5 4. Let's Make a Deal

"Lo nggak bisa nyerah? Atau minimal nggak menyusahkan orang?"

Kebiasaan Kurnia yang selalu menuturkan doa sebelum membuka pintu saat bel rumah berbunyi--hal itu jelas gara-gara Aristo. Dan sayangnya, hampir setiap saat doanya tidak dikabulkan Tuhan.

Pemuda ini selalu muncul di ambang pintu. Terkadang dengan seragam abu-abunya. Terkadang dengan busana kasual. Kurnia bertanya-tanya dalam hati; apa orang gila ini tidak merasa hidupnya sia-sia jika setiap hari hanya menghabiskan waktu untuk mengejar seseorang yang bahkan tidak pernah melirik padanya?

Kurnia penat, tolonglah.

Ia memang bisa saja tidak membukakan pintu setelah melirik dari jendela bahwa yang datang itu Aristo. Tapi makhluk imbisil itu akan terus-menerus membunyikan bel.

"Gak ada kata 'menyerah' di kamus gue."

"Gue curiga lo kebanyakan nonton Naruto."

Aristo terkekeh. "Lo kenapa suntuk banget sih kalo ketemu gue?"

"Lo merasa harus nanya?" balas Kurnia sedikit ketus. Tapi akhirnya anak itu membiarkan Aristo masuk. "Lo duduk di situ," pintanya menunjuk sofa yang menghadap layar televisi LCD. "Gue bakal paksa kakak gue keluar dari kamarnya. Kalian berdua gak bisa dibiarin terus begini. Yang hancur nanti malah hidup gue," gerutunya.

Kurnia meninggalkan Aristo di ruang tengah. Ia naik tangga menuju kamar kakaknya yang pintunya terkunci. Anak itu mendengus. Ia tahu kalau Diandra akan langsung mengunci diri jika suara bel tiba-tiba bergema di rumahnya. Dan tololnya--si Aristo itu selalu membunyikan bel setiap kali dia datang berkunjung.

Tok-tok-tok.

"Kak, mending lo keluar deh."

Tidak terdengar jawaban apa pun. Kurnia kembali mengetuk pintu.

"Lo nggak usah pura-pura mati. Gue tahu lo ada di dalam."

Tok.

Tok.

Tok.

"Keluar, oi!"

Nihil.

Bangsat, batin Kurnia.

Anak itu kembali turun dengan wajah masam. Menghampiri Aristo yang kini terlihat sedang mengutak-atik perangkat permainannya.

"Ck, jangan pegang-pegang seenak jidat lo." Kurnia merampas game controller hitam dari tangan Aristo lalu menggulung kabelnya dan kembali meletakkannya ke tempat semula. Ia kemudian mematikan konsol permainannya.

Aristo mendesah. "Bosan gue."

"Lo kira gue nggak lebih bosan lagi?" balas Kurnia telak. "Ngelihat muka lo itu udah kayak jadwal bimbingan belajar. Dua hari sekali."

Aristo nyengir tampan. Berdehem, "Gue cuma nggak tahu kalo Diandra bakal sesusah ini dibujuk."

"Harusnya lo kenal perangai kakak gue sebagai mantan teman sekelas. Dia itu sekeras batu."

"Kan gue udah pernah bilang, batu yang paling keras sekalipun bakalan hancur kalau diterjang tetesan air secara konsisten selama—"

"Masalahnya, pribadi lo sama sekali nggak identik dengan air," potong Kurnia membuat Aristo menghentikan kata-kata bijaknya.

Aristo tertawa kecil mendengarnya. "Mulut lo jahat. Mirip kakak lo."

"Oh?"

"Tapi lo nggak manis kayak kakak lo."

Yang benar aja. Kurnia memutar bola mata. "Gue nggak peduli. Yang gue peduliin cuma; kalian harus selesain urusan konyol kalian secepatnya. Gue nggak tahan lihat muka lo terus tiga kali seminggu!"

Aristo tidak bisa menahan tawa. Senang melihat adik kelas--sekaligus rival asmaranya dalam beberapa kasus--dilanda kejengkelan. "Memangnya harus elo yang ngebukain pintu?"

"Nggak. Tapi nggak ada yang bisa diharapkan." Kurnia menghempaskan tubuhnya ke sisi sofa di samping Aristo. "Ibu gue biasanya tidur siang sambil maskeran di jam-jam segini. Diandra? Nggak usah tanya." Kurnia kemudian menambahkan, "Dan sialnya lo itu nggak akan berhenti mencetin bel kalo pintunya gak dibukain."

"Oke, oke. Gue minta maaf." Aristo cengengesan. "Jangan marah-marah terus, Bos."

"Diem deh lu." Kurnia mengacak rambutnya. Diam-diam Aristo membantin, baru sadar kalau ternyata Kurnia memang tampan. Pantas saja Katania--mantan pacar Aristo entah yang keberapa--kepincut sama bocah ini. Kakaknya juga cantik sih, pikir Aristo. Mungkin faktor genetis.

"Lagian gue perhatiin, lo itu bego banget."

Aristo berkedip tersadar. "Hah?" Tidak bisa dipungkiri, ia sedikit tersinggung.

"Lo nggak pernah ganti cara lo. Usaha sih usaha, tapi kalo nggak punya strategi sama aja kosong."

Aristo memutar bola mata mendengarnya. Ia bukannya tidak punya strategi. Sudah banyak strategi yang dilancarkannya untuk menggaet Diandra, tapi semuanya dipatahkan oleh gadis itu. Aristo sudah dalam kondisi out of idea. Dia hanya tinggal bisa mengetuk pintu rumah Diandra setiap hari, berharap terjadi keajaiban. Menyedihkan. "Memangnya lo punya strategi apa?"

"Well," Kurnia berdehem, "apa lo nggak pernah terpikir untuk ngajakin gue kerjasama?"

"Pernah," Aristo menjawab santai. "Dan gue pikir lo mungkin bakal nendang gue."

Kurnia tertawa ironi. Ha-ha. Anak itu kemudian langsung kepada poinnya, "Besok lo datang ke sini, lewat pintu belakang."

"Pintu belakang?"

Kurnia mengangguk. "Langsung terhubung ke dapur tuh. Dari dapur lo masuk ke ruang makan kemudian ke ruang tengah. Gue bakal nahan Diandra buat lo. Ada pertanyaan?"

"Gimana caranya lo bakal nahan Diandra?"

"Tenang aja. Lo datang agak cepat, sekitar jam dua siang. Diandra pasti udah di rumah, makan siang di depan televisi. Dan nggak mungkin dia kabur bawa-bawa piringnya waktu lo muncul tiba-tiba."

"Hmm, jam dua siang? Gimana kalo gue ditangkap basah nyokap lo di belakang? Apa dia udah mulai maskeran jam segitu?"

Kurnia memutar bola mata. "Paling juga nonton drama India di kamarnya. Kalaupun lo nanti ketangkep basah di dapur atau ruang makan, ngeles aja. Karang alasan apa gitu. Ah!" Tiba-tiba Kurnia menjentikkan jarinya. "Lo pernah ngenalin diri ke ibu gue sebagai teman gue 'kan waktu itu?"

Aristo mengangguk tidak kentara. Tidak terlalu ingat. Dia jarang melihat ibu Kurnia ketika datang ke sini. Mungkin hanya beberapa kali. Kurnia bilang ibunya memang akan sibuk menyelesaikan pekerjaan rumahannya pada pagi hari dan bersantai di siangnya.

"Dia pasti masih ingat lah muka pas-pasan lo itu. Dia 'kan pernah lihat lo beberapa kali," ucap Kurnia santai--menyempatkan menyelipkan ledekan. Tapi sepetinya Aristo tidak begitu peduli.

"Jadi gue datang jam dua nih, besok?"

Kurnia mengangguk.

Aristo mengancungkan jempolnya. "Sip." Ternyata Kurnia itu memang berguna di saat-saat tertentu--tidak seburuk yang dibayangkannya. Pemuda itu kemudian kembali menghampiri game controller yang tergeletak di dekat konsol. "Nge-game?"

"Nggak. Dan udah gue bilang, jangan seenaknya nyentuh perangkat gue!"

Sebelah alis Aristo naik santai. "Kenapa?"

Kurnia berdecak. "Besok gue ada remedial Fisika. Nggak sempat buat nge-game sama makhluk nggak berguna semacam lo." Anak itu lagi-lagi merampas game controller-nya dan menggulungnya dengan rapi. "Sekarang pulang lo. Gara-gara lo waktu belajar gue jadi terpotong."

"Oh, jadi lo tadi lagi belajar sebelum gue datang? Rajin amat."

"Bacot. Keluar sana."

"Oke, oke." Aristo bangkit dari sofa. "Bye, adik ipar—argh."

Kurnia menyeringai setan ketika botol air mineral yang dibelinya di kantin tadi siang berhasil mengenai kepala Aristo.

avataravatar
Next chapter