekatan pada cewek yang ia suka. Selalu saja akan terbit sebuah cara entah dari mana ide tersebut.

Bagi Gilang, ia harus memahami sifat Nea dan hal yang membuat perempuan itu nyaman. Gilang memang ingin membuat Nea nyaman padanya. Apakah hal itu bisa terjadi ya?

*****

avataravatar
Next chapter