1 1

Arsene Lé Finn mendadak menjadi sorotan utama di koridor kampus, ia berdiri mematung saat kedua matanya tak berkedip menatap pantulan mata teduh di hadapannya. Tidak sesuai dugaan saat tubuhnya yang seringan kapas bak laki-laki idaman itu membawa bunga ke fakultas FIB dan dengan tak sengaja ia jatuhkan ke lantai karena perkara ini lebih jauh menyedihkan.

"Udah ya. Tadi kan dengar? Kita putus."

Sudah dua kali bahkan sejak ia berdiri di sana, di tengah-tengah koridor, cewe itu berkata minta putus. Wajah Arsene seketika seperti kepiting rebus. Dia melirik bagian bahu sisi kiri sang gadis, yang ternyata ada sosok laki-laki berpenampilan agak rapih dari Arsene yang hanya memakai kaus dan celana jeans.

Dari sini Arsene tau alasan cewe itu minta putus.

"Gue gak bisa LDRan kaya gini. Dan terus-terus nungguin kabar lo yang padahal tuh kita cuma beda fakultas doang. Oiya, kenalin, dia Arfan. Pacar baru gue. Udah ya, gue sibuk. Dah, Sene."

Segampang itu.

Arsene tak berkutik saat gadis itu bergelayut mesra menautkan tangannya pada Arfan. Dia bahkan masih terngiang-ngiang mendengar pernyataan Ralin yang membuatnya seperti seonggok sampah.

"Dia bilang apa, Sene?" Terdengar suara Jeri begitu Arsene terduduk di rumahnya sendiri. kejadian itu bahkan masih terngiang-ngiang sampai sore menjelang malam ini. Jeri sedang memegang lighting, mengurusi keperluan foto-foto untuk pemotretan besok di kampus. Arsene ingin mencalonkan diri sebagai ketua Badan Eksekutif Mahasiswa.

Arsene sendiri masih melihat sisi baik Ralin sampai sekarang. Membalikan pikiran-pikirannya pada apa yang pernah mereka lakukan dulu di semester dua. Padahal mereka dikatakan oleh sebagian besar mahasiswa adalah couple goals, tapi sayang hanya sampai siang tadi.

"Putus," jawab Arsene sekenanya.

"Putus? Lo diputusin? Kok bisa? Kenapa?" Pertanyaan itu bertubi-tubi seakan tidak percaya bila couple goals kampus putus di tengah jalan.

Dan sebenarnya Arsene itu type cowo yang bisa dibilang fotogenic, humble, setia, peduli banget dan parahnya, cowo sempurna. Hampir.

Dia gak berengsek, no party, no alcoholic atau no drug. Dia itu lurus yang gak pernah tau mau beloknya kapan dalam hal mundur dari derajatnya yang lumayan. Dia juga mandiri dengan kualitas anak konglomerat. Sayangnya, masih saja ia menyedihkan di saat-saat butuh support.

"Gue mundur aja, Jer dari BEM."

"Gila-gila! Engga, Sene. Gue gak setuju."

"Bilang Ferdi. Gue mau healing dulu."

"Asene! Gila lo ya."

"Iya, gila," kata Arsene menyerah. Dia menghela napas pasrah.

"Gue bilang lo ke Bunda nih! Cuma masalah cewe langsung mundur. Gak ngerti lagi gue alasan mundur lo nanti dibilang klise, Sene. Masa cuma karena cewe, Ferdi bakalan ketawain lo."

"Silakan," balas Arsene.

"Udah deh, jangan bercanda."

"Gue mau ke kamar dulu." Arsene berdiri dari kursi. Pikirannya mendadak kosong melompong. Entah karena putusnya dia dari Ralin atau karena ada memori tersendiri yang mencuat balik dari masalah itu.

Anehnya, Arsene tidak memohon-mohon untuk balikan di saat itu juga. Bukan kah ia cinta? Cinta itu butuh diperjuangkan, bukan? Dan Arsene tidak melakukan itu untuk memperpanjang pacaran mereka yang baru enam bulanan itu terhubung.

Sedih?

Demikian dari pengalaman teman-temannya yang putus cinta, banyak dari mereka untuk memperjuangkan rasa cintanya. Tapi, entah Arsene Kelu. Tapi perasaannya mengabu.

"Sene! Gimana sama projectnya!" teriak Jeri. Arsene tak peduli, dia melengos meninggalkannya sendirian. Yang Arsene butuhkan saat ini hanya satu, rehat sejenak.

***

avataravatar
Next chapter