14 Ancaman 2

"AWAS!!!"

Prang....

"Han, lo ngga papa?" Tanya Lia.

"Gue ngga papa...Lo sendiri gimana?"

"Ngga papa kok...loh Daniel mana?"

"Santai gue disini."

Suara Daniel terdengar dari arah kolong, ranjang milik Farhan. Ternyata Daniel langsung berlindung dibawah ranjang saat kejadian itu. Semua yang ada di ruangan saling menatap satu sama lain.

Beruntung pecahan kaca jendela itu tak sampai pada tempat dimana mereka bertiga sedang berkumpul. Seseorang telah sengaja memecahkan kaca jendela kamar inap Farhan dengan menggunakan batu yang tidak terlalu besar. Dalam batu itu terdapat secarik kertas yang membuat ketiganya bertanya-tanya.

Mereka bertiga saling bertatapan satu sama lain, hingga Daniel mendekati batu itu dan mengambil kertas yang diselipkan pada batu itu. Daniel pun langsung kembali ke tempat semula dan memperlihatkan kertas tersebut pada Lia dan Farhan. Setelah diberi aba-aba oleh Farhan dengan sebuah anggukan kecil, Daniel segera membuka kertas itu secara perlahan. Tak banyak tulisan yang ada di kertas tersebut. Namun, satu kata yang membuat ketiganya langsung merinding dan tak berkutik. Kertas itu bertuliskan "DEATH" dengan tinta merah seperti darah.

Beberapa menit kemudian, tiba-tiba seseorang membuka pintu ruangan secara paksa dan beberapa orang masuk untuk mengamankan ruangan. Ternyata mereka adalah orang bawahan Farhan yang baru saja sampai.

"Anda tidak apa-apa?" Tanya salah satunya.

"Ya, saya baik-baik saja. Bagaimana keadaan luar? Apakah ada yang mencurigakan?" Tanya Farhan memastikan.

"Tidak ada yang mencurigakan kecuali tentang jendela ini."

"Baiklah, terimakasih. Sekarang saya minta kalian atur posisi dan jangan sampai kalian lalai."

"BAIK!" Ucap mereka serentak.

Lia hanya menatap pecarahan kaca yang berserakan di lantai dengan wajah yang pucat dan tatapan yang kosong. Lia takut akan semua hal yang menimpanya dalam satu hari ini. Rasanya ia ingin sekali keluar dari situasi ini. Pikiran Lia sudah kacau balau sekarang. Lia sudah gagal fokus, sampai Farhan membuat lia kaget dengan menanyakan suatu hal.

"Kenapa bengong?"

"Ng-nggak papa kok!"

"Pada laper ngga nih?" Tanya Daniel yang membuat Lia dan Farhan langsung mengarahkan pandangannya. "Kenapa? Apa pertanyaan gue salah?"

"Suasana kaya gini, Lo masih bisa mikirin makanan?" Cibir Farhan.

"Yaelah, gue juga tahu. Tapi, ngga seharusnya nahan laper juga kali. Kesehatan harus dijaga, kalo sakit gimana?"

"Kalo sakit, kan ini udah dirumah sakit." Ketus Farhan.

"Sory...banyak orang mengatakan lebih baik mengobati daripada mencegah. Gimana sih lu sekolahnya?"

"Kebalik woi!"

Tatapan Farhan kini beralih pada Lia kembali. Ia tak henti-hentinya memandangi layar ponsel dan menggesernya beberapa kali. Farhan tahu mengapa Lia bersikap demikian, dia khawatir pada ayahnya. Sampai saat ini ayahnya tak kunjung datang.

"Li, ini pendapat gue ya...kalo menurut gue mending Lo jangan pulang ke rumah dulu." Ucap Daniel pelan.

"Emang kenapa Niel?"

"Disini lebih aman. Iya ngga, Han?"

"Yang dibilang Daniel bener. Ini demi keselamatan lo." Seru Farhan yang diikuti dengan anggukan kecil.

Lia mengangguk kecil.

"Gue mau nanya, kenapa hal ini baru terjadi sekarang? Maksudnya aku kira dari dulu sebelum Daniel pulang ke Indonesia belum pernah gue mengalami hal yang ngga masuk akal kaya gini. Ini buat gue bingung. Gue butuh penjelasan!"

"Sebelum gue jawab pertanyaan lo, gue mau bilang kalo disini Daniel ngga salah. Dia cuma kebetulan pulang karena ada urusan lain. Lo masih ingat ngga kejadian yang buat Lo mimpi buruk selama ini?"

"Kenapa lo bisa tau?"

"Gue mau jujur sekarang, sebenernya orang yang udah bunuh ibu lo dulu, dia..." Farhan berhenti sejenak."Tante gue."

"Tante lo?"

"Iya, alias istri kedua ayah lo."

Ruangan menjadi senyap dan tak ada orang yang berani menyuarakan kata-katanya. Samapai sebuah ketukan yang membuat pandangan mereka langsung mengarah pada pintu kamar. Dari sana muncullah seorang lelaki paruh baya dengan kaca mata yang bertengger di hidungnya.

Dengan cepat Lia menghampiri pria tersebut dan memeluknya dengan sangat erat. Lia sudah tak mempedulikan tembok besar yang ia bangun. Seolah-olah semua telah lenyap ditelan bumi.

"Pah...kenapa papah ngga pernah cerita sama Lia?"

Ayah Lia tersenyum sebelum ia mengucapkan kata-katanya.

"Alasan papah ngga mau cerita sama kamu, karena papah ingin kamu aman. Kamu tahu, kenapa papah jarang sekali menemuimu hanya sekedar untuk menanyakan kabar?" Tanya papahnya Lia halus.

"Kenapa pah?"

"Papah ngga mau kamu dalam bahaya. Tanpa sadar dulu papah melakukan kesalahan yang amat sangat besar, bahkan sampai saat ini kesalahan itu masih terngiang-ngiang dipikiran papah."

"Maaf pah, aku pikir papah ngga peduli sama aku. Aku pikir papah ngga---"

"Kamu adalah anak papah, mana mungkin papah ngga sayang dan peduli sama Lia? Sekarang yang harus kita lakukan adalah menghadapi masalah ini tanpa ada air mata. Kamu harus kuat." Potong papahnya Lia yang diikuti dengan senyumannya.

"Iya pah, Lia tahu."

Pelukan itu semakin erat. Dengan sekejap hubungan diantara keduanya kembali terjalin dan perlahan membaik.

***

"Kamu ngga bakal bisa selamat kali ini."

"Stella...tenang kali ini anakmu akan segera menyusulmu kesana."

Seorang wanita yang sedang berada disebuah ruangan yang tidak terlalu lebar ditemani dengan sinar lampu yang redup. Suasana ruangan itu kini hanya dipenuhi dengan sebuah rasa amarah dan keinginan kuat untuk membalas dendam.

"Rasanya satu peringatan tak akan cukup menyadarkannya. Harus ada susunannya juga bukan?!" Ucap wanita itu dengan diiringi dengan senyum yang sangat mengerikan.

***

"Farhan, emangnya lo udah ngrasa baikan?" Tanya Lia yang saat ini sedang be

"Udah, makanya gue pengin pulang aja."

"Lo bilang ngga aman buat gue diluar sekarang."

"Iya ngga aman. Tapi sekarang Lo lagi sama gue."

Wajah lia memerah saat itu juga. Saat ini mereka sedang berada disebuah taman yang masih dekat dengan rumah sakit. Karena merasa bosan Farhan memutuskan untuk keluar dari rumah sakit saat itu juga. Farhan mengajak Lia untuk jalan-jalan sebentar atas seizin dari papahnya Lia.

Sedangkan Daniel? Dia langsung pergi ke restauran setelah mengetahui Farhan tengah keluar dengan Lia. Daniel sudah lama menahan rasa lapar ini dan tangannya sudah gatal untuk mengeluarkan uang di dompetnya.

"Han, gue pengin pulang."

"Sekarang?" Sambil mengerutkan keningnya.

Lia menggeleng pelan. "Lo lupa? Di rumah sakit masih ada papah. Gue mau ngajak papah pulang juga sama gue."

"Kirain lo lupa..." Diiringi dengan lelehan pelan.

"Tau ah!!! Ngeselin."

Setelah jalan-jalan cukup lama, mereka memutuskan untuk duduk disebuah kursi taman yang ada dibawah pohon rindang. Tanpa sadar ternyata mereka tengah diawasi oleh seseorang. Dia berada tak jauh dari tempat dimana Lia dan Farhan sedang duduk.

Drtttdrttt

Ponsel Farhan pun berdering. Nomor tak dikenal yang menelfonnya. Farhan pun langsung mengangkat telfonnya.

"Halo?"

Terdengarlah suara wanita yang sudah tak asing lagi bagi Farhan.

"Dijawab ternyata...gimana kabar kamu?"

"Siapa ya?"

"Taman didekat rumah sakit, bersama dengan seorang perempuan cantik dengan rambut panjangnya. Tapi, dia membuat hidupku tak nyaman." Wanita itu berhenti sejenak."haruskan kubunuh sekarang? Bagaimana menurutmu Farhan? KEPONAKAN tercinta Tante?"

Dengan cepat Farhan mematikan ponselnya dan melihat sekitar dengan cermat. Dari kejauhan Farhan melihat seseorang yang menggunakan baju berwarna hitam dengan topi yang ada di kepalanya. Sekilas Farhan melihat wanita itu melambaikan tangannya dan tersenyum lebar.

Setelah mengetahui hal itu, dengan cepat Farhan meraih tangan Lia yang masih duduk di kursi. Farhan berlari dengan menggenggam tangan Lia dengan sangat erat. Lia merasa bingung dengan apa yang dilakukan Farhan dan hanya mengikuti kemauan Farhan untuk berlari.

Dorrrr!!!!!!

"LIAAAAA!!!" Teriak Farhan.

avataravatar
Next chapter