8 Hari Penuh Tangisan

-Aku ingin memilikimu bukan karena kelebihan maupun kekurangan yang kau miliki tapi, aku ingin menjagamu dan aku juga berjanji akan membuatmu terus tersenyum di hadapanku-

***

"Bagaimana kabarmu nak?" Tanya ayah Lia.

Lia tak percaya dengan sesosok pria yang disebut dengan nama ayah itu, setidaknya Lia pernah memanggilnya seperti itu.

Hati Lia merasa campur aduk tak karuan, Lia sudah bisa melupakan masa lalu yang sangat menyedihkan dengan susah payah. Dan sekarang Lia seperti tenggelam dalam lautan yang paling dalam hingga kehabisan nafas.

Lia melepaskan pelukan itu, memejamkan mata untuk beberapa saat untuk berharap kejadian saat ini adalah mimpi buruk.

"Lia, sayang..ma.."

"Permisi yah, aku udah telat."

Belum sempat ayah Lia mengatakan sesuatu Lia sudah memotongnya dengan mengalihkan pembicaraan yang cukup masuk akal. Dengan kepala tertunduk Lia melewati ayahnya yang masih berdiri dengan wajah yang sedikit sedih.

"Kenapa ayah baru kembali? Dimana ayah ketika aku sedang membutuhkan pelukan dan seseorang yang memberiku semangat?" Dalam hati Lia.

Dalam perjalanan ke ruang kelasnya Lia tak henti-hentinya meneteskan air mata dan menunduk agar tidak banyak mengundang perhatian para siswa di lorong sekolah.

Di dalam kelas.

Tak biasanya, Lia hanya duduk dengan meletakkan kepalanya di atas meja, kadang sesekali mendongakkan kepala tapi dengan tatapan yang kosong.

"Lia lo kenapa dah,ngga kaya biasanya kalo baru berangkat langsung sumringah?" Tanya Sia yang bingung dengan kelakuan sahabatnya yang satu ini.

Lia hanya terdiam menolak berbicara untuk beberapa saat, bahkan saat pelajaran dimulai. Saat itu Farhan memperhatikan tingkah laku Lia yang tidak seperti biasanya.

"Tuh gebetan lu lagi galau." Cengir Anggi yang duduk sebangku dengannya.

"Brisik, udah catet tuh rumus sekalian di jidat lo."

"Weh ngambek nih anak." Ledek Anggi lagi.

Hingga KBM selesai dan bel pulang berbunyi Lia pun masih tetap diam tak mengucapkan sepatah kata pun, sehingga membuat sahabatnya bingung sendiri.

"Sebelumnya gwe minta maaf kalo gwe punya salah, tapi gwe pulang dulu ya soalnya udah dijemput sama Abang gwe." Sambil menyenggol sikut Lia.

"Kalo lo butuh temen curhat lo tinggal chat gwe, gwe bakalan online 24 jam jadi lo tenang aja." Ucap Sia dengan nada yang lembut.

"Iya Si makasih juga lo udah sabar ngadepin gwe."

"Y udah bye, kalo udah sampe rumah kabarin ya." Pamit Sia sambil berjalan keluar kelas.

***

Di parkiran.

"Bentar gwe balik kelas dulu."

"Kenapa ada yang ketinggalan?"

"Ho oh"

"Ya udah duluan ya."

Saat ini Lia sendirian didalam kelas yang gelap, sunyi, dan hening tanpa suara, seperti yang dirasakan Lia saat ini. Hati lia masih sangat sesak menahan sedikit air mata yang akan terjun dan membasahi pipi merahnya itu.

Satu persatu air bening pun jatuh dari matanya, dan Lia menangis tanpa suara. Lia menenggelamkan kepalanya pada tangan yang ditekuk di atas meja.

Semakin Lia ingin melupakannya, Lia semakin menangis hingga membasahi rambut indahnya yang ada didekat wajahnya.

Tap tap tap....

"Untung masih di laci."

"Gimana jadinya meeting nanti malem tanpa laptop?"

Seorang pria yang kebetulan sedang mengambil barangnya yang tertinggal tidak sengaja melihat seorang gadis yang duduk sambil menangis tanpa suara, siapa lagi jika bukan Farhan.

Dalam batin Farhan ingin mendekati Lia dan juga ingin duduk disebelahnya sambil berusaha menenangkan gadis itu. Farhan berpikir sejenak, dia masih sedikit tak enak dengan Lia karena kejadian yang lalu. Menembaknya secara tiba-tiba tanpa proses yang harus dilaluinya terlebih dahulu.

Akhirnya Farhan mulai melangkah mendekati tempat dimana gadis itu duduk.

"Udah sore kali."

Lia mendongakkan kepalanya sekejap memandang Farhan yang sedang berdiri di depannya dan langsung mengambil posisi seperti tadi.

Farhan mengerut kan keningnya merasa bingung dengan apa yang dilihatnya barusan. Lia menangis, tanpa pikir panjang Farhan mengambil satu kursi dan duduk disampingnya.

"Kalo lo punya masalah jangan dipendam sendiri, karena lo ngga bakalan bisa nemuin solusinya."

"Buat apa cerita sama orang lain lagian juga mereka ngga bakalan ngerti perasaan yang gwe rasaain sekarang." Jawab Lia dengan suara yang serak masih dengan wajah yang terbenam.

Tanpa memikirkan perkataan Lia, Farhan pun menarik pundak Lia dan menempelkan kepala Lia di pundaknya. Lia sangat terkejut dan langsung menjauhkan kepalanya dari pundaknya Farhan.

"Gwe cuma minjemin bahu, ngga usah baper."

Lia tak menyangka dengan perkataan seorang pria yang diyakininya tak memiliki sebuah hati. Lia memandang Farhan sebentar dan mengusap bekas air matanya.

"Nangis aja." Ucap Farhan datar sambil menghadap Lia

Lia tak mengerti dengan maksud Farhan tapi memang benar Lia sedang membutuhkan sebuah bahu untuk bersandar. Lia pun akhirnya meletakkan kepalanya di pundak Farhan dan menangis lagi untuk waktu yang cukup lama, hingga cukup merasa tenang.

"Udah?"

"Iya udah, hmm makasih ya han udah mau minjemin bahu buat gwe nangis." Jawab Lia dengan sedikit tersenyum.

"Ga masalah, udah cabut yuk."

"Eh iya."

Mereka berdua pulang sekitar pukuk 17.00 dan hanya ada keheningan diantaranya.

"Pulang naik apa?" Tanya Farhan yang memecahkan keheningan.

"Gwe,,, gwe jalan kaki aja nyampe kok hehe"

"Jangan jalan kaki." Cegah Farhan.

"Trus?"

"Gwe anter."

Untuk sekejap Lia memandang pria disebelahnya bingung sekaligus canggung.

"Eh ngga usah rumahku deket kok" tolak Lia dengan nada halus.

"Lo tunggu sini."

Tanpa basa-basi Farhan pergi meninggalkan Lia didepan gerbang sekolah dan menyuruhnya untuk menunggu. Tak lama kemudian keluarlah mobil yang berwarna hitam mengkilap dan bersih.

Saat kaca mobil tersebut dibuka ternyata orang yang didalamnya adalah orang yang sedang ditunggunya, yaitu Farhan.

Farhan pun keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Lia masuk.

"Cepet" Suruh Farhan

"Eh iya.."

Dalam perjalanan tak banyak yang mereka katakan, Lia hanya menunjukkan jalan menuju rumahnya itu. Seperti kata Lia rumahnya memang dekat tepatnya kosan yang kecil.

Saat mobil perlahan sudah berhenti Lia hanya diam dengan wajah yang canggung dan gugup. Lia tak langsung keluar dari mobil hingga Farhan bertanya.

"Ngga turun?"

"Eh hmmm iya.. tu... turun-turun kok." Jawab Lia gugup.

Lia masih terdiam dan masih ada didalam mobil Farhan.

"Ya udah, katanya mau turun."

"Iya-iya ini mau langsung turun, sabar kali."

Farhan melihat Lia yang dari tadi mencari dan meraba-raba pintu mobilnya. Farhan pun paham dengan tingkah aneh Lia.

"Sini gwe bukain." Ucap Farhan sambil membukakan pintu mobil dari dalam.

"Gwe tahu kok cara mbukanya cuma gwe takut punya lo rusak trus minta ganti rugi sama gwe." Ngeles Lia sambil turun dari mobil Farhan.

"Hmm."

"Ya udah makasih ya han, gwe masuk dulu."

"Bentar Li." Cegah Farhan yang masih di dalam mobil.

"Apaan?" Sedang membuka pintu kos dengan kunci.

"Besok gwe jemput jam 06.20 ."

"Ngga usah biar gwe ja..."

Brumm

"Lan kaki"

Belum sempat Lia menolak tawaran Farhan, Farhan sudah pergi terlebih dahulu karena dia tau bahwa gadis itu akan menolak untuk diantar.

"Ketika aku melihatmu menangis, maka tunggulah aku untuk membuat mu tersenyum kembali."

Lia masuk ke dalam kos dengan kaki yang sedikit lemas karena kelelahan. Lia sudah tak memikirkan tentang pagi tadi ketika bertemu dengan ayahnya, tapi Lia sedang memikirkan pria yang sudah mengantarnya pulang.

"Besok Farhan mau njemput gwe?"

"Gwe kan bukan siapa-siapanya ngapain juga pakek dijemput segala?"

"Tuh kan mau nolak juga ngga enak, lagian ngapain sih baru kenal udah main tembak-tembak aja."

"Au ah bingung, tinggal berangkat aja besok apa susahnya, iya gak, iya kali ya?" Ndumel Lia yang mulai berbicara dengan dirinya sendiri.

avataravatar
Next chapter