9 Hari ketigaku denganya

Semua orang suka dengan pemandangan sore ini, pemandangan saat matahari kembali pada sarangnya. Di tepi pantai menatap matahari yang kian lama kian menghilang ditelan lautan luas.

Kamipun sama, bahkan kami berlama-lama disana hanya untuk menikmati suasana yang diciptakan oleh yang maha kuasa atas segala hal di Bumi ini.

"Udah jam 7 malem nih, yuk pulang" Aditya mengingatkan

"Oh iya, nanti kemaleman. Yuk?!" Bagas mengajakku pulang.

Terlebih dahulu Bagas membayar pesanan kami tadi sebelum akhirnya menuju parkiran untuk mengambil mobilnya.

"Kalian tunggu disini aja ya" Bagas meminta kami menunggu di pintu keluar dan dia pergi mengambil mobilnya di Parkiran.

Sementara itu, aku dan Aditya kembali merasa canggung.

"Ngomong-Ngomong kok tadi lu kaya tau hal-hal yang gue suka?, apa kebetulan?" Aditya membuka pembicaraan namun matanya tak berani menatapku.

"Perasaan aja kali" Jawabku singkat.

"Iya kali" Tambahnya.

"Kok bisa sih lu lupa sama orang sebaik Bagas, lu gak liat betapa cintanya dia ke elu?"

"Percuma juga aku kasih tau kamu gak akan paham"

"Oh, iya.."

"Cuman Kok.."

"Cuman apa?" Aku memotong pembicaraan dan menatapnya.

Dia menjadi gugup karnanya.

"Engga.., maksut gue emang Yandra yang lu tau itu mirip gue banget ya?"

Aku hanya tersenyum tanpa menjawab apapun, bagiku menjelaskanpun percuma.

Mobil putih Bagaspun berhenti tepat di depan kami. Tanpa berlama-lama kami segera masuk. Aku duduk di kursi belakang, Aditya duduk disamping bagas di depan.

"Heh, jalan. Malah diem aja" kata Aditya

Bagas dan Aditya hanya bertatap-tatapan.

"Hoooo, bilang dong ah" seolah Aditya tau maksut Bagas

Aditya turun dan memintaku duduk di sebelah Bagas. Aku hanya menurut saja.

Bagas langsung melajukan mobilnya menuju ke Rumahku.

"Mishel suka sama makanan tadi?" Bagas menanyakan pendapatku.

"Suka kok, enak" Jawabku sembari tersenyum

"eeheeemm, gue kok gak ditanya ya Gas" Aditya sedikit geram.

"Dit, tadi lu makan apa aja? Jangan lupa bayar ke gue" Celoteh Bagas.

"Yeeeeee, dasar Medit lu. Pelit kuburanya sempit tau" Aditya merespon.

Aku hanya tertawa melihat tingkah mereka.

"Lucu ya Shel?, Adit tu emang suka begitu. Bakat dia jadi pelawak" Bagas menjelaskan sembari tersenyum.

"Iya, kenapa gak jadi pelawak aja Dit?" Tanyaku.

"Ledek aja trusss, ledekkk" Suara Aditya terlihat kesal.

Justru itu membuat aku dan Bagas kembali tertawa.

"Aku seneng liat kamu ketawa kaya gini Shel" Kata Bagas sembari memegang jemari tanganku.

Kali ini aku tak menolak, meskipun aku melilik-lirik Aditya yang masih ku anggap Yandra. Dia hanya menoleh ke jendela dan tak menghiraukan kami.

Jujur saja, aku sangat tidak nyaman. Aku teringat Yandra. Bahkan aku membayangkan jika Yandra di posisiku pasti dia akan menghindar dari siapapun karna kesetiaanya padaku.

Tapi entah mengapa, aku hanya diam saja mengikuti alur yang di rencanakan tuhan.

Tangan hangat Bagas menggenggam jemariku sepanjang perjalanan hingga tak sadar aku tertidur.

Cerita dari ibuku ketika aku terbangun pagi hari ini, Aditya yang menggendongku masuk ke kamar bukan Bagas. Katanya Bagas sedang cidera pundak jadi belum kuat mengangkat yang berat apalagi mengangkat manusia dengan berat badan 60Kg sepertiku.

Tapi jangan salah, tinggiku 175Cm. Jadi berat badanku masih dikategori ideal ya.

Adit sempat menanyakan pada ibu tentang Yandraku. Ibu hanya menceritakan kembali apa yang aku ceritakan tentang Yandra pada Ibu. Ibu juga menceritakan semuanya dari awal.

Bagas yang lelah tidur dahulu, sedangkan Ibu, ayah dan Adit masih membahasku.

Kata ibu, Ekspresi Adit seperti kasian padaku namun tak terucap apapun olehnya.

Ibu juga menyarankan agar dia menginap di rumah kami karna waktu sudah menunjukan pukul 11 malam. Namun dia menolak dan pulang.

Keesokan harinya, Aku terbangun jam 9 pagi. Waktu yang sangat siang untuk seorang gadis lajang sepertiku. Di kota B semua orang seperti sangat rajin. Kehidupan di pagi hari selalu ramai, tidak hanya pada hari kerja saja, hari liburpun sama. Mungkin aktifitas mereka sudah terbentuk sejak lama dan menjadi budaya.

Setelah ngobrol dengan ibu di kamar aku bergegas mandi dan sarapan.

Menghirup udara segar di teras sambil minum teh hangat dan makan Biskuit saja sudah sangat nikmat bagiku. Ditambah lagi, ada ibu yang duduk disebelahku sedang merajut.

Bagas pagi petang tadi pulang ke kota J, katanya ada urusan mendadak yang harus ia selesaikan.

"Bu, Bagas berapa hari di kota J?" tanyaku

"Kenapa?, sudah kangen ya?" Ibu meledek.

"Ah ibu, tidak... Mishel hanya tanya bu" Aku menjawab dengan nada sedikit kesal.

"Gak tau ya, cuman sih katanya mungkin 2 atau 3 harian"

"Ohh.."

Aku melanjutkan menikmati teh hangatku. Hingga tiba-tiba..

"Assalamulaikum"

"Waalaikumsalam Nak Adit"

"Ibu lagi sibuk apa, merajut?"

"Seperti yang kamu liat nak, cari nak Bagas ya?. Tadi pagi-pagi sekali sudah berangkat ke kota J katanya ada urusan Nak Adit" Ibu menjelaskan.

"Justru saya kesini karna disuruh Bagas bu" Jawabnya singkat sembari menatapku

"Oh, buat nemenin Mishel ya. Sini-sini masuk yuk duduk di dalam jangan di teras" Ibu dengan sopan menawarkan.

"Oh gak bu.. disini saja. Mishel juga disini, jadi saya disini saja"

"Mau minum apa nak Adit?"

Dia melirikku lalu kembali menatap ibu yang sedang berbicara padanya.

"Teh manis boleh bu"

"Ibu buatkan minum dulu ya sebentar, Nak adit ngobrol sama Mishel dulu ya"

Aditya hanya mengangguk.

Ibu berlalu meninggalkan kami berdua di teras.

"Bagas cinta banget sih sama lu, sampe gue diutus buat jagain lu segala. Untung gue lagi gak kerja"

"Bukanya kamu kerja di dekat restoran puncak waktu itu?"

"Oh, iya. Udah engga"

"Kenapa?"

"Di pecat"

"Di peeeecaat??"

"Iya, gak pernah liat orang dipecat ya?"

Aku hanya diam menanggapi pertanyaan menyebalkan itu.

"Lu sendiri disini mulu emang gak kerja?. gue denger-denger lu kerja di kota J bareng sama Bagas"

"Sudah engga"

"Kenapa"

"Panjang deh ceritanya. Lagian kalo aku kasih tau emang keadaan bakal berubah?"

"Maksutnya?" tanya Aditya bingung

Aku kembali meminum teh hangatku dan memakan biskuit yang tinggal sedikit lagi ku habiskan tanpa menghiraukan pertanyaan Adit.

"Ini nak teh-nya" Ibu memberikan secangkir teh manis hangat pada Aditya.

"Makasih bu"

Ibu kembali merajut namun pindah ke dalam rumah. Meninggalkan aku dan Aditya di teras.

avataravatar
Next chapter