11 10. Avocado Chit Chat

Kurnia jelas saja seperti tersambar petir ketika membuka pintu dan mendapati Aristo berdiri dengan tampang berani mati.

For the fuck's sake—

"Lo ngapain?!" Kurnia melupakan semua tata krama, tentu saja.

Dahi Aristo mengerut. "Kenapa? Gue gak boleh datang?"

Tarik napas.

Buang....

Kurnia memijit sekat hidung. "Lo kenapa datang lagi? Udah hampir sebulan lo nggak pernah datang ke sini lagi jadi gue kira ... lo nggak bakal datang lagi."—selamanya.

"Yah, gue cuma..." Aristo menggaruk tengkuk. "...belum nyerah?"

BLAM.

"Woy, Kurnia! Bukain!"Aristo menggedor-gedor pintu. "Kurnia! Oi!"

.

Sesaat kemudian pemuda itu berhenti menggedor. Menarik napas, ia kemudian menekan bel. Menunggu satu detik. Dua detik. Tiga detik.

.

.

Enam detik.

.

.

.

Sepuluh detik.

.

.

.

.

Lima belas detik.

.

.

Pemuda itu nyaris menyerah dan pulang sampai tiba-tiba pintu di hadapannya berderit terbuka. Kepala Kurnia menyembul.

"Lo beliin gue susu kental manis kalengan sama kopi bubuk satu saset baru gue kasih lo masuk," ucap anak itu tiba-tiba.

"Hah?"

Tidak repot-repot menjelaskan, Kurnia menyerahkan lembaran uang pada Aristo. "Beliin di warung eceran di sana." Jari Kurnia menunjuk arah. "Susu kental manisnya yang rasa cokelat, hmm ... sama Oreon juga deh. Bungkus kecil yang isinya tiga."

Blam.

Pintu kembali ditutup.

Aristo pasrah. Berjalan ke luar pagar. Langsung menuju ke warung yang dimaksud Kurnia.

——————————————————————

"Diandra di mana?" Aristo meletakkan bungkusan plastik di konter dapur.

Kurnia tidak langsung menjawab. Ia memeriksa isi kantung plastik. "Lho, lo beli apa aja nih. Kacang polong?" ucap anak itu langsung begitu melihat kemasan hijau merek kacang kesayangannya.

"Gue sering lihat lo makan kacang polong sih. Jadi gue beliin."

"Bukan itu masalahnya, bego. Lo beliin banyak gini, lo kandasin uang gue, nying," sungut Kurnia kesal. "Ganti."

Aristo tertawa. "Tenang aja kali. Lo cuma nanggung barang-barang yang lo sebutin tadi. Sisanya tanggungan gue."

"Oh baguslah," tanggap Kurnia singkat. Meraih kaleng susu kental manis dan kopi bubuk saset lalu meletakkannya di konter sebelah, dekat dengan blender.

"Jadi, Diandra di mana?"

"Pergi sama nyokap gue. Cuci mata ke mal, katanya. Mumpung libur. Siapa tahu ada promo kemerdekaan atau apalah."

"Oh," gumam Aristo.

Kali ini Kurnia menoleh pada Aristo yang ternyata sudah duduk di salah satu kursi di meja makan. Konter dapur dan meja makan memang sedikit berjarak, tapi tidak memiliki sekat. Ia menaikkan alis. "Cuma 'oh'?"

"Kenapa?"

"Lo nggak pulang—atau minimal kecewa gitu? Diandra gak ada di rumah."

Aristo menyipit. "Lo pengen banget gue pulang, ya?"

"Yoi."

Aristo mendengus. "Gue tunggu kakak lo sampe pulang. Kayak nggak biasa aja."

"Memang udah nggak biasa," balas Kurnia sengit. "Udah hampir sebulan soalnya."

"Ck, sebenarnya gue juga lagi bosan sih. Rayan sama teman-teman gue yang lain lagi kencan ganda. Pulang-pulang dari upacara langsung ganti baju dan cabut ke kafe. Parah."

"Lo nggak ikut?" tanya Kurnia sementara tangannya sibuk membelah buah alpukat dan mengeruk isinya.

"Gue jomblo. Baru putus kemarin lusa."Aristo uring-uringan di meja. Memperhatikan Kurnia yang masih sibuk memasukkan daging alpukat, susu bubuk, dan es ke blender. Kali ini anak itu beralih ke konter lain dan menyeduh kopi. "Lo ngapain?"

"Lo bisa lihat sendiri 'kan," jawab Kurnia singkat. Setengah ketus. "Gue lagi berusaha menikmati me time gue sampai lo tiba-tiba muncul. Dasar pengacau."

Aristo menegakkan badan ke kursi sambil tertawa kecil. "Sekarang jadi our time?"

"Jijik, homo."

Tawa Aristo pecah. "Buatin untuk gue juga, ya."

"Memang gue buatin. Tapi nggak ada taburan Oreon untuk lo."

"Tenang aja. Gue beli tadi dua bungkus, kok."

——————————————————————

"Oi, kenapa jumlah yang ngejar kita tiba-tiba nambah!" Kurnia menggerutu tidak jelas. Jemari kedua tangannya bergerak lincah.

"Itu karena gue nembak satu anggota kepolisian sampai mati. Yang naik sepeda motor yang tadi ngejar kita dari belakang. Lo nggak lihat sepeda motornya terjungkal gitu?" jawab Aristo kelewat santai sambil mengarahkan senapannya pada sasaran lain.

"Mana mungkin gue bisa lihat! Gua 'kan sibuk mengemudi."

"Ya, ya, ya." Aristo memutar bola mata. "Lo jadi pengemudi yang baik aja dan fokus pada setir. Jangan sampai tabrakan. Mesin kita udah berasap. Kalau meledak, kita bisa tewas. Gue nggak sudi tewas sekarang. Kita baru mulai main tiga menit yang lalu. Katanya misi multiplayer kalo di satu konsol itu jelajahin kota. Gue penasaran."

"Berisik, njing. Lo ganggu konsentrasi gue. Lagian salah siapa coba," gerutu Kurnia. "Sial, jalannya ramai." Kurnia menggerakkan jarinya gesit untuk memutar kemudi. "Ck, lampu merah!"

"Bego. Kriminal macam apa lo? Berhenti waktu lampu merah—wtf. Terobos aja! Lihat, mereka jadi makin dekat." Aristo berdecak melihat mobil-mobil yang menepi dari jalan raya saat mendengar sirine polisi berbunyi. Mereka membuka jalan bagi para polisi untuk mempermudah menangkap mereka.

"Lebih cepat jalanin mobilnya, Kurnia! Ah, jaraknya makin sempit. Gue bakal nembak. Lo tetap fokus sama kemudi, kalau perlu kemudikan zig-zag dan masuk ke gang kecil. Bakal gue bocorin ban depan mobil polisi keparat itu."

"Ap—jangan nembak polisi! Kita bakal makin diburu, bego."

"Persetan." Aristo sudah siaga dengan senapannya. Sudah mengambil posisi drive by sejak tadi. Sejenak kemudian peluru menghujani mobil polisi di belakang mereka. Aristo berusaha mengarahkannya pada ban depan mobil polisi. Sesaat kemudian akhirnya berhasil. Laju mobil polisi menjadi tidak seimbang. Aristo nyengir menang.

"Satu mobil polisi beres," ucap Aristo tapi masih menghujam mobil itu dengan peluru-pelurunya. Asap keluar dari mesin mobil. Aristo menembakinya terus sampai api keluar memercik dan akhirnya membesar.

Satu mobil polisi berhenti mengejar dan tertinggal oleh mobil polisi lain. Kedua pintunya terbuka dan dua orang polisi melompat dengan wajah panik dari dalam mobil. Tapi sepertinya jarak lompatan itu masih tidak memungkinkan keduanya untuk menyelamatkan diri dari—

DUAARR...

—ledakan.

"Sip. Semuanya meledak, my man," ucap Aristo cepat. "Belum ada pengejar di belakang. Belok ke gang kecil sekarang. Cari teknisi. Kita benerin mobil sekalian ganti warna body-nya buat penyamara—njir."

Kurnia yang di sebelahnya hanya mengerang malas. "Apanya yang nggak ada pengejar," celanya pedas. "Gara-gara lo nih. Jadi dikejar pake helikopter, juga. 'Kan udah gue bilang jangan tembak polisi. Bintangnya jadi nambah."

Aristo memutar bola mata. Bising mendengar hujan tembakan dari udara dan suara-suara teriakan pejalan kaki yang berlarian di trotoar memenuhi ruang tengah. "Udah, cari teknisi aja. Keburu mobil kita meledak nih."

"Enak aja lo nyuruh-nyuruh seenak jidat. Lo kira gampang. Jalan lurus mudah ditembak heli, meledak. Belok kiri nabrak tiang sama dinding pertokoan, meledak. Belok kanan nabrak mobil orang, meledak."

Aristo mendecak. "Cerewet, Pak Sopir. Makanya kemudikan zig-zag. Cepat tandain aja garasi terdekat di peta."

"Lo enak nyuruh-nyuruh aja dari tadi, njing. Lo bantu kek, berusaha tembakin heli-nya atau apa—woi!" Kurnia langsung tanggap menggeplak kepala Aristo yang sedang menyeruput jus alpukat. "Bangke. Lo bilang nggak sudi mati cepat tapi malah minum-minum."

Aristo meringis memegangi kepalanya. "Gue cuma haus, bego."

"Anjay, gue juga deh." Kurnia mengaduk kemudian menyeruput alpukat dari gelasnya. Mencecap dan menggigit potongan Oreon bercampur sensasi kopi yang terasa meleleh di lidah. Kurnia terenyuh, menyeruput lagi. Nikmatnya hampir-hampir mengimbangi fap-fap.

Sampai tiba-tiba Aristo mendadak balas menggeplak kepala Kurnia. "Wasted o'on! Misi gagal!" seru pemuda itu kesal. "Lo ngapain ikut-ikutan minum sih."

"Karena elo. Lo itu senior yang memberi teladan yang buruk."

"Udah tahu teladan gue buruk masih aja diikutin."

"Au ah, gelap."

Aristo mendecih, menghempaskan game controller ke sisi sofa di sampingnya sampai membentur paha Kurnia—membuat anak itu mengumpat pelan padanya.

"Bosan. Gue mau main GTA IV. Minjem kompie lo ya."

"Enak aja. Gue yang mau main," sela Kurnia. Langsung menarik tangan Aristo yang ingin berjalan menghampiri meja komputernya sampai pemuda itu terhempas kembali ke sofa. "Lo main PS aja di sini." Anak itu kemudian berdiri dan membawa gelas berisi jus alpukat serta bungkusan kacang polongnya ke meja komputer.

Aristo uring-uringan di sofa. "Gak mau. Bosen guee. Konsol lo udah kudet amat."

"Anjing lo. Kalo lo bosan, ngapain datang ke sini coba."

Aristo melengos. "Di rumah gue juga bosan sih." Ia melanjutkan, "Lagian kakak lo lama amat pulangnya."

"Memangnya kalo kakak gue pulang lo mau apa?"

Aristo mati kutu. Mendengus pelan. Ia berdiri dan berjalan menuju Kurnia yang sudah duduk di depan meja komputer. Menyeret satu kursi ke samping Kurnia lalu duduk.

Kurnia langsung nyolot. "Ngapain lo?"

"Main Airstrike, yuk. Lo ada Game House 'kan di sini?" Aristo merampas mouse dari tangan Kurnia. "Lo udah sampai mission berapa? Heli lo udah unlock semua nggak?"

"Nggak mau." Kurnia merampas kembali mouse-nya. "Lo sana aja gih. Main PS. Lo belum coba semua game gue 'kan?"

"Apanya yang perlu gue coba? Gue udah pernah lihat daftar game-nya. Formula 1, Fast and Furious Tokyo Drive, Naruto Ultimate Ninja 5, Deff Jam Vendetta, Inoccent Life, PES, WE, Devil May Cry, God of War, The Sims Bustin' Out, Jurassic Park, Resident Evil, sampe Scooby Doo sama Spongebob gue udah pernah main dulu."

"Dora the Explorer?"

"Mati aja lu."

Kurnia ngakak. "Yang lo sebutin itu belum semua. Bongkar-bongkar aja lagi. Masih ada yang lain. Driver 4, Vietchong, King Kong,sama ada lagi yang setting-nya kayak Toys Story. Gue lupa judulnya—tapi ada army-army nya gitu. Lo nanti ngelawan tentara mainan," jelas Kurnia. "Dan masih banyak lagi. Pokoknya lo bongkar aja."

Ekspresi Aristo masih datar. "Males," ucapnya tak tertarik. "Main Airstrike aja. Bisa multiplayer. Gue lagi pengin main bareng."

"Nggak mau."

"Platypus?"

"Meh."

"Hamsterball?"

"Pala lu peyang. Lagian Hamsterball ga bisa multiplayer."

"Bisa. Tapi satu kendalinya dari mouse, satu lagi dari panah keyboard. Rada susah sih yang di keyboard—"

"Pokoknya gue mau main GTA IV! Lo sana jauh-jauh, njir! Kalo lo bosan di rumah lo, pulang kampung aja lo sekalian! Jangan ganggu hidup guee!"

Aristo tertawa. Ternyata anak setan itu lucu juga kalau marah. "Gimana kalo kita ke warnet? Main—"

"Nggak," potong Kurnia. "Nggak ada yang jagain rumah."

"Kan bisa dikunci."

"Nyokap gue nggak bawa kunci serep," ujar Kurnia. "Udah, lo pulang aja gih. Online di PC lo di rumah. Biar gue juga online di sini."

"Gue males balik."

"Lo bosan, tapi disuruh cari kegiatan alasannya males. Ke neraka aja lo."

Aristo tertawa lagi. "Lain kali mau nggak gue ajak ke rumah gue?"

"Ngapain?"

"Nge-game. Gue ada PS4 di rumah."

avataravatar
Next chapter