1 1

Orang bilang, masa SMA adalah masa masa terindah dalam kehidupan. Apakah itu benar? Orang yang mengatakan itu mungkin hanya beruntung mendapatkan keindahan masa masa SMA. Mereka tak ingin melihat peristiwa lain yang tidak mereka alami, lalu seenaknya mengatakan masa SMA adalah yang terbaik.

Senin diawal tahun ajaran baru. Sekolah nampak terlihat baru daripada tahun lalu. Dinding dicat rapi, rumput dipangkas sejajar, air pada kolam ikan telah dikuras dan diisi berbagai macam ikan hias yang sebelumnya hanya berisi dua ekor ikan Koi, perpustakaan yang mulai dipenuhi buku, dan satu bangunan dua lantai dengan empat ruangan baru yang berdiri kokoh disamping ruang guru. Padahal sebelumnya sekolah ini hanya seadanya. Siswanya hanya diisi oleh orang sekitar. Namun, sekarang entah mengapa setelah pergantian kebijakan sekolah dengan pimpinan dan pengurus baru, semuanya berubah drastis. Namun ada satu hal yang tidak pernah berubah, anggota kelas XI MIPA 5.

Zen, lelaki apatis dengan tubuh setinggi dua jengkal dibawah kusen pintu memasuki kelasnya, rambutnya yang dipotong sewajarnya disisir rapi ke belakang, di tangan kirinya terpasang jam tangan klasik yang sudah lama ia pakai. Lelaki itu datang sedikit terlambat, anak anak lain sudah datang terlebih dahulu. Zen melihat sekitarnya, sama sekali tidak ada yang berbeda dari tahun lalu. Tata letak membosankan yang sama seperti kelas sebelumnya, penghuni berisik seperti biasanya, dan suasana yang ia benci sebagaimana seharusnya. Tak ada perubahan murid yang terjadi. Ia sudah muak dengan suasana kelasnya.

Bel sudah berbunyi, wali kelas baru pun memasuki kelas.

"Selamat pagi semuanya, nama bapak Asep Suryana, wali kelas kalian untuk setahun kedepan. Bapak mengajar matematika." Pak Asep memperkenalkan dirinya sambil menulis data dirinya.

"Selanjutnya, silakan perkenalan ter-"

Pintu didobrak dari luar. Terlihat seorang perempuan bersweater merah dengan rambut Panjang yang diikat seperti ekor kuda. Ia langsung berjalan memasuki kelas tanpa mengindahkan guru yang masih berbicara didepan. Pak Asep dengan sigap memegang lengan perempuan itu.

"Siapa yang ngasih ijin masuk ke kelas?" Tanya Pak Asep.

"Hah?" Perempuan itu mengibaskan lengannya berusaha melepaskan genggaman tangan pak Asep. Namun itu tak berguna.

"Keluar, terus lepas Sweaternya!" Suruhnya dengan tegas.

"Biarin lah!" Bantah perempuan itu.

Emosi Pak Asep naik, ia membawa lengan perempuan itu keluar kelas dan langsung mengunci kelas dari dalam. Seisi kelas tiba tiba menjadi tegang.

"Silakan dimulai perkenalannya." Ucap pak Asep seperti tidak terjadi sesuatu, padahal perempuan tadi sedang menggedor gedor pintu.

Perkenalan dimulai, tentu saja Zen mendapatkan Absen terakhir.

"Oke, selanjutnya siapa yang mau jadi KM?"

Zen tiba tiba mendorong kursinya kebelakang lalu berdiri sambil mengangkat tangan.

"Ada lagi yang lain?" Tanya Pak Agus.

Seorang perempuan berperawakan pendek pun mengangkat tangannya, disambung dengan beberapa orang lainnya.

Pemilihan pun berakhir dengan Zen yang mendapatkan suara terbanyak dan wakilnya seorang perempuan tadi yang bernama Elisha. Ketika mereka ditanya alasan kenapa mengajukan diri menjadi KM, Zen menjawab, "Saya hanya mencegah KM yang gak becus terpilih."

***

Pelajaran dimulai seperti biasa, perempuan bernama Rena yang tadi dikunci diluar sudah diizinkan masuk, tapi setelah itu ia sama sekali tidak menyimak pelajaran. Perempuan itu tertidur pulas di kursi paling belakang.

Saat istirahat Rena menghilang entah kemana seperti biasanya sementara Zen hanya pergi ke kantin untuk mengisi perut. Saat berjalan kembali ke kelas, Zen sengaja berkeliling sekolah. Ia pun berpapasan dengan Rena dijalan dekat aula. Mereka saling memandang satu sama lain, lalu Zen langsung menjepit hidungnya.

"Bau!"

Rena langsung menoleh ke arah Zen sambil terlihat panik.

"Hah? Maksud lo apaan?" Tanya Rena panik.

"Ikut sini." Zen membawa Rena ke dalam Aula.

"Kenapa kamu ngerokok?"

"Siapa yang ngerokok? Jangan fitnah lo!"

"Gak guna ngebohong sekarang. Dah jelas kecium."

"Terus, emangnya kenapa? Mau lapor?"

"Nantangin?"

"Dasar cupu! Lagian siapa yang bakalan percaya."

"Siapa? Semuanya. Tingkahmu udah dinilai buruk sama orang orang. Kamu Cuma beruntung belum ada yang lapor. Ditambah wali kelas sekarang gampang ngusir orang dari kelas. Lagi pula sekarang aku KMnya. Pembelaan kayak gimanapun gak akan berguna, kira kira siapa yang gak bakal dipercaya?"

Rena menggeram. Tangannya ia kepal kuat kuat lalu dilayangkan ke dada Zen. Kaki kanan Zen melangkah kebelakang untuk menahan tubuhnya yang terkena pukulan bersamaan dengan tangannya yang langsung memegang lengan Rena setelah pukulan itu mengenai dada.

"Ok, sekarang ditambah perundungan. Makin gampang lapornya, soalnya masih ada bukti fisik." Zen menekan bekas pukulan Rena yang sedikit memar.

Rena terdiam membisu, tubuhnya bergetar kesal ditambah panik.

"Kenapa? Gak mau dilaporin? Lagian kamu keliatannya gak niat sekolah, bukannya keluar lebih baik. kalau gak mau keluar sendiri bisa kubantu." Zen menyeringai.

Rena tetap terdiam.

"Gini aja, aku kasih waktu tiga hari buat minta maaf, kalau kamu minta maaf seenggaknya masalah yang ini gak bakal aku laporin." Ucap Zen memberikan solusi sambil menunjuk bekas pukulan tadi.

"Tapi, kalau kamu ketauan ngerokoknya sekarang jangan harap aku ngebelain."

Zen meninggalkan Rena di Aula pergi ke kelas karena pelajaran selanjutnya hampir dimulai.

Setelah itu Rena sama sekali tidak masuk kelas.

avataravatar
Next chapter