1 Chapter 1: He's Gone

"Hana kau mencintaiku bukan?" tanya Shandy sambil menatap manik mata gadisnya itu dengan lembut dan penuh cinta.

"Tentu saja Shan, kenapa bertanya seperti itu?" jawab Hana merasa malu. Jika ditanya apa dia mencintai Shandy, tentu saja jawabannya adalah iya. Pria itu cinta pertama dan terakhir baginya.

Shandy tersenyum cerah pada Hana saat melihat ekspresi wajah menggemaskan yang ditunjukkan gadisnya itu.

"Hana, i love you." Shandy menggenggam kedua tangan Hana sehingga menciptakan sensasi hangat yang menjalar ke tubuh gadis itu. Ditatapnya kedua iris coklat indah milik Hana. Binar matanya semakin menambah cantik wajah mungil Hana.

"Aku tahu, Shan" jawab Hana tersenyum. Senyuman itu, yang selalu membuat Shandy tergila-gila.

Hana bukan tidak mau membalas kalimat cinta itu, ia hanya terlalu malu untuk mengatakannya, menurutnya Shandy pasti sudah tahu perasaannya tanpa ia harus ucapkan. Ia memang tak pandai dalam berkata-kata dan menunjukkan perasaannya.

"Aku ingin mendengarmu mengatakannya, Hana," ucap Shandy menatap lembut Hana, diam menunggu jawaban pernyataan cinta dari wanita berambut cokelat itu.

"...I love you too, Shan." Hana merona. Kedua pipinya merekah, menampakkan warna pink kemerah-merahan.

Malam itu mereka menghabiskan waktu bersama seperti biasa, menikmati saat-saat bersama dengan santai dan bahagia. Tidak ada yang tahu bahwa malam itu akan menjadi malam terakhir mereka bersama.

••••

Pagi-pagi sekali, Hana mendapat telepon dari rumah sakit, di seberang sana suara seorang wanita berkata bahwa pemilik ponsel itu terluka parah dan sedang dalam ruang operasi. Hana terpegun tak percaya akan apa yang baru saja ia dengar. Semalam Shandy baik-baik saja. Tak ada yang aneh. Shandy bahkan bilang akan langsung pulang ke rumah setelah kembali dari rumah Hana.

Ia mengingat-ingat hari apa ini, mungkin saja lelakinya itu melakukan prank untuk mengerjainya. Namun Namun nihil, hari itu bukan hari spesial bagi mereka, bukan hari jadi, bukan juga hari ulang tahun mereka. Hana mulai cemas, apalagi saat mendengar suara wanita di telepon yang terdengar serius dan suara-suara bising di belakangnya yang terdengar seperti di rumah sakit. Tanpa pikir panjang, Hana berlari keluar rumahnya hanya dengan memakai piyamanya. Ia menaiki taksi dan bergegas ke rumah sakit. Di sepanjang perjalanan, Hana berharap itu hanya candaan Shandy saja dan mendapati bahwa pria itu berdiri di hadapannya dengan tersenyum. Tetapi ketakutan telah memenuhi dirinya, ia menangis, tangannya bergetar. Ia berusaha menahan tangisnya, ia meyakini dirinya sendiri bahwa ia harus memastikan dulu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Namun saat ia sampai di rumah sakit, yang ia lihat hanya Devan, kakak Shandy yang baru saja keluar dari ruang operasi dengan wajah muram. Ternyata kakaknya sendiri yang mengoperasinya. Dengan penuh harap dan air mata bercucuran, Hana mendekati Devan dengan lemah. Tubuhnya seperti ikut merasa ketakutan akan kemungkinan terburuk yang akan didengarnya.

"Bagaimana keadaannya? Bagaimana keadaan Shandy?" tanya Hana putus asa. Ia meraih lengan baju Devan sambil terisak.

Tak ada jawaban, Devan hanya menunduk. Tanpa kata, tanpa suara, hanya menunduk lemas.

"Jawab aku! Bagaimana keadaan Shandy? Di mana dia? Aku ingin melihatnya! Aku ingin bertemu Shandy! Jawab aku kak!" Hana berteriak frustasi.

"Shandy, dia... dia sudah... dia sudah tidak ada." Perlahan Devan mendongak menatap wajah Hana yang sudah berlinang air mata.

Hana terduduk. Tak berdaya mendengarnya. Tidak percaya. Ia meraung. Terisak memegangi dadanya yang terasa sesak. Rasanya oksigen di paru-parunya perlahan menghilang. Dadanya kesakitan. Ia masih belum bisa mencerna apa yang sedang terjadi saat ini. Berulang kali ia menggelengkan kepalanya. Ia tak percaya sama sekali bahwa Shandy sudah tidak ada. Tidak mungkin. Hati dan pikirannya menolak.

"Ikut aku," ujar Devan meraih tangan Hana dan membawanya ke sebuah ruangan.

Hana mendongak memastikan ke mana tujuan mereka, dan langkah kaki Devan berhenti di kamar mayat. Hana ketakutan, ia tak berani menatap sosok yang terbaring di ranjang itu. Namun Devan menariknya mendekat untuk meyakinkan Hana bahwa Shandy lah yang terbaring tak bernyawa di sana.

Hana terpaku saat matanya menangkap sosok Shandy yang terbaring memejamkan matanya dengan damai di sana. Tanpa disadari air matanya terus meluncur turun membasahi pipinya. Tidak mungkin. Itu pasti bukan Shandy. Berkali-kali Hana mengucapkan kalimat itu dalam hatinya. Tetapi apa yang dilihat oleh kedua matanya saat itu adalah kebenarannya. Shandy memang tergeletak di sana tak bergerak.

Perlahan kenangan-kenangan mereka bersama selama ini muncul di kepala Hana. Ia menatap kosong ke arah ranjang di kamar mayat di hadapannya itu dengan air mata yang terus mengalir dari kedua mata indahnya. Di atasnya terbaring sosok pria yang sangat dicintainya yang sudah terbujur kaku tak bernyawa. Shandy Haxy, pemilik restoran Berries tempatnya bekerja sekaligus koki dan kekasihnya itu sudah tidak bisa memberikan senyuman indah yang selalu menghangatkan hati Hana. Padahal baru semalam mereka menghabiskan waktu bersama seperti biasa. Ini seperti mimpi buruk bagi Hana, yang dia miliki hanya kekasihnya itu, namun kini ia sudah tidak ada di dunia ini.

Ia tak tahu harus bereaksi seperti apa, ia tak sanggup menerimanya kenyataan bahwa sosok pria yang selalu disampingnya itu harus diambil oleh tuhan dari sisinya. Kakak kandung Shandy hanya bisa melihat Hana dengan tatapan iba. Tak ada yang bisa membayangkan betapa hancur hati Hana saat ini. Hana tidak memiliki orang tua dan sanak saudara, yang ia miliki hanyalah Shandy. Namun pria itu meninggalkan dirinya sendiri di dunia yang dingin dan penuh ketidakadilan itu.

Tak ada suara yang keluar dalam tangis Hana, namun air matanya terus saja mengalir tak henti-hentinya.

"Kalau saja aku tahu malam itu malam terakhir kami bersama, aku akan katakan semua perasaanku padanya. Aku akan memperlakukannya dengan lebih baik lagi" ujar hana pada dirinya sendiri dengan lirih.

~

Hana terbangun dan mendapati dirinya terbaring di kasur yang sangat familiar, dia berada di kamarnya. Hana mendengar suara dari arah dapur, lalu dengan tubuh yang masih lemas dia berjalan perlahan ke dapur dan mendapati seseorang berada di sana sambil memasak bubur, orang itu adalah sahabatnya, Vryna.

"Hana! Kau sudah bangun? Kau tidak apa-apa?" ujar Vryna khawatir sambil memapah Hana ke kursi.

"Apa yang terjadi padaku?" tanya Hana kebingungan. Seingatnya ia berada di tempat pemakaman Shandy, namun saat ia membuka mata, ia sudah berada di rumahnya sendiri.

"Saat di rumah sakit, kau pingsan. Kak Devan panik, jadi ia memutuskan membawamu pulang," jelas Vryna.

"Jadi itu semua bukan mimpi? Shandy... Shandy sungguh...." Hana tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Vryna tidak tahu harus berbuat apa dan memeluk sahabatnya yang hatinya sedang hancur itu.

Setelah beberapa saat dan Hana sudah sedikit tenang, Vryna mencoba menyuruh Hana untuk makan. Namun Hana menolak dengan alasan belum berselera makan dan malah menyuruh Vryna pulang.

Vryna agaknya ragu untuk meninggalkan sahabatnya itu sendirian di rumah. Takut kalau akan terjadi apa-apa pada gadis itu. Namun, Hana bersikeras mengatakan bahwa dia saat ini ingin sendiri.

"Ku mohon Vryn, aku hanya ingin sendiri," lirihnya pelan tak berdaya dengan kesedihan yang menyelimutinya.

"Tapi Hana, kau-"

"Aku tidak akan berbuat macam-macam Vryn, aku hanya sedang ingin sendiri. Ku mohon," Ia menatap Vryna dengan sendu. Matanya bengkak akibat tangisnya tadi.

"Baiklah. Kalau ada apa-apa segera hubungi aku," ujar Vryna sambil mengambil tasnya dan menuju pintu keluar.

"Baiklah."

••••

Hana berdiri di balkon rumahnya sambil menatap langit malam yang pekat dan sepi. Angin malam menerpa tubuhnya dan membuat helaian rambutnya bergerak tak karuan. Malam itu sangat sunyi, bahkan bintang-bintang seakan enggan untuk menampakkan dirinya pada dunia. Seolah-olah ingin bersembunyi dan tak terlihat oleh siapapun. Bulan yang biasanya menyinari langit malam dengan indah pun tak ada. Entah bulan dan bintang sepertinya tak ingin muncul dan terlihat oleh Hana.

Hana mendongak menatap kosong langit yang diselimuti awan. Entah kepada siapa ia harus mencurahkan kepedihan hatinya. Ia memejamkan matanya. "Jika bisa diberi kesempatan, aku ingin bertemu denganmu lagi, aku ingin kita bisa bersama lagi, aku ingin kau ada di sisiku lagi. Aku tak butuh yang lain, aku hanya menginginkan dirimu, Shandy. Jangan tinggalkan aku, kembalilah," lirihnya sendu menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Rintihan kerinduan dan kesedihan yang diucapkan dari hati seseorang yang tengah bersedih, apakah langit mendengar dan ikut menangis. Ia tak tahu bahwa saat ia terpejam dan memohon, sebuah sinar melintas dan meluncur ke bawah dengan cepat di langit malam.

Suara dentuman keras terdengar ke seluruh ruangan. Hana tersentak kaget. Ia dengan cepat melihat sekeliling mencari sumber suara tersebut namun tak menemukannya dan ia memutuskan untuk tak terlalu menanggapinya.

Hana berjalan pelan menatap setiap sisi rumahnya, di setiap sisi rumahnya itu ia terbayang sosok Shandy, kekasihnya yang biasanya datang ke rumahnya sepulang kerja, kekasihnya yang suka memperhatikan Hana memasak, makan bersama dengan raut wajah yang bahagia, duduk di ruang tamu bersama Hana sambil memakan camilan dan menonton acara favorit mereka. Tapi semua itu tidak ada lagi sekarang. Hana duduk sendiri, di ruang tamu yang sunyi.

"Shandy, kau bilang kau tidak akan pernah meninggalkanku sendiri." Hana berdiri termangu seperti orang yang kehilangan akal.

"Hana...," ujar sebuah suara dari samping Hana. Hana merasa sangat mengenal suara itu. Itu seperti suara Shandy, pria yang saat ini sangat ia rindukan. Sepertinya halusinasinya sangat parah, ia bahkan mendengar suaranya seperti nyata.

"Bahkan suaranya saja terdengar sangat nyata...," ucapnya pada diri sendiri. Hana masih terpaku menatap kosong ke arah tv di depannya.

Namun dalam hatinya, Hana merasa suara itu memang suara Shandy, benar-benar terasa seperti Shandy memang berbicara di sampingnya. Dengan lemah ia menoleh ke samping kanannya, dan yang dia lihat sungguh membelalakkan matanya. Shandy berada tepat di depan matanya, menatapnya dengan tatapan yang sendu. Hana berpikir ia sedang bermimpi melihat Shandy. Ia kemudian mencoba menyentuh tubuh Shandy. Namun tidak bisa disentuh, tubuh Shandy terlihat tapi tak bisa disentuh. Hana tertegun dan mencoba berbicara pada sosok itu.

"Shan.. Shandy?" ucap Hana terpegun dengan mulutnya yang sedikit terbuka, terkejut melihat pemandangan di hadapannya.

~~~~

To be continued

avataravatar
Next chapter