9 8. Are You Looking for Trouble, Jerk?!

Di sudut lapangan, kerumunan anak laki-laki melingkar bersorak-sorak. Anak-anak perempuan yang di belakang kerumunan berusaha mengintip dan mendengung seperti kerumunan lebah. Bertanya-tanya.

"Ada apaan?"

"Kenapa tuh?"

"Anak SMA sama anak SMP, ya?"

"Ribut kenapa?"

Bel pulang sekolah sudah berkobar sejak tadi. Lingkaran kerumunan jelas mengundang banyak perhatian. Guru Konseling melangkah teratur. Dalam dan dingin. Hanya dengan beberapa tepukan tangan yang keras, bundaran kerumunan siswa itu langsung hening, lalu bubar satu per satu.

"Jadi apa masalahnya?" Konselor sekolah itu langsung menagih jawaban setibanya menyeret dua tersangka dan seorang saksi ke ruang bimbingan konseling.

Aristo tertunduk di kursinya. Kurnia sama saja. Seorang siswa yang dimintai sebagai saksi pun cuma berdiri sambil menggarut-garut celananya.

"Saya tanya kenapa?!" Pertanyaan berubah jadi bentakan.

Aristo menelan ludah. Kemudian memberi kode lirikan pada saksi. Dia berdehem sebelum menjawab, "Ehm ... saya--err, kami punya masalah, Bu." Jawaban konyol memang. Tapi Aristo perlu mengulur waktu untuk mengarang alasan yang meyakinkan.

"Iya, masalah. Masalahnya apa?" Guru Konseling mengetuk-ngetuk bolpoin ke atas permukaan meja berlapis kaca dengan tidak sabaran. Dasar bocah-bocah sableng. Otaknya absurd semua. Sudah jelas mereka punya masalah. Dan sudah jelas mereka membuat masalah. Dia ingin jawaban rinci, terdiri dari 5W dan 1H. Bukan rangkuman tidak jelas.

Aristo terdiam sejenak. Otaknya masih berimajinasi--sekaligus mengutuki Kurnia dan seisi warga sekolah yang membentuk kerumunan heboh tadi. Big thanks to you all!

"Apa masalahnya?!"

Kurnia bergidik. Mulutnya mulai terbuka untuk memberi keterangan—sebelum tiba-tiba ia didahului Aristo.

"Dia punya utang sama saya, Bu. Udah lewat seminggu, tapi belum dibayar juga. Saya tagih tadi, tapi dia mau coba kabur, makanya saya hajar."

"Oh, begitu. Jadi kamu langsung hajar saja, ya." Guru Konseling bertutur sinis, kemudian beralih menatap Kurnia. "Benar begitu?"

"Huh?—uh, iya Bu. Tapi saya udah bilang kalau saya bakal bayar besok. Saya nggak mencoba kabur kok, Bu. Saya memang lagi nggak pegang uang. Soalnya ... soalnya saya baru aja bayar uang kas kelas tadi pagi."

Kali ini guru itu melirik siswa yang sedang berdiri. "Benar begitu masalahnya?"

Agak gelagapan, siswa itu menjawab, "Saya—saya nggak terlalu tahu sih, Bu. Saya lagi duduk di sekitar situ, dan tiba-tiba mereka pukul-pukulan aja di depan saya—"

"Dan kamu malah nonton, bukannya melerai," potong guru itu tajam.

Saksi tersenyum kaku. Ia melanjutkan, "Tadi saya memang ada dengar Aristo ngebentak-bentak, nyuruh bayar gitu. Jadi, mungkin memang benar begitu."

"Memangnya berapa utang kamu?"

"Ehm, lima belas ribu, Bu."

"Buat apa uang itu kamu pinjam? Kenapa harus pinjam sama siswa SMA? Kenapa tidak pinjam uang teman sekelasmu saja?"

"Eh, itu..." Kurnia mengumpat dalam hati. Konselor memang selalu membahas masalah sampai ke akar-akarnya. "Saya kenal dekat dengan Aristo, Bu. Dia temannya kakak saya dan sering main ke rumah. Jadi kami akrab."

Aristo tidak bisa tidak tertawa di dalam hati.

"Buat apa kamu pinjam uangnya?"

Pelipis Kurnia sedikit berkeringat. Si guru sialan ini mengulang pertanyaan yang belum dijawabnya. "Saya, waktu itu..."—ayolah, apa alasan yang terdengar masuk akal—"...harus bayar utang ke teman saya yang lain."

Aristo terbatuk, menyembunyikan cengirannya.

Oke.

Guru Konseling menarik napas dalam-dalam. Mempertimbangkan apakah ia akan bertanya lebih jauh soal untuk apa uang lima belas ribu yang kamu pinjam dari temanmu yang lain itu atau tidak. Tapi akhirnya wanita itu hanya tersenyum datar. "Saya baru tahu kamu tukang ngutang."

Kurnia tersenyum garing. Dia memang sudah pernah beberapa kali masuk ruang bimbingan konseling atas beberapa masalah. Dan sepertinya Aristo juga begitu.

"Terakhir kali—waktu masih sama-sama SMP—kalian bertengkar karena cewek 'kan?"

Aristo nyengir separuh hati. Gawat sepertinya.

"Saya kira alasannya sama kali ini. Rupanya tidak. Dan rupanya—bahkan—kalian sudah akrab. Itu kemajuan yang bagus." Wanita itu bertepuk tangan sekilas. Aristo tidak tahu apa itu sarkasme atau bukan. "Jangan menunduk seperti itu. Seperti tidak biasa saja. Kalian 'kan pasien langganan saya—ah, khusus untuk Aristo, kamu dulu pasien langganan saya. Tapi karena kamu buat keributan di area SMP, kamu juga harus lewat proses di konseling SMP."

"Em, apa nanti saya juga harus—"

"Ya. Kamu juga harus jumpai konselor SMA nanti," ujar wanita itu memotong ucapan Aristo, tersenyum.

"Jadi saya tanya lagi, ini benar-benar masalah utang?"

Aristo dan Kurnia mengangguk serentak.

"Murni hanya masalah utang? Tidak ada dendam lama atau apa begitu? Otak kalian 'kan miring."

Kedua orang itu kembali mengangguk. Menelan mentah-mentah olokan. Yang penting cepat keluar. Lalu lanjut urusan hajar-hajaran di balik semak-semak.

"Saksi, saya ingin tanya. Tadi siapa yang duluan mukul?"

"Eh, Aristo Bu."

Baiklah, informasinya cocok, pikir wanita itu. "Jadi, bagaimana kita selesaikan masalah ini?" Wanita itu bergumam ringan. Sedikit banyak menikmati ekspresi menderita pasien langganannya. "Perlu saya beri surat panggilan?"

"Jangan!"

"Jangan, Bu."

"Jadi bagaimana? Kalian punya ide penyelesaiannya? Saya nggak mau kalau besok atau lusa kalian adu jotos lagi sampai mati hanya karena Kurnia belum bisa lunasin utangnya." Wanita itu mencibir. "Lihat wajah kalian. Lebam-lebam. Orang tua kalian pasti bakalan datang buat nanya-nanya sama saya. Bukankah lebih bagus mereka sekalian dipanggil saja ke sini buat bicarain masalah ini?"

"Nggak, Bu! Jangan. Saya bakal pastiin kalo orang tua saya nggak akan datang. Saya bakal ngaku salah."

"Saya juga, Bu. Jangan keluarin surat panggilan."

Bagus. Kalau begini akan lebih cepat selesai. Guru Konseling mengangguk-angguk. "Jadi?" Dia menaikkan alisnya. Memberi kesempatan kedua orang itu untuk berpikir.

"Besok. Saya bakal langsung bayar utang saya besok, Bu."

"Dan kalau tidak?"

"Err—Aristo boleh kasih bunga pinjaman sama saya?"

Guru Konseling setengah tertawa. "Baiklah." Wanita itu mengambil selembar kertas kosong dan pena lalu menyerahkannya pada Kurnia. "Tulis janji kamu di situ, lalu tanda tangani. Aristo dan kamu," wanita itu menunjuk si saksi, "juga tanda tangani."

Ketiga orang itu mengangguk dan segera melaksanakan.

"Baiklah, kalian boleh keluar sekarang. Aristo, Kurnia, kalian ke UKS. Urus lebam kalian itu. Aristo setelah itu kamu juga harus ke konseling SMA."

"Iya, Bu."

Setelah agak jauh berjalan dari ruang konseling, Aristo menepuk bahu temannya itu. "Thanks, Wan. Lo membantu banget."

"Ya, ya, terserah. Lain kali gue gak mau terlibat sama orang gila macam lo."

Aristo tertawa pelan. Ia kemudian beralih menatap Kurnia. Berujar agak dingin, "Lo juga. Makasih."

"Diam lo." Kurnia berlalu sambil dengan sengaja membenturkan bahunya pada bahu Aristo. Berjalan lebih dahulu menuju UKS.

———————————————————————

AristoCakra: Oi

AristoCakra: Sorry, ya

AristoCakra: Gw g ada maksud, serius. Gw g tahu kalo itu pacar lo

Aristo Cakra: Dia yang ngajak gw, gw g bohong kok

Kurnia melengos. Menggerutu malas dalam hati, separuh terhadap notifikasi di ponselnya separuh lagi terhadap acara televisi yang dirasa tak berkualitas. Dia mengunyah butir kacang polong terakhir ketika ponsel yang tergeletak di antara selangkangannya bergetar lagi. Dia mengumpat dalam hati seraya cepat-cepat mengantongi ponselnya. Tapi sekilas dia dapat membaca notifikasi yang muncul itu.

Aristo Cakra

Bukain pintunya, oi. Gw udh ada di dpn. Kita perlu bicarain ini.

Tutup | Balas

Oke, Kurnia entah sudah ke berapa kalinya merasa menyesal pernah memberitahu LINE ID-nya pada Aristo.

Dengan tatapan ogah-ogahan, Kurnia masih sok khusyuk dengan tontonannya. Pikirannya terasa agak kacau, tapi ia malas menata ulang. Semoga saja ini mimpi, pikirnya.

Ting ... tong.

Tapi bel keparat megkhianati ekspektasinya. Seketika, Kurnia merasa ingin mati suri. Pemuda itu mendecak. Lalu menarik napas dalam-dalam, dan di detik berikutnya berusaha apatis.

Ting ... tong.

Ting ... tong.

Tok-tok-tok.

Ting ... tong.

Tok.

Tok.

Tok.

Tiiinggg...

An—

Toooongggg....

—JING!

Apa makhluk itu tidak bisa hilang saja dari peradaban?!

Kurnia bangkit dari sofa seraya mencak-mencak ketika ibunya berteriak dari lantai dua agar membukakan pintu.

"Tapi, Bu, Kurnia sesak boker!! Suruh Kak Diandra bukain, gih!!" teriaknya lalu ogah-ogahan berjalan ke kamar mandi dan sengaja membuka pintu dengan kuat sampai berderit nyaring. Kurnia berdiri di depan kamar mandi yang terbuka, mendengar ibunya berteriak pada kakak perempuannya. Dan ia mendecak ketika tidak ada jawaban sama sekali dari kakaknya.

Drrtt.

Kurnia berjengit ketika kantungnya bergetar. Ia merogoh ponsel.

Aristo Cakra: Gpp, gw bakal tungguin sampai lo selesai cebok

Jahanam.

———————————————————————

"APA?!"

Kepala Kurnia dengan rambut berantakan mendadak menyembul sambil menyembur. Aristo tidak bisa tidak nyengir. "Oh, hai. Nggak usah pake urat kali. Cepat amat selesai bokernya."

"Diam lo," hardik Kurnia cepat. "Mau apa lagi lo datang? Lo belum cukup bukti lagi kalo lo udah nggak ada harapan sama kakak gue? Pulang sana."

"Whoa, whoa, lo nggak liat pesan yang gua kirim tadi?"

Kurnia mendengus. "Lupain aja. Nggak penting lagi dibahas. "Ia akan berbalik dan menutup pintu kalau Aristo tidak mendadak menarik lengannya.

"Apaan lagi?!"

"Lo ngambek?"

Kurnia memberi tatapan malas. "Nggak."

"Lo ngambek."

Orang gila ini, pikirnya gusar.

"Makanya kita perlu selesain masalah kita dulu. Gue mau lurusin ini semua. Gue nggak mau tiap ketemu sama lo tampang lo selalu kayak ingin jotos gue."

"Ya udah. Kita tinggal nggak usah ketemu lagi selama-lamanya," jawab Kurnia sambil melepaskan cengkraman Aristo dengan paksa.

Tanpa bisa dicegah, perut Aristo terasa tergelitik. Ia menahan senyum. "Dengar, lo jangan langsung berpikiran buruk dulu."

"Gue nggak berpikiran buruk. Gue cuma berpikir untuk apa pacar gue jalan sama mantan calon kakak ipar gue di bioskop."

Mantan calon? Aristo mendecak frustrasi—berusaha mati-matian menutupi kekehannya agar tidak keluar. "Iya, iya. Gue minta maaf. Gue nggak tahu kalau Anita pacar lo—"

"Bukannya lo udah pernah dengar gue nyebut namanya waktu kita di game center," potong Kurnia datar.

"—gue lupa. Maaf, oke? Gue agak kacau pasca ... yah, lo tahu lah." Aristo menggaruk tengkuk. "Jadi gue asal setuju aja sama ajakannya."

Kurnia menyipit. "Lo kacau karena kakak gue tapi lampiasinnya sama gue, bego. Gimana gue nggak kesal?"

"Sorry, serius."

Tapi Kurnia tak akan terbujuk lagi dengan tampang memelas Aristo. Anak itu mengibas-ngibaskan tangannya. "Udah deh. Gak penting juga. Lo gak usah nanggapinnya berlebihan gitu. Gue marah bukan karena Anita, sebenarnya. Gue juga bukannya mau nikahin dia 'kan. Jadi lo pulang aja."

"Tunggu dulu," cegat Aristo. "Lo bukan marah karena Anita, jadi lo marah karena?"

"Karena lo."

"Apa bedanya?"

"Banyak. Bye."

Tapi kaki Aristo keburu menahan pintu. Kurnia menggertakkan gigi gemas, menahan hasrat untuk membanting pintu sekuat tenaga sampai tertutup dan menjepit kaki Aristo hingga putus. "Lo benar-benar ingin tahu kenapa gue kesal?"

Aristo menggangguk tidak kentara. Sementara Kurnia mengehela napas. Lalu dalam sekejap menarik tangan Aristo masuk ke dalam rumah dan menutup pintu depan. Ia terus menyeret Aristo sampai ke kamarnya. Menutup pintu dan—

—bogem. Aristo. Tepat di pipi bekas lebamnya.

"Anjir, Kurnia! Apa-apaan ni maksudnya! Setan lo!" Luka lama terbuka kembali. Aristo meringis pilu. Kurnia menyempatkan untuk mengatainya alay.

"Hah ... puas gue." Kurnia menghela napas lega. "Dari dulu muka flamboyan lo memang minta ditinju sampai mirip tinja."

"Muka lo juga flamboyan, anjing," gumam Aristo setengah menggerutu. "Lagian seingat gue, gue minta alasan. Bukan bogem mentah."

Kurnia tertawa menghina. "Sorry, gue tipe orang yang mendahulukan aksi sebelum kata-kata."

"Jadi?"

"Jadi, well," Kurnia berdehem. "Jangan pernah datang ke sini lagi. Jangan pernah bunyiin bel lagi tiap siang. Gue terganggu. Gue benci lo. Belajarlah untuk menyerah—ah, bukan. Maksud gue, belajar buat memanfaatkan peluang lain. Paham?"

"Nggak," jawab Aristo cuek.

Kurnia mendecak. "Peluang lo dapetin kakak gue itu 0%."

"Darimana lo tahu?"

"Dari ramalan cuaca BMKG," sarkas Kurnia. "Kamu yang berzodiak Aquarius, percintaan kamu berawan di pertengahan bulan ini dan akan terjadi hujan deras diikuti puting beliung mendekati akhir bulan." Kelihatan sekali tidak pernah meluangkan waktu melihat kolom ramalan zodiak di majalah ibu-ibu barang sedetik pun.

Aristo tertawa mengapresiasi. Sayangnya selipan majas ironi cukup kentara untuk diendus. "Kalo gitu, gue bisa deketin kakak lo di bulan berikutnya. Tapi ngomong-ngomong, gue Leo."

"Bodo amat. Sekarang keluar lo."

"Oke." Aristo menarik napas. "Tapi gue perjelas sekali lagi; gue minta maaf. Gue sama sekali gak bermaksud nikung atau semacamnya. Gue cuma—"

"Cuma pengen senang-senang sama cewek orang untuk ngelupain perkara gebetan lo yang gagal lo takhlukkan, gue tahu," sambung Kurnia dengan nada monoton.

Aristo mendesah gusar. Ia mendecih. "Ya, benar—lo benar," akunya berat hati. "Jadi, benar-benar ... sorry. Kalian putus gara-gara itu."

"Nggak apa-apa. Santai aja. Biasa kali." Kurnia tersenyum dingin. "Udah biasa juga 'kan kita main oper-operan. Gue pacarin mantan lo. Lo pacarin mantan gue. Cuma baru kali ini aja lo pacarin pacar gue. Gue catat ini sebagai kasus baru. Lain kali gue beradaptasi—argh!"

Kurnia mundur tertatih, menatap Aristo yang menatapnya balik.

Aristo menyeringai tipis. "Jaga mulut lo, bajingan kecil. Meskipun begini, gue tetap menghargai perempuan. Jangan samakan gue dengan lo." Aristo membuang napas. Tangannya yang mengepal tinju kembali turun. "Ngomong-ngomong, kalau besok konselor nanya perihal utang lo, bilang kalo lo udah lunasin. Jangan coba-coba mengacau. Dan ya, gue bakal langsung pulang kok—lo nggak perlu lihatin gue sebegitunya."

Sepeninggal Aristo, Kurnia mengaduh memegangi rahangnya. "Siapa juga yang akan mengacau. Aneh," gerutunya. "Lagian, dia yang ada di posisi yang memungkinkan untuk mengacau 'kan."

Kurnia mendesah menatap langit-langit.

Ya ampun.

Gue ngerasa konyol banget.

avataravatar
Next chapter