1 CWFJ 01 : Amplop Invisible

Hari Jum'at pukul 10:30 AM.

Di kantor cabang sebuah bank konvensional. Lebih tepatnya bank bernama Bank Republik Mandiri. Singkatnya disebut Bank BRM.

Kantor cabang bank tersebut terletak di Jakarta Selatan.

Jika tadi pagi suhu ruangan kantor itu sangat segar dan suasananya senyap, kini suasananya penuh orang atau customer bank yang mengantri menuju Teller atau Customer Service (CS).

Bunyi jarum jam dan hembusan udara AC kini sudah tidak bisa terdengar lagi. Semua petugas Teller dan CS saling berbicara pada customer mereka.

Ada Teller yang sibuk menjelaskan beberapa hal. Ada juga yang sedang menghitung beberapa ikat uang seratus ribuan sebanyak lima bendel. Berarti itu jumlahnya lima puluh juta.

Suara printer, mesin uang, dan juga suara sepuluh jari tangan yang mengetik di keyboard komputer. Semua suara itu menyatu bersama suara percakapan banyak orang yang meskipun tidak rusuh, namun terdengar ramai.

"Mbak Nea ini gimana sih! Saya tuh udah ke sini dua kali. Kemarin sama sekarang. Capek karena jarak rumah saya jauh dari area kota. Masa kayak gini aja gak bisa diurus cepet!!" Protes seorang wanita ibu-ibu yang suaranya sudah memenuhi ruangan.

Sontak saja kebisingan percakapan pada lainnya pun akhirnya berhenti. Semua pasang mata mengarah pada meja Customer Service dengan papan nama Nea Adzkiya.

Nea langsung meringis dan berdecak pelan. Gadis itu tetap tersenyum pada customernya. Tentu saja ia tidak bisa marah pada customer.

Gadis itu menghirup banyak oksigen sebelum memulai berbicara dengan ramah dan lembut pada customernya. "Mohon maaf Ibu, atas kendala yang terjadi. Namun, ketika Ibu datang ke sini selalau ada data yang tertinggal seperti KTP dan buku rekening. Jika dua hal itu tertinggal lagi, bagaimana cara saya memprosesnya? Mungkin hari Senin saja Ibu kembali datang ke sini dan membawa kelengkaan datanya."

Kemudian sang Satpam menghampiri meja CS nomor 01 itu. Meja dengan papan nama Nea Adzkiya.

Satpam bernama Dandi itu ikut berbicara. "Mohon maaf Mbak Nea, ada masalah apa?"

Nea tersenyum. "Tidak apa-apa kok Pak Dandi. Ibu Rosita ini lupa membawa salah satu kelengkapan data lagi hari ini. Tentu saja saya tidak bisa memproses pembukaan rekening kedua yang beliau minta." Jelasnya lagi.

Sedangkan ibu-ibu bernama Rosita itu hanya bisa mendengus pelan. Bibirnya yang berlipstik merah itu cemberut dan memanglingkan wajahnya ke arah lain.

Pak Dandi terkekeh. "Wah, mohon maaf kalau begitu ya Ibu.. mungkin hari Senin atau di hari yang longgar bisa ke sini lagi. Sebelum berangkat, pastikan kelengkapan datanya." Tegasnya lembut.

Bu Rosita melengos dan cemberut. Usianya memang sudah 55 tahun. Wajar saja jika sedikit cerewet dan mudah tidak menerima keadaan.

"Ah, ya sudahlah!! Saya akan kembali besok!!" Ujar Bu Rosita dan langsung berdiri dari duduknya. Padahal, besok hari Sabtu dan tentu saja kantor bank manapun akan tutup.

Postur tubuhnya yang sedikit gendut itu agak terhuyung ketika nekat berjalan cepat. Nea ingin membantu, tapi masih ada antrian selanjutnya yang harus ia panggil. Ia juga tak bisa keluar seenaknya saja dari wilayah meja kerjanya.

"Pak Dandi.." panggil Nea.

Pak Dandi menoleh. "Ya mbak?"

"Tolong carikan Bu Rosita taksi ya. Saya tahu beliau berangkat sendirian. Bantu dia buat dapetin taksinya."

"Oh, iya mbak. Siap." Ujar Pak Dandi dengan tersenyum.

Nea mengangguk lega. Kemudian fokus kembali dan memanggil nomor antrian selanjutnya.

*****

Pukul 11:30 AM.

"Huuuuffftt.. akhirnya habis. Pantatku agak mati rasa." Keluh Dina sang CS meja nomor 02.

Nea nyengir saja seraya mengganti alas kakinya dengan sandal jepit yang nyaman. "Kamu bawa bekal Din?"

"Iya.. ini baru aku keluarin. Kamu bawa gak Ney?"

Nea yang memang akrab disapa 'Ney' itu menganggukkan kepalanya. "Iya. Aku juga bawa nih.. masak apa kamu?"

"Gado-gado.. aku lagi suka makanan berbumbu. Bikin sendiri tadi pagi buta lari ke pasar."

"Beneran lari?"

Dina mendengus. "Ya enggak lah Ney! Kalau lari beneran, bisa-bisa badanku langsing seperti badanmu."

"Hahahaha bisa saja. Badanmu itu juga bagus, Din. Jangan banding-bandingin ah.." ujar Nea yang memang tidak suka dirinya yang body goals menjadi perbandingan temannya sendiri.

Dina nyengir. "Bercanda. Lagian kan emang tubuhku pendek dan berisi. Maklum nasib tinggi badan cuman 150 centi. Hehehe.."

"Yang penting normal Din.. udah ah, makan yuk."

"Iya.. mau delivery order healthy drink gak Ney?"

"Boleh.. aku pesenin yang imun booster yang biasanya yah."

Dina mengangguk sambil menatap ke arah layar ponselnya. "Iya. Yang mix berry kan?"

"He.em.." sahut Nea yang masih mengunyah.

Mereka berdua memang hobi membawa bekal dan tidak terlalu suka makan di warung atau kafe seperti yang lainnya. Karyawan lain padahal sudah meninggalkan kursi panas mereka masing-masing dan pergi istirahat ke tempat lain.

Di hari Jum'at begini waktu istirahat memang diberi satu setengah jam. Karena untuk para pria muslim yang harus melaksanakan sholat jum'at terlebih dahulu. Tentu saja antrian customer sudah habis. Tapi setelah jam istirahat selesai pasti masih ada lagi customer lain yang datang ke bank.

Begitulah keseharian Nea. Jabatan tetapnya adalah seorang Customer Service di kantor bank tersebut.

Nea lulusan S1 sarjana ekonomi jurusan Akuntansi. Dan di usia 26 tahun ini, Nea sudah genap bekerja sebagai Customer Service selama dua tahun. Ia memulai karirnya di kantor bank itu sejak usianya 24 tahun.

Perempuan itu lulus kuliah saat berusia 22 tahun. Dua tahun sebelumnya ke mana? Ah, Nea sempat bekerja sebagai kasir sebuah perusahaan besar. Namun ia tidak betah saja di sana dan resign. Nea lebih suka bekerja di bank meskipun banyak sekali hari-hari lembur. Yang penting bisa utuh libur dua hari saat weekend.

"Wooaaahh.. masih pada makan?"

Kepala Nea dan Dina sama-sama menoleh ke pintu samping. Ternyata Gilang yang muncul.

Nea hanya bisa mendengus pelan saja saat Gilang berhenti di samping meja kerja dan tersenyum sendiri. Nea tidak suka dengan Gilang entah kenapa.

"Udah tahu ngapain tanya sih!" Kesal Dina.

"Ck, biasa aja.. gak akan aku minta juga kan makanannya. Hehe hai Ney.." ujar Gilang yang nadanya langsung lembut ketika menyapa Nea.

Nea tersenyum tipis. "Iya, hai Gilang."

"Tuh, Din. Kayak Nea dong. Senyum, kalem, ramah, gak ngap-ngapan kayak kamu!!" Sungut Gilang.

"Ngap-ngapan kamu bilang? Emangnya aku ini ikan!!"

Otomatis Nea langsung menahan tawanya. Sementara Gilang langsung tertawa renyah tanpa beban.

Tentu saja hal itu lucu. Ikan yang hidup di dalam air itu mulutnya selalu ngap-ngapan.

Gilang menghentikan tawanya. "Pulang nanti naik apa Ney?"

"Taksi online Lang, kayak biasanya."

"Gak mau aku anterin aja? Kasian mobilku gak pernah ada yang ngisi jok sampingku." Ujar Gilang yang bahasanya sangat modus.

Sedangkan Dina langsung bergidik geli. "Jadi sopir taksi aja sana. Biar banyak yang duduk di situ." Sahutnya gemas.

Gilang melotot saja lalu kembali menatap Nea dan menagih jawaban.

Nea meringis kecil. "Emm, mendingan kamu buruan berangkat sholat jum'at deh Lang. Dari pada nawarin aku tumpangan." Ucapnya lembut namun membuat Gilang kecewa.

Nea memang sangat sulit didekati. Hanya Gilang saja yang tidak kapok setiap hari.

Dan setelah Gilang pergi, Nea langsung menghembuskan napasnya lega. Ia kembali bermain dengan pikirannya sendiri.

'Andai saja cari pacar sesuai kriteria itu mudah didapatkan, pasti aku udah nggak jomlo lagi.' Omelnya dalam hati.

'Aku juga ingin punya pasangan. Tapi ya bukan dari circleku yang ini-ini aja. Masa iya aku harus sama Gilang gitu? Di mana coba aku bisa dapetin laki-laki tampan, mapan, baik hati dan tidak sombong? Minimal wajahnya mirip gitu sama Oppa Lee Min Ho. Atau Mas Eun Woo? Andai aja ada dunia imajinasi yang bisa kumasuki begitu saja. Tapi mana ada dunia seperti itu!!' Omelnya lagi dalam hati.

Pluk!

Sebuah amplop berwarna soft pink jatuh entah dari mana di atas meja kerja Nea. Tentu saja Nea langsung memungut amplop itu.

Amplopnya kecil dan polos. Namun di ujung pucuk amplop itu direkat dengan lelehan lilin warna merah berbentuk hati.

"Amplop apa ini?" Tanya Nea dengan suara bergumam.

Dina yang sedang mengunyah itu menoleh ke Nea. "Hm, apa?"

"Ah, gapapa Din.. kok ada amplop jatuh entah dari mana."

"Heh? Amplop apa?"

"Iniiii!!" Seru Nea sambil menunjuk ke arah amplop kecil yang tergeletak manis di depan wadah bekalnya.

Dina mendongak penasaran dan sedikit berdiri dari duduknya. Setelah melihat ke arah meja kerja Nea, perempuan itu memberengut. "Apa sih?!! Gak jelas kamu.. gak ada apa-apa gitu. Aku tahu kamu penat mikirin customer yang hari ini banyak cerewetnya. Udah. Anteng ya. Makan bekal kamu sampai habis."

Nea mengangakan mulutnya lebar-lebar. Jelas saja ada amplop pink di situ. Meja kerjanya berwarna coklat tua, apakah mata Dina rabun jauh?

"Tapi Din ini ada am---"

"Aku mau keluar dulu. Kayaknya kurir yang anterin healthy drink udah di depan."

"Din tapi---"

"Gak ada amplop Neeeeyyy.. udah ah.." seru Dina dan pergi melewati meja Nea begitu saja.

Nea melotot ke arah amplop itu. Ia memegang amplop itu dengan dua jarinya saja. Jari telunjuk dan ibu jari. Kemudian ia memasukkan amplopnya begitu saja ke dalam saku blezer yang ia pakai. Akan ia buka ketika ia sudah pulang nanti. Itupun kalau Nea ingat.

*****

avataravatar
Next chapter