1 Prolog

#Kunjungan_Pertama_Orang_Sinting_Pasca_Kelulusan_Kakak_Gue_Di_mana_Gue_yang_Dengan_Sialnya_ Harus_Membukakan_Pintu

.

.

Ting...tong...

"Lo lagi... ada apa? Gue tebak, nyari Diandra?"

Aristo tampaknya tidak tersinggung sedikitpun dengan ketidakramahan adik gebetannya—atau pemuda populer itu memang sengaja menyembunyikan kejengkelannya demi kelancaran usahanya. "Iya. Maaf ganggu. Kakak lo ada?"

"Ada. Paling dia lagi di kamarnya," jawab Kurnia dengan nada tak acuh. Menggunakan tampang datarnya, pemuda yang masih duduk di bangku SMP itu kemudian berteriak lantang. "DIAANDRAA, ADAA YANG NYARIIN LO."

Delapan detik berlalu dan tidak ada sama sekali suara grasak-grusuk dari tangga yang menandakan bahwa Diandra mendengar teriakan cetar Kurnia dan berniat turun dari kamarnya.

Kurnia mendengus pelan. Setelah dia rela menodai imej kalemnya yang terkenal satu sekolahan, kakaknya sama sekali tidak bersifat kooperatif. Dengan malas Kurnia merogoh saku celana pendeknya dan meraih ponsel dan menggunakan layanan call dari aplikasi LINE untuk menghubungi Diandra—karena sangat enggannya dia berhadapan langsung dengan wajah jutek kakaknya.

/"Apa."/

Dengan nada datar bukan main tanpa mengucapkan Halo, Diandra menjawab panggilannya.

"Kak Aristo datang nyariin lo," jawab Kurnia langsung pada poin. "Lo mending langsung turun, deh. Selesain urusan lo. Gue gak punya waktu buat jamuin tamu lo."

/"Gue nggak ngundang dia."/

"Tapi dia datang, bego."

/"Suruh dia pulang aja."/

"Hah, serius lo?" Kurnia melirik—sedikit—prihatin pada Aristo yang masih berdiri dengan tampang percaya diri. "Dia udah susah-susah datang, dan kali ini lo lagi ada di rumah, hargain dikit usaha dia lah, Kak."

/"Masalahnya gue juga lagi gak punya waktu."/

"Emang lo lagi ngapain sih?"

/"Persiapan buat tes masuk SMA."/

"Lo lagi belajar? Fine, tapi apa salahnya sedikit meluangkan waktu buat—"

Click.

Panggilan diputus sepihak dari Diandra. Kurnia menatap datar pada ponselnya ketika tidak terdengar lagi sahutan melalui benda itu. Pemuda bungsu itu kemudian menarik napasnya dan menatap Aristo.

"Lo disuruh pulang sama kakak gue."

"Lo nggak bisa bujuk dia?"

"Nggak."—jujur, komunikatif, menyakitkan.

Seharusnya Aristo sudah biasa dengan gaya bicara seperti itu. Selain karena sudah sering berhadapan dengan Diandra, Aristo juga sering menghadapi Kurnia setiap kali ia berkunjung ke rumah ini ketika Diandra sedang tidak ada di rumah. Aristo akui, Kurnia sepertinya sedikit banyak berbagi gaya bicara yang nyaris sama dengan Diandra. Oke, mereka saudara kandung—satu darah. Seharusnya Aristo tidak perlu heran.

"Oke, gue pulang sekarang." Aristo menghela napas panjang, berusaha sabar. "Tapi gue bakal datang lagi besok, atau besoknya lagi."

"Gue saranin nggak usah."

Sebelah sudut bibir Aristo terangkat. "Bilang sama kakak lo kalo gue belum nyerah. Bye."

——————————————————————

#KunjunganOrangSinting

#KunjunganKedua

#PascaKelulusanKakakGue

#GueYangHarusBukaPintu

#Sial #Apes #KenapaDiaNggakMati_

.

.

Kurnia mengerang ketika mendengar bel rumahnya berdenting. Dengan jengkel ia bangkit dari sofa tempat ia duduk dan melemparkan game controller-nya ke ujung sofa. Di depan pintu, ia menarik napas dalam-dalam—memanjatkan doa singkat—sebelum ia membukakan pintu dan—

"Anak setan emang lu," desisnya.

Aristo sudah berdiri dengan busana kasual keren dan ekspresi berseri—seperti tampang ingin mengajak kencan atau semacamnya.

"Panggilin Diandra, Nia."

"Nia pala lo peyang."

Aristo nyengir singkat. "Panggilin aja."

Maksa lagi, batin Kurnia gusar. "Males. Kakak gue juga palingan nolak. Lo buang-buang waktu, tahu nggak. Nyerah aja, Kak. Kasihan gue lihat lu."

Aristo hanya mengangkat bahu. Tidak terlalu memikirkan ucapan Kurnia. "Lo bisa nggak hubungin dia via video call?"

"Kenapa harus gue? Lo punya LINE ID kakak gue juga kan?"

"Kalau dari gue, dia nggak akan angkat."

Kurnia hanya bisa mengumpat pelan sebelum merogoh ponselnya di saku. Semenit kemudian, dia sudah terhubung dengan kakaknya yang sedang berada di kamar—sejenak, Kurnia merasa konyol.

"Hai, Kak."

/"Apaan."/ Garis wajah Diandra datar nyaris jengkel.

"Urgen."

/"Apaan."/ Makin jengkel.

"Lo harus janji nggak bakal langsung mutusin sambungan begitu gue beritahu masalahnya."

Ekspresi Diandra curiga sejenak. Tapi kemudian gadis itu hanya mengiyakan dengan malas. /"Ck, iya, iya. Cepetan."/

Tidak membuang waktu, Kurnia langsung mengubah mode ke kamera belakang. Mengarahkan lensa agar bisa menangkap wajah Aristo yang penuh percaya diri.

"Hai, Din."

Hanya karena teringat janjinya, Diandra bisa menahan keinginan untuk segera menekan tombol merah menggoda di sudut bawah layar ponselnya. Dengan nada ogah-ogahan gadis itu membalas sapaan Aristo. /"Hai."/ Tidak ikhlas sama sekali.

"Kencan?"

/"Nggak."/

"Ck, Din. Gue mohon, ya? Sekali ini aja."

/"Gue nggak bisa. Besok gue harus ikut ujian masuk. Gue lagi perisapan."/

"Sebentar aja kok, Din."

/"Tetap nggak bisa. Lagian nggak mungkin diizinkan sama nyokap gue. Gue masih empat belas tahun, apa kata nyokap gue nanti."/

Aristo terkekeh. "Lo lima belas bulan September nanti."

/"Dari mana lo tahu—ah nggak penting. Lo kan sakit jiwa. Jawaban gue tetap enggak."/

"Din—"

Gambar wajah Diandra sudah menghilang dari layar ponsel Kurnia.

"Udah jelas?" tanya Kurnia geli lalu kembali mengantongi ponselnya.

——————————————————————

#BunuhGuePlis

.

.

"Beri tahu gue SMA mana yang diincar Diandra."

"Nggak tahu."

"Nggak usah bohong deh, Kur."

"Memang gue nggak tahu."

"Di SMA mana Diandra ngikutin tes seleksi hari ini? Dan juga SMA-SMA lain yang ada dalam daftar incarannya, beri tahu sama gue semua nama-namanya."

Kurnia melotot mendengarnya. Pemuda ini gila, pikirnya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan kakaknya yang ditaksir orang mirip stalker seperti ini. Pasti horor sekali.

"Kalau pun gue tahu, gue nggak bisa beri tahu lo."

"Kenapa?"

"Gue bisa digorok Diandra, oke? Udah ya."

Blam.

Pintu ditutup sepihak oleh Kurnia. Anak bungsu itu merasa sedikit bersalah karena sudah tidak sopan mengusir Aristo—tapi kelakuan kakak kelasnya itu sudah kelewat batas. Harus ada penolakan yang benar-benar tegas agar dia berhenti berkunjung—karena Kurnia bsa gila jika terus-menerus begini.

avataravatar
Next chapter